c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

29 Februari 2024

22:00 WIB

Quo Vadis Usia Jabatan Kepala Desa

Kepala desa ingin masa jabatan ditambah di UU Desa. Peta potensi penyelewengan lebih kental ketimbang mengabdi.

Penulis: James Fernando, Oktarina Paramitha Sandy, Aldiansyah Nurrahman

Editor: Leo Wisnu Susapto

Quo Vadis Usia Jabatan Kepala Desa
Quo Vadis Usia Jabatan Kepala Desa
Ratusan kepala desa dari berbagai daerah di Indonesia bubar setelah menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Selasa (17/2/2023). Antara/Walda

JAKARTA - Menjelang pemungutan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, ribuan perangkat desa menggelar aksi di depan pintu masuk Gedung DPR di Jakarta, Rabu (25/1/2024). Tuntutan kepala desa itu tegas, meminta perpanjangan masa jabatan. 

Masa jabatan kepala desa di UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa jelas disebutkan enam tahun. Namun, para kepala desa ini menginginkannya menjadi sembilan tahun.

Tuntutan itu tentu mengundang tanya karena agenda revisi UU Desa sudah jauh waktu terjadi. 

Pada Juli 2023, rapat pleno di DPR sempat membahasnya. Selanjutnya, Februari 2024 DPR dan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menyebutkannya sudah tercapai kesepakatan pembahasan tingkat I revisi UU Desa. Butir-butir kesepakatan legislatif dan pemerintah antara lain, masa jabatan kades menjadi delapan tahun dengan batas maksimal dua periode.

Ada pula disebutkan calon kades tunggal bisa ditetapkan tanpa perlu melawan kotak kosong.

Sementara, alokasi dana desa, saat rapat pleno Juli 2023 disepakati naik 20%, akhirnya kandas. “Dengan pertimbangan, kenaikan alokasi dana tersebut akan membebani keuangan negara dan berpotensi mengurangi porsi keuangan daerah, APBD,” jelas Mendagri Tito, Senin (5/2).

Terkait tuntutan masa jabatan yang akhirnya disepakati, Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi menyampaikan alasan, selama ini pemilihan kades umumnya berdampak konflik sosial berkepanjangan. 

Jadi, masa jabatan enam tahun dinilai tidak cukup bagi para kades untuk menyelesaikan ketegangan serta melaksanakan program pembangunan.

"Kalau enam tahun pilkades itu dirasa belum cukup waktunya untuk menghilangkan trauma-trauma itu. Dan kades-nya belum membangun masih sibuk konsolidasi sudah memasuki masa habis jabatan,” lanjutnya seperti dikutip dari laman DPR, Rabu (28/2).

Buat para kepala desa, masa jabatan delapan tahun sudah dinilai pas. Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Surtawijaya mengungkapkan, masa jabatan delapan tahun ideal bagi kades. Seperti, pernah diatur dengan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Tertulis, masa jabatan kades delapan tahun dalam satu periode. Lalu, dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.

Surta yang sudah tiga periode jadi kades ini, menguraikan pengalaman mengampu jabatan dengan periode enam tahun. Dia mengaku, tidak mampu mengatasi polarisasi di masyarakat akibat pemilihan kades dengan hanya waktu enam tahun. Tidak cukup membangun desa. 

“Baru saja redup, kondusif tiba-tiba jabatan habis. Kapan mau membangun desa?” papar dia, Kamis (22/2).

Dengan masa jabatan kades yang lebih lama, menurut kepala desa di Tangerang, Banten ini, ada waktu untuk membangun desa bersama masyarakat. Bahkan, dia yakin, gelaran pilkades delapan tahun sekali, akan menghemat dana pemda yang selama ini terlalu banyak keluar untuk pilkades.

Diakuinya dari waktu masa jabatan enam tahun, empat tahunnya digunakan untuk kerja para kades. Sedangkan dua tahun sisanya sudah tidak fokus, karena memikirkan pencalonan pilkades.

Dia menilai, anggapan masa jabatan kades yang diperpanjang menyebabkan korupsi desa makin tinggi, sebagai sentimen terhadap desa. Surta menegaskan, korupsi terjadi di mana-mana, tak hanya di desa.

“Kalau jumlah desa sekarang hampir 80 ribu, kalau baru 600 orang misalnya yang penyimpangan atau ada masalah belum ada satu persen. Jauh kalau diukur dengan bupati, walikota, gubernur berapa persen. Belum pejabat instansi lainnya,” bela Surta.

Surta juga menilai, adanya revisi UU Desa membuat desa jelas berdaulat. Demokrasi di desa juga tak perlu dipertanyakan. Menurut dia, masyarakat desa lebih paham demokrasi ketimbang masyarakat kota.

Korupsi Dana Desa
Program Manager Akademi Anti Korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), Nisa Rizkiah Zonzoa menilai sebaliknya. Revisi UU Desa ini membuka celah korupsi menjadi lebih besar. Di persepsinya, akar persoalan di desa adalah dana desa.

Alasan gesekan politik untuk perpanjangan masa jabatan kades, menurut Nisa, bukan hal yang perlu ditakuti. Selama proses demokrasi di desa bisa menghasilkan pemimpin yang memang berintegritas dan kapabel, alasan itu dapat diabaikan.

Namun, alasan memperpanjang masa jabatan kades, menurut ICW, sebagai satu potensi tindakan penyimpangan terhadap anggaran dana desa.

Karena, menurut catatan ICW berdasarkan pemantauan dana desa sejak kali pertama dicairkan, pada 2015, kasus korupsi desa bertambah. Bahkan, korupsi oleh aparat desa tercatat paling banyak di 2022. 

Pada 2022, ada 570 kasus hukum melibatkan aparat desa. Sebanyak 155 di antaranya adalah kasus korupsi dengan kerugian negara Rp382 miliar lebih. Sedangkan, total anggaran dana desa 2015 sebesar Rp20 triliun lebih. 

Dari sisi jumlah perkara, ICW mencatat perkara korupsi di desa setara dengan 26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022. 

Berdasarkan data itu, ICW menilai, ketimbang menambah masa jabatan kades dan menambah dana desa, evaluasi pengelolaan dana desa mesti jadi prioritas.

Nisa menyampaikan masa jabatan delapan tahun juga bisa menyuburkan oligarki di desa. “Lingkup desa tidak terlalu luas. Kades akan mudah mengendalikan dan memanfaatkan beberapa hal yang ada di desa,” tuturnya, Selasa (27/2).

Dia juga menyoal pembahasan masa jabatan yang patut dicurigai. Terlebih, lanjut Nisa, ramai dibicarakan saat menjelang pemilu. Tak hanya itu, ketika pada masa reses DPR hal ini tak ramai dibahas publik.

Penilaian ICW ada benarnya. Mengutip laman Pemprov Jawa Tengah, Kamis (29/2), KPK mencatat, dari kurun waktu 2015 sampai 2022, terdapat 851 kasus korupsi dana desa. Dari ratusan kasus itu, sudah 973 kades dan perangkat desa yang terjerat kasus korupsi dengan sejumlah modus.

Di antaranya, proyek fiktif seolah-olah ada, kemudian laporan fiktif proyek sudah selesai padahal belum selesai, memalsukan tanda tangan bendahara dalam proses pencairan dana desa, dan penggunaan anggaran yang tidak sesuai peruntukan.

Perpanjang Masa Konflik
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menguraikan persoalan ini dari sisi lain. Dia mengatakan ada pilar dalam Indeks Desa Membangun (IDM). Yakni ketahanan sosial, ketahanan ekonomi, dan ketahanan lingkungan. Ketiga pilar ini ditentukan tata kelola desa yang berkaitan dengan kapasitas dan integritas kades.

“Kades adalah motor penggerak di level desa dan itu tidak ditentukan oleh masa jabatan,” katanya, Jumat (23/2).

Perpanjangan masa jabatan kades menurut dia, membuat tensi konflik semakin tinggi. Karena, ada perebutan jabatan dengan rentang masa yang panjang. Tak hanya itu, perpanjangan ini membuat waktu evaluasi terhadap kinerja kades terlalu panjang.

“Artinya, kalau selama delapan tahun kades itu tidak berkinerja, akan susah untuk menurunkannya atau menggantikannya. Harus menunggu delapan tahun,” tambah dia

Armand menilai, hal substantif dalam revisi UU Desa adalah mengatur sistem pilkades sehingga pimpinan dengan kapasitas baik dan berintegritas. Selain itu, revisi UU Desa juga seharusnya memperkuat pembinaan dan pengawasan terhadap tata kelola desa. Termasuk, pengawasan dana desa agar menutup celah korupsi.

KPPOD berharap, pengawasan dana desa melibatkan masyarakat. Tak hanya dibatasi internal pemerintah desa, inspektorat daerah dan aparat penegak hukum. 

“Apa yang menjadi hasil pengawasan itu perlu diketahui oleh publik juga ya. Jangan hanya terjadi di dalam internal pemerintah saja, antara kepala desa dengan inspektorat di level kabupaten,” tambah Armand,

Selain itu, peran kewenangan pengawasan BPD sebagai lembaga yang bisa dianggap DPRD di tingkat desa mesti diperkuat. Di sisi lain, BPD ini ditemui juga memiliki kekerabatan dengan kades.

Di kacamatanya, alokasi dana desa juga tak perlu ditambahkan karena besarnya kasus korupsi di level desa. Dari dana itu saja IDM mengalami pertumbuhan desa positif.

Pertumbuhan ini dicatat Kemendes, IDM dari 2022 ke 2023 menunjukan tren yang baik. Untuk desa mandiri dari 6.238 menjadi 11.456, desa maju 20.248 ke 23.029, desa berkembang 33.892 menjadi 28.751, desa tertinggal dari 9.234 menjadi 6.803, dan desa sangat tertinggal 4.438 ke 4.382.

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis juga menilai dari aspek sosiologi tidak ada kebutuhan masa jabatan kades harus diperpanjang. Pasalnya, minat perpanjangan datang dari para kades, bukan masyarakat desa.

Malah adagium ‘kekuasaan itu cenderung korup’ berlaku di sini. Artinya, semakin panjang masa jabatan, maka akan semakin besar pula untuk manipulasi dan membuat penguasa mengambil keuntungan lebih banyak dari jabatan itu.

Terlebih melihat kasus korupsi di desa sekarang akan tak mudah mengatasinya. Pasalnya, karakteristik eksekutif dan legislatif di desa sudah sampai tahap kongkalikong. Makanya, pengawasan dari masyarakat desa di dalam tidak ada artinya. Mereka tidak didengar.

Masyarakat desa pun kondisinya kurang teredukasi terhadap praktik korupsi dan demokrasi. Mereka justru disibukkan dengan pekerjaannya.

Rissalwan menyebut oligarki tingkat desa sudah terbentuk. Jadi tidak ada itu kontrol. Hal ini, menurutnya, karena desa mempunyai otonomi sendiri. Oleh sebab itu, akan lebih baik jika kades ditunjuk oleh camat, bupati, atau gubernur, sehingga pimpinan di atas kades punya kendali untuk mengendalikan.

“Jadi, saya kira memang inti masalahnya di UU Desa. Justru di masa jabatan mereka membuka kedok mereka sendiri. Meminta perpanjangan masa jabatan itu dalam rangka mengamankan beberapa praktik-praktik buruk,” jelas Rissalwan dalam perbincangan dengan Validnews, Kamis (22/2).

Dalam praktik pemilihan kades, dilihat Rissalwan, oligarki di desa sebetulnya sudah terbentuk. Yang berkompetisi menjadi kades hanya sesama perangkat desa dan orang-orang di lembaga desa seperti RT dan RW. Tokoh adat juga termasuk dalam oligarki di sini.

Kondisi seperti ini, lama kelamaan berpotensi menjadi konflik besar. Akan ada kecemburuan sosial antara masyarakat desa karena lingkaran yang berkuasa orangnya dari lingkaran yang sama.

Lebih lanjut, dia berpesan, poin-poin dalam revisi UU Desa ini perlu diberi tantangan. Sebab, semua keputusan pasti ada resiko. Jadi, tidak seolah-olah pilihan atau opsi di revisi UU Desa yang diberikan adalah yang terbaik.

Di sisi lain, dia mengajak publik menganalisa lebih jauh soal ini. Ada paradoks di desa, terlebih data IDM, yang menurut Rissalwan terus menunjukan peningkatan, tapi kemiskinan di desa dan kesejahteraan masyarakat desa cenderung stagnan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) persentase penduduk miskin mencapai sebesar 9,36% atau mencapai 25,9 juta orang pada Maret 2023. Pada Maret 2023, tingkat kemiskinan pedesaan mencapai 12,22%.  Sementara di perkotaan berada di level 7,29%. 

Sebelumnya, terjadi penurunan kemiskinan di pedesaan dari September 2022 ke Maret 2023 sebesar 0,14%, sedangkan perkotaan 0,24%. 

Meski ada penurunan, jumlahnya tidak lah signifikan, bukan? Lalu, apakah perpanjangan jabatan kepala desa bisa menjadikan kemiskinan jauh lebih berkurang?


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar