c

Selamat

Sabtu, 20 April 2024

NASIONAL

22 Oktober 2021

14:44 WIB

Reformasi Hukum Belum Terlaksana

Reformasi bakal perbaiki ekonomi

Penulis: James Fernando

Editor: Leo Wisnu Susapto

Reformasi Hukum Belum Terlaksana
Reformasi Hukum Belum Terlaksana
Ilustrasi hukum pidana. Ist

JAKARTA  Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai selama tujuh tahun memimpin Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum mampu reformasi peradilan pidana.

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, reformasi hukum dan perlindungan HAM bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebab, kepastian hukum dan perlindungan HAM merupakan kondisi utama untuk menciptakan ekosistem politik dan ekonomi yang kondusif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Sayangnya, dalam masa pemerintah kedua Presiden Joko Widodo, reformasi hukum apalagi sistem peradilan pidana tak bergaung,” kata Erasmus, seperti dikutip dari siaran pers, Jumat (22/10).

Padahal, Erasmus menyebut, masalah sistem peradilan pidana terlihat jelas saat Indonesia dilanda pandemi covid-19. Salah satunya, tentang overkriminalisasi lembaga pemasyarakatan (lapas) yang memperlihatkan ketergantungan dengan hukuman pemenjaraan.   

Faktanya, saat virus corona menyerang, pemerintah berusaha keras mengeluarkan populasi dalam rutan dan lapas. Namun, pemerintah tetap tak menghadirkan narasi tentang pentingnya mengoptimalkan alternative pemindahan non-pemenjaraan dan menggunakan pendekatan restorative justice untuk menyelesaikan perkara pidana.  

“Namun, inti masalah tentang adanya overcrowding dan ketergantungan pada penjara luput direspons secara konkret melalui langkah-langkah reformatif,” tambah Erasmus.

Kata Erasmus, minimnya perhatian terkait reformasi hukum ini pun tergambar dari pembahasan dan perumusan Rancangan KUHP. Substansi RKUHP dinilai masih berpotensi overkriminalisasi. 

Sebab, ada sejumlah pasal yang tak mengandung unsur kriminalisasi justru dihilangkan.

“RKUHP juga masih memuat pasal-pasal kriminalisasi berkaitan dengan penyerangan ruang privasi warga negara, lekat dengan pendekatan moralitas, seolah masalah moral harus diselesaikan dengan hukum pidana,” tambah Erasmus.

Tak hanya dalam RKUHP, dalam beleid lain overkriminalisasi pun tak diperbaiki. Misalnya, pada Undang-undang narkotika yang masih mempidanakan pengguna narkotika. Nah, langkah pemerintah menghadirkan dekriminalisasi pengguna narkotika tak kunjung datang.  

Seharusnya, pemerintah belajar dari peristiwa kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang yang menewaskan 48 orang. Sebab, mayoritas korban pengguna narkotika yang sejak awal tak perlu dipenjara. Karena itu, overcrowding masih menjadi kegagalan terbesar Kepala Negara.

“Ada juga kebijakan pidana lainnya di UU ITE. Pemerintah harus merevisi UU ini. Untuk menghadirkan perlindungan warga negara, bukan mengedepankan represifitas negara,” lanjut Erasmus.

Tak hanya dalam aspek materil, Erasmus menjelaskan, terkait norma hukum pidana, momentum reformasi hukum acara pun terlihat ketika pandemi covid-19. Seharusnya, pemerintah merespons untuk membuat hukum acara pidana yang tetap menjamin hak atas peradilan yang adil di tengah kondisi darurat.

Sayang, pemerintah luput melakukan reformasi itu. Padahal, saat ini KUHAP minim pengawasan yang efektif. Salah satunya, kewenangan Polri untuk melakukan penahanan semakin menunjukan permasalahan di KUHAP.  

Berdasarkan data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 80 kasus penyiksaan sepanjang periode Juni 2020 hingga Mei 2021. Terkait kasus itu, polisi masih menjadi aktor utama dalam kasus penyiksaan.

Bahkan, beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan dengan tagar #PercumaLapor Polisi. Kemunculan tagar itu sebagai bentuk kekecewaan masyarakat karena sikap Polri yang dianggap tak profesional dalam menangani kasus.  

Erasmus berpandangan, seharusnya hal itu menjadi momentum bagi Kepala Negara mereformasi Polri secara menyeluruh. Reformasi ini pun akan sejalan dengan revisi KUHAP untuk memberikan jaminan perlindungan HAM dan sistem hukum akuntabel.

“Adanya pengawasan efektif dan menghindarkan kewenangan yang eksesif bagi kepolisian,” lanjut Erasmus.

Atas dasar itu, ICJR masih memberikan rapor Merah pada pekerjaan rumah Presiden Jokowi pada isu reformasi peradilan pidana. Presiden Jokowi didesak untuk mengambil langkah konkret dalam mereformasi peradilan pidana.

“Presiden Jokowi harus berkomitmen penuh bahwa perumusan hukum pidana tidak boleh menghadirkan overkriminalisasi, apalagi kriminalisasi yang menjauhkan demokrasi dan perlindungan warga negara,” tandas Erasmus.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar