c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

NASIONAL

25 Oktober 2021

15:03 WIB

Profesi Psikiater Masih Kurang Dihargai Di Indonesia

Pendidikan psikiatri masih terkonsentrasi di Pulau Jawa

Penulis: Wandha Nur Hidayat

Editor: Leo Wisnu Susapto

Profesi Psikiater Masih Kurang Dihargai Di Indonesia
Profesi Psikiater Masih Kurang Dihargai Di Indonesia
Ilustrasi kesehatan jiwa. Ist

JAKARTA – Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Diah Setia Utami mengatakan, profesi psikiater masih kurang dihargai di Indonesia. Padahal 20% populasi punya prevalensi gangguan jiwa, dan 1,7% populasi mengalami gangguan jiwa berat.

Penghargaan yang kurang terhadap profesi ini tidak terlepas dari masalah kesehatan jiwa yang belum dianggap sebagai prioritas. Tenaga profesional untuk layanan kesehatan jiwa hanya 1.053 orang, atau satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk.

"Ada 20% yang punya masalah kesehatan jiwa seperti cemas, depresi. Tapi yang gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, psikotik, dan bipolar, itu 1,7%. Berarti hampir 4-5 juta dari hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)," ujar Diah kepada Validnews, Senin (25/10).

Diah menjelaskan, ada berbagai masalah terkait layanan kesehatan jiwa yang mencerminkan pandangan psikiater kurang dihargai. Salah satunya jumlah pendidikan psikiatri yang masih minim, sehingga menyebabkan jumlah SDM profesional psikiater sangat sedikit.

Pendidikan psikiatri di Indonesia saat ini hanya ada di enam universitas. Empat di antaranya di Jawa, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sebelas Maret, Universitas Udayana, dan Universitas Hasanuddin.

"Orang misalnya dari Kalimantan kalau mau sekolah psikiatri harus ke Jawa, Bali, atau ke Makassar. Berat enggak sih? Biaya hidupnya saja sudah berat, belum biaya sekolahnya, dan sebagainya. Jadi mau mencetak (SDM), tapi tempat mencetaknya saja terbatas," urai dia.

Menurut Diah, kurangnya penghargaan pada psikiater pun membuat orang berpikir dua kali untuk menempuh pendidikan ini. Kompetensi seorang psikiater kerap tidak dihargai karena dianggap tak sama dengan profesional bidang kesehatan lainnya di mata masyarakat.

Layanan konseling, psikoterapi, dan membuat seseorang termotivasi untuk tidak bunuh diri, misalnya, kerap tidak dibayar dan bahkan tidak ditutup oleh kebanyakan asuransi swasta. Padahal biaya untuk menjadi psikiater hampir sama besar dengan profesi kesehatan lainnya.

"Namanya orang menjadi psikiater itu enggak gampang lho. Kami melawan stigma. Kalau ada apa-apa sedikit, kalau ada dokter yang gimana gitu oleh sejawat lain (dibilang), 'Pantesan saja psikiater ketularan pasiennya'. Ada kayak begitu itu," ungkap Diah.

Stigma terhadap profesi psikiater dan orang dengan gangguan jiwa pun menjadi persoalan yang mencerminkan masalah kesehatan jiwa kurang dianggap penting di masyarakat. Ini juga yang membuat banyak orang enggan mencari layanan kesehatan jiwa.

Ironisnya, lanjut Diah, stigma tersebut bukan hanya datang dari keluarga dan masyarakat, tetapi juga dari profesi-profesi kedokteran lainnya. Di rumah sakit umum-rumah sakit umum, contohnya, rata-rata poliklinik jiwa sengaja diletakkan di ruangan pojok.

"Jadi stigma itu keluar juga dari para profesi kedokteran. Misalnya, ada dokter yang suka juga bilang kalau yang namanya psikiater itu akan kasih obat selamanya. Jadi banyak hal stigma itu keluar baik dari pasiennya sendiri, keluarga, masyarakat, dan profesi," kata dia.

Dia menyebut banyak juga dokter umum yang buru-buru memberi rujukan saat seseorang dengan gangguan jiwa datang kepada mereka karena merasa ketakutan. Padahal memberi rujukan tak mudah, sebab layanan kesehatan jiwa masih terbatas. Ini pun bagian dari stigma.

Stigma itu juga yang dinilai menjadi dasar bagi banyak jasa asuransi untuk tidak menutup biaya kesehatan jiwa. Biaya untuk mengatasi kondisi depresi dan percobaan bunuh diri, misalnya, tidak tercakup dalam asuransi swasta dan sangat terbatas dari asuransi pemerintah.

"Kemudian kalau dia (orang dengan gangguan jiwa) misalnya membutuhkan obat-obat tertentu, ya itu dia harus beli sendiri. Jadi agak kompleks memang masalahnya layanan kesehatan jiwa," ucap Diah.

Dia katakan, PDSKJI telah meminta kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin agar semua fasilitas layanan kesehatan primer dapat menangani gangguan jiwa. Termasuk juga peningkatan kemampuan dokter umum untuk menangani kasus gangguan jiwa berat.

"Kasus-kasus skizofrenia, misalnya, tidak usah pasien itu (dirujuk), enggak gampang membawanya ke tempat-tempat yang jauh, ada risiko. Itu yang kami harap ada kerja sama antara dinas kesehatan dengan PDSKJI cabang di daerah masing-masing untuk melatih," jelas dia.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar