c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

07 Oktober 2025

18:59 WIB

Program MBG Perlu Payung Hukum

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang berjalan tanpa payung hukum rentan dilaksanakan sesuai dengan selera kekuasaan  

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>Program MBG Perlu Payung Hukum</p>
<p>Program MBG Perlu Payung Hukum</p>

Ilustrasi Makan Bergizi Gratis. Validnews/Hasta Adhistra Ramadhan 


JAKARTA - Program Officer Transparency International Indonesia (TII), Dzatmiati Sari, mengkritik kekacauan program Makan Bergizi Gratis (MBG) saat ini. Menurutnya, ketiadaan dasar hukum menjadi salah satu masalah MBG saat ini.

Ia menjelaskan, sejauh ini aturan kegiatan MBG merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2015 yang mengatur tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024 bertujuan membentuk Badan Gizi Nasional. Keberadaan dua aturan itu dinilai Djatmiati tidak kuat.

“Sebenarnya dua peraturan ini hanya dijadikan sebagai normatif saja, tapi dia tidak bisa dijadikan sebagai payung atau dasar hukum untuk pelaksanaan proyek MBG ini,” jelasnya, saat dalam peluncuran MBG Watch di Menteng, Jakarta, Selasa (7/10).

Dzatmiati menjelaskan, dua aturan itu dinilai tidak menaungi MBG, lantaran tidak mengatur koordinasi antarlembaga, pemerintah, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana memastikan keterlibatan publik.

“Tadi kita sudah bicara soal partisipasi publik, bagaimana publik itu terlibat secara inklusif, secara aktif dalam proyek MBG ini. Nah itu tidak ada, sehingga ketika ada keracunan gini, kita menuntut ke siapa?” paparnya.

Untuk itu, ke depannya, dalam konteks program MBG, setidaknya perlu dibentuk dalam Perpres, seperti halnya persoalan stunting yang telah dibuatkan Perpres.

“Perpres itu kan soal teknis, maka perlu diperkuat dari aspek tata kelolanya, mulai dari pengelolaan kelembagaan program, cara pengadaan, cara distribusi, hingga keterbukaan informasi publik dan ruang pelibatan warga dalam pelaksanaan program,” katanya.

Senada dengan Dzatmiati, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Fadhil Alfathan mengatakan, ketiadaan landasan hukum ini membuat MBG sangat rentan dijalankan sesuai dengan selera kekuasaan. 

“Tidak ada dasar hukumnya. Jadi pasar bebas, ini jadi alam liar yang kejadiannya bisa sewaktu-waktu dijalankan sesuai selera kekuasaan,” katanya.

Apalagi, lanjut dia, MBG merupakan program sejak kampanye, sehingga sangat rentan dijalankan untuk memenuhi ambisi penuntasan janji ketimbang untuk memenuhi hak atas pangan dan gizi masyarakat.

“Pertama, ketiadaan mekanisme pengawasan yang jelas, tidak terintegrasi dengan lembaga negara lain, bahkan sifatnya sangat sentralistik dan tidak ada hal-hal yang berkaitan dengan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan secara komprehensif,” paparnya.

Akibat lainnya adalah tidak ada mekanisme akuntabilitas yang jelas dan tidak ada mekanisme yang secara evaluatif dapat menilai MBG ini secara program berjalan dengan baik atau tidak.

“Tapi yang kita juga harus lihat ini juga sekaligus ketiadaan dasar hukum ini menimbulkan juga ketiadaan jaminan pemenuhan maupun perlindungan hak penerima manfaat,” katanya.

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar mencatat, hingga 6 Oktober 2025 tercatat 9.413 anak sekolah menjadi korban keracunan makanan yang diduga berasal dari program MBG.

“Angka ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap efektivitas dan keamanan pelaksanaan program yang sejatinya bertujuan meningkatkan gizi anak, mencegah stunting, dan mengentaskan kemiskinan,” tegasnya.

Padahal, lanjut Media, MBG sejak awal diklaim sebagai terobosan nasional dalam memperbaiki kualitas gizi anak Indonesia. Namun, hingga kini informasi dasar mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program masih terbatas dan sulit diakses publik.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar