14 Mei 2024
19:42 WIB
PRSSNI: Larangan Jurnalisme Investigasi Bentuk Diskriminasi
Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) meminta penghapusan empat hal dalam draf revisi UU Penyiaran, termasuk larangan jurnalisme investigasi dan pelaksanaan analog switch off
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
Foto ilustrasi siaran radio. ANTARAFOTO/Harviyan Perdana Putra
JAKARTA - Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) meminta penghapusan empat hal dalam draf revisi UU Penyiaran. Salah satunya larangan penayangan jurnalistik investigasi.
Ketua Umum PRSSNI, Muhammad Rafiq mengatakan, RUU Penyiaran yang tengah digodok perlu dikritisi. Sebab ada beberapa hal yang perlu dihapus dari draf revisi UU Penyiaran.
Pertama, pasal dan ayat yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigatif, karena hal ini bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Selain itu, melarang lembaga penyiaran untuk melakukan dan menayangkan karya jurnalistik investigatif adalah bentuk diskriminasi,” ujarnya, di gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5).
Kedua, pasal dan ayat yang membolehkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyelesaikan sengketa jurnalistik yang terjadi di lembaga penyiaran, karena hal ini sudah diatur dalam UU Pers.
Ketiga, Pasal 30 E ayat 2 dan 4 yang menyatakan bahwa lembaga penyiaran radio harus melaksanakan Analog Switch Off pada 2028, karena bertentangan dengan Pasal 30 E ayat 1, ayat 2, ayat 5 dan ayat 6.
Adapun bunyi Pasal 30 E Ayat 1 yakni digitalisasi lembaga penyiaran radio dilakukan secara alamiah dan terencana.
Kemudian, penjelasan Pasal 30 E Ayat 2, yang dimaksud dengan alamiah dan terencana adalah dilaksanakan melalui teknologi analog dan digital secara bersamaan
Lalu, Pasal 30 E Ayat 5 menyatakan pilihan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilaksanakan oleh masyarakat dan lembaga penyiaran radio
Sementara Pasal 30 E Ayat 6 disebutkan pilihan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat 5 dilakukan dengan memperhatikan jaminan kemampuan keberlangsungan usaha lembaga jasa penyiaran radio.
Keempat, pasal dan ayat yang mengharuskan lembaga penyiaran radio untuk menggunakan teknologi digital terestrial.
“Karena radio digital terestrial terbukti gagal di belahan dunia manapun semenjak lembaga penyiaran dapat mendistribusikan program siaran melalui internet, dimana masyarakat dapat menikmati program siaran radio melalui smartphone tanpa harus membeli alat baru untuk mendengarkan siaran radio digital terestrial,” papa Rafiq.
Semestinya, menurut dia, teknologi radio digital terestrial adalah pilihan, bukan keharusan.
Selain mengkritisi empat hal tersebut, PRSSNI juga mengusulkan agar anggota KPI tidak lagi dipilih oleh DPR.
Rafiq mengatakan, sebaiknya dibentuk panitia seleksi pemilihan anggota KPI yang terdiri dari unsur pemerintah, asosiasi lembaga penyiaran, asosiasi praktisi penyiaran, dan perwakilan masyarakat
“Dengan demikian diharapkan dapat terbentuk KPI yang kapabel, profesional dan independen,” pungkas Rafiq.