c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

NASIONAL

16 Oktober 2021

11:14 WIB

Presidential Threshold 20% Hambat Capres Alternatif

Presidential Threshold juga turut menyebabkan kuatnya polarisasi atau perpecahan di masyarakat.

Editor: Nofanolo Zagoto

<i>Presidential Threshold</i> 20% Hambat Capres Alternatif
<i>Presidential Threshold</i> 20% Hambat Capres Alternatif
Ilustrasi masyarakat mengikuti pemilu. ANTARAFOTO/Maulana Surya

JAKARTA – Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyampaikan, ketentuan ambang batas calon presiden (presidential threshold) 20% dapat menghambat pencalonan tokoh-tokoh alternatif di luar elite partai politik. 

Alasannya, ketentuan ambang batas itu, yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu, menyebabkan pengaruh partai politik terlampau kuat dalam menentukan tokoh-tokoh yang dapat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.

“Kalau bicara peluang pencalonan, determinasi partai politik sangat kuat,” sebut Titi saat menjadi pembicara pada acara diskusi virtual, Jumat (15/10), seperti dilansir Antara.

Kondisi semacam itu menyebabkan para pemilih tidak diberi pilihan bakal presiden yang memadai. Karena tokoh-tokoh yang maju pada pemilihan 2024 akan didominasi oleh elite-elite partai atau mereka yang dekat dengan kelompok tersebut.

“Mau tidak mau, bicara soal peluang perempuan, capres-capres alternatif yang mewakili daerah akhirnya kembali ke hulu, punya tidak 20% kursi di DPR atau 25% suara sah,” terangnya.

Terkait itu, Titi berharap para elite partai politik dapat menunjukkan sikap negarawan dan itikad baik mewujudkan demokrasi yang sehat. Salah satunya dengan membuka peluang tokoh-tokoh di luar lingkar kekuasaan untuk mencalonkan diri sebagai Presiden.

“Di sini kenegarawanan dan itikad baik dari para elite partai (untuk) memberi alternatif-alternatif beragam pada pemilih jadi penting,” ujar Titi.

Alasannya, ketentuan ambang batas 20% itu tidak hanya membatasi peluang tokoh-tokoh maju jadi capres, tetapi turut menyebabkan kuatnya polarisasi atau perpecahan di masyarakat.

Titi khawatir jika ketentuan ambang batas terus berlaku, maka pemilihan umum 2024 akan menyebabkan polarisasi kian menguat antarkelompok masyarakat.

“Polarisasi disintegratif yang tidak berorientasi pada gagasan dan program. (Polarisasi itu) justru berorientasi pada pendekatan yang memecah belah. Itu kecenderungannya. Kalau tidak belajar dari (pemilu) 2019, sangat mahal ongkos yang dibayar,” kata dia.

Dalam sesi diskusi yang sama, pengamat politik Rocky Gerung berpendapat, publik kesulitan memiliki pilihan di luar elite partai politik selama ketentuan ambang batas capres 20% masih berlaku.

Ia menerangkan, jika aturan itu direvisi atau dihapus, maka publik akan punya kesempatan untuk melihat adanya calon-calon alternatif di luar elite partai politik.

“Seandainya soal-soal itu bisa diatasi, maka dimungkinkan bicara tentang politik alternatif, calon presiden alternatif, gender equality (kesetaraan gender.red.) dalam kepresidenan,” sebut Rocky.

 

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar