c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

NASIONAL

30 September 2025

19:00 WIB

Prakarsa Jitu Agar Teman Tuli Tak Merasa Sepi

Pemerintah menggagas akan memasukkan bahasa isyarat sebagai kurikulum di sekolah. Tujuannya, agar makin banyak masyarakat yang memahami teman tuli sehingga mereka takkan merasa sendiri.

Penulis: James Fernando

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p id="isPasted">Prakarsa Jitu Agar Teman Tuli Tak Merasa Sepi</p>
<p id="isPasted">Prakarsa Jitu Agar Teman Tuli Tak Merasa Sepi</p>

Ilustrasi guru mengajarkan bahasa isyarat pada siswa di kelas. Shutterstock/wavebreakmedia.

JAKARTA – Pendidikan inklusif bukan lagi hal baru di Indonesia. Pemerintah sudah mulai mengadopsi kewajiban berdasar konstitusi ini, dan pelaksanaannya dikuatkan dengan sejumlah undang-undang. 

Ada beragam beleid mengatur hal ini. Di antaranya, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional lalu UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. 

Ada pula Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 56/M/2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran. Tertulis dalam Kepmendiktirsitek itu, satuan pendidikan perlu mengembangkan kurikulum dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

Sejak 1977,  pemerintah telah membuka Sekolah Luar Biasa (SLB). Kini, jumlahnya mencapai 2.366. Sebanyak 650 SLB negeri dan sisanya swasta. Sementara itu, hingga akhir 2023, jumlah satuan pendidikan formal di Indonesia yang memiliki peserta didik berkebutuhan khusus mencapai 40.164 dari total 399.376 unit.

Menurut Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif Kemdikbud (2022), pendidikan inklusif merupakan sistem layanan pendidikan yang memberi kesempatan kepada semua peserta didik. Layanan ini juga menjangkau mereka yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau potensi kecerdasan dan bakat istimewa, untuk mengikuti pembelajaran bersama di kelas reguler sesuai kebutuhan dan kemampuannya.

Nah, kini Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Pratikno mengutarakan niat pemerintah memperluas pendidikan inklusi di sekolah. Yang terbaru adalah masuknya bahasa isyarat  ke dalam kurikulum pendidikan nasional.

Menurut Pratikno, hal ini perlu mengingat banyak anak-anak Indonesia yang mengalami kesulitan pendengaran, ataupun bicara. Bila mereka tidak bisa berkomunikasi dengan dunia sekitarnya, maka anak atau orang dewasa sekalipun akan terisolasi. 

“Tidak bisa berkomunikasi, tidak bisa memahami kondisi sekitar dengan mudah, tidak bisa menyerap pengetahuan, tidak bisa mengembangkan diri, mengalami kesulitan untuk bekerja, bahkan juga tentu saja mengalami kesulitan untuk berkontribusi," kata Pratikno, Kamis (28/8).

Menko menekankan, pengaplikasian kebijakan menjadi penting ini, karena menjadi bagian dari visi besar menuju Indonesia yang inklusif. Dengan semakin banyak masyarakat yang memahami bahasa isyarat, semakin mudah tunarungu dan tunawicara berkomunikasi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial. Dengan begitu, tak satupun masyarakat Indonesia yang tereksklusi dari komunikasi, pengembangan pengetahuan, maupun pelayanan publik.

Sama Dengan Bahasa Indonesia
Memasukan bahasa isyarat ke dalam kurikulum nasional menjadi salah satu pilihan terbaik untuk dilakukan supaya setiap warga negara, anak maupun tenaga profesional bisa berkomunikasi dengan para penyandang tunarungu. Bahasa isyarat diposisikan sama halnya dengan bahasa Indonesia. Karena berfungsi sebagai bahasa pemersatu bagi komunitas tuli, yang sering kali terisolasi dari masyarakat luas.

Ini selaras dengan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) 2023. Kini tercatat, terdapat 4,3 juta penyandang disabilitas sedang hingga berat di Indonesia, dengan mayoritas berada pada kelompok usia dewasa dan lanjut usia. Di keseharian, penyandang disabilitas dan keluarganya masih menghadapi keterbatasan akses terhadap layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan.

Salah satu tantangan utama dalam sektor pendidikan adalah rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas. Data Susenas Maret 2024 menunjukkan bahwa 17,2% penyandang disabilitas berusia 15 tahun ke atas tidak pernah bersekolah, dan hanya 4,24% yang berhasil mencapai pendidikan tinggi. Karena itu, langkah ini untuk memberikan kesetaraan kepada para disabilitas dalam hal pendidikan.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum juga mengatakan senada, Dia mengelaborasi makna pentingnya bahasa isyarat sebagai sarana komunikasi yang inklusif sekaligus jembatan pemahaman antara warga tuli dengan masyarakat luas.

Upaya ini, lanjut dia, sejalan dengan amanat UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Juga arah kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029. Keduanya menekan penguatan layanan dasar dan peningkatan aksesibilitas bagi seluruh warga negara.

Pemerintah menilai pemahaman bahasa isyarat tidak boleh berhenti di kalangan tuli saja, melainkan harus diperluas ke tenaga pendidik, aparatur layanan publik, serta masyarakat agar komunikasi inklusif bisa terwujud. Kemenko PMK tengah menjalankan program unggulan Selaras Bahasa Isyarat. Tujuannya, meningkatkan aksesibilitas bagi warga tuli dan mendorong mobilitas mereka sesuai target RPJMN.

Di sisi lain, upaya penguatan bahasa isyarat mulai pada jenjang pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi, diamini Woro tak bisa diterapkan cepat. Butuh persiapan matang serta tahapan yang tidak sederhana. Butuh penyusunan kajian yang komprehensif serta partisipatif. 

Dua Bahasa Isyarat 
Dari kajian yang kini dilakukan, program ini diharapkan bisa mengakomodir aspek linguistik, regulasi, ketersediaan tenaga pendidik, peningkatan aksesibilitas hingga penyediaan akomodasi yang layak bagi peserta didik. Selain itu, pemerintah juga menginginkan adanya peningkatan jumlah dan kompetensi Juru Bahasa Isyarat (JBI) atau Intepreter Bahasa Isyarat. Upaya ini dilakukan melalui pelatihan dan sertifikasi, pelatihan bahasa isyarat bagi ASN dan tenaga pendidik, serta penyusunan regulasi Bahasa Isyarat Nasional.

Woro menyatakan, gagasan ini selaras dengan dukungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang menempatkan bahasa isyarat sebagai fokus keempat setelah bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing.

“Saat ini, Kemenko PMK telah menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Komisi Nasional Disabilitas (KND), BRIN, perguruan tinggi, komunitas, serta organisasi penyandang disabilitas, untuk menyiapkan kajian penyelarasan bahasa isyarat,” kata Woro, kepada Validnews, Senin (29/9).

Kordinasi ini dilakukan agar seluruh pihak mengetahui tentang proses integrasi bahasa isyarat ini sudah dimulai, meski perjalan pengaplikasian program ini masih panjang. Terlebih, road map resminya belum tersedia.

Meski demikian, Komisi Nasional Disabilitas (KND) mengapresiasi niatan ini sebagai suatu terobosan yang jitu. Komisioner KND Kikin Tarigan menilai, bahasa isyarat sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Mereka telah melakukan audiensi dan menyampaikan rekomendasi langsung kepada Kemenko PMK dan Bappenas.

Berdasarkan kajian KND, bahasa isyarat menyimpan makna yang jauh lebih besar dari sekadar alat komunikasi. Bagi masyarakat tuli, bahasa isyarat adalah pintu masuk ke dunia pengetahuan, literasi, partisipasi, dan kemandirian. Sebab, realitasnya masih jauh dari ideal. Tak hanya sebagai aksesibilitas, bahasa isyarat juga merupakan warisan intelektual. Seperti halnya bahasa daerah, bahasa isyarat memiliki struktur, dialek, dan ekspresi budaya yang kaya dan perlu dilestarikan.

Selama ini, teman tuli mengalami keterbatasan dalam mengakses informasi karena hambatan bahasa. Akibatnya, mereka seringkali tertinggal secara sosial dan ekonomi. Menurut dia, konsep dasar pendidikan inklusif adalah no one left behind atau tidak ada satupun warga negara yang tertinggal dari pendidikan. Jadi, memasukkan bahasa isyarat dalam kurikulum bukan semata kebijakan linguistik, tapi bentuk keadilan sosial.

Sebagai pengusul bahasa isyarat diajarkan pada pendidikan, KND tidak menyarankan pemerintah membentuk kurikulum kaku untuk pembelajaran bahasa isyarat ini. Pendekatannya harus lebih fleksibel dan berbasi level kompetensi seperti pembelajaran bahasa asing.

“Tidak semua orang langsung bisa belajar bahasa isyarat secara sempurna. Anak-anak bisa mulai dari dasar, seperti alfabet isyarat, lalu berkembang ke tata bahasa, ekspresi, hingga komunikasi kompleks," kata Kikin saat berbincang dengan Validnews, Senin (29/9).

Banyaknya permasalahan ini, kata Kikin membuat pemerintah perlu membahas soal rencana kurikulum baru ini secara matang. 

“Begitu pemerintah menetapkan ini sebagai kebijakan nasional, maka lembaga pelatihan, kampus, dan organisasi sosial akan bergerak mengikuti. Ini bukan hal yang mustahil," tambah Kikin.

Komisioner KND lainnya, Rachmita Maun Harahap mengusulkan, Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) yang patut diadopsi, bukan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). Menurutnya, SIBI bukan bahas yang lahir dari komunitas tuli. SIBI disusun oleh orang dengar pada tahun 1990-an. Sejak tahun 1994 sudah ditetapkan melalui surat Menteri Pendidikan untuk digunakan di Sekolah Luar Biasa (SLB).

Namun, menurutnya Bisindo lebih tepat untuk dijadikan patokan dalam pendidikan di tingkat sekolah. Juga bahasa yang digunakan sehari-hari oleh komunitas tuli di Indonesia.

Bisindo merupakan bentuk komunikasi visual yang tumbuh organik di masyarakat. Dianggap lebih inklusif dan mampu menjembatani kebutuhan komunikasi antara peserta didik tuli dan guru di sekolah umum.

Saat ini, Indonesia masih menghadapi dua polarisasi dalam bahasa isyarat yakni SIBI dan Bisindo. SIBI disusun dengan struktur Bahasa Indonesia dan memiliki kamus resmi yang diakui pemerintah. Sementara, Bisindo belum memiliki legalitas formal yang kuat meski penggunaannya jauh lebih luas di komunitas tuli.

SIBI sudah dilengkapi oleh kamus. Namun, Bisindo itu baru dikembangkan secara akademik oleh Universitas Indonesia. Tapi, Bisindolah yang hidup dan digunakan sehari-hari di masyarakat.

Rachmita mengusulkan pemerintah segera meresmikan pengakuan Bisindo secara nasional, termasuk melalui penyusunan kamus resmi. Saat ini, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tengah merancang edisi pertama kamus Bisindo yang memuat sekitar 50 halaman. 

"Agar ada kesamaan untuk pembelajaran bahasa isyarat di Indonesia, tanpa mengabaikan adanya bahasa isyarat yang tumbuh di berbagai daerah itu sendiri," kata Rachmita, kepada Validnews, Senin (29/9).

Tantangan terbesar dalam implementasi rencana ini adalah kekurangan sumber daya manusia, terutama JBI. Berdasarkan data BPS 2023, jumlah penyandang disabilitas tuli di Indonesia mencapai 1,92 juta orang, namun jumlah JBI aktif hanya berkisar antara 200 hingga 400 orang saja.

“Kalau kita bicara inklusi, yang perlu tahu Bisindo bukan hanya orang tuli. Tapi semua orang. Termasuk polisi, jaksa, guru, ASN. Tapi faktanya, banyak lembaga pemerintah tidak punya SDM JBI,” lanjut Rachmita.

Langkah memasukkan bahasa isyarat ke dalam kurikulum bukan hanya soal menambah pelajaran baru. Ini adalah langkah strategis untuk menjamin hak pendidikan, komunikasi, dan ekspresi diri bagi penyandang disabilitas tuli.

“Bahasa adalah identitas. Pengakuan terhadap Bisindo berarti kita mengakui eksistensi dan martabat komunitas tuli sebagai bagian dari bangsa ini,” tutup Rachmita.

Proses adopsi di kurikulum memang masih jauh. Pemerintah saat ini tengah menyusun dasar kajian terlebih dahulu. Tujuannya agar setiap kebijakan yang lahir bisa tepat sasaran, sesuai kebutuhan lapangan. Juga selaras dengan kebijakan sektoral yang sudah ada selama ini. Nantinya, hasil kajian ini akan menjadi dasar penyusunan peta jalan serta penguatan regulasi teknis melalui koordinasi lintas sektor yang terencana.

Proses integrasi bahasa isyarat masuk ke kurikulum akan dilaksanakan secara bertahap. Mulai dari pengembangan modul dan materi ajar, pelatihan guru melalui kemitraan dengan komunikasi bahasa isyarat, hingga uji coba sekolah dalam bentuk muatan lokal.

Uji coba yang dilakukan akan dievaluasi secara menyeluruh, mulai dari efektivitas materi, kesiapan tenaga pendidik, hingga penerimaan peserta didik dan masyarakat. Pemerintah berharap bahasa isyarat kelak bisa menjadi mata pelajaran wajib, setara dengan bahasa asing lainnya.

Ketersediaan Pengajar
Namun, salah satu tantangan terbesar yang kini terlihat adalah masih minimnya pemahaman bahasa isyarat, terutama di daerah yang belum familiar. 

Mengutip pernyataan Bagja Prawira, Co-Founder @silang.ig pada akun media sosial Instagram @jsclab pada 14 Agustus 2024,di Jakarta saja, masih ada kesenjangan besar antara jumlah juru bahasa isyarat dan teman tuli. Aktivis kesetaraan hak penyandang tuli ini memperkirakan, perbandingan di tanah air adalah sekitar 15 juru bahasa isyarat untuk 300 teman tuli. 

“Sehingga, komunikasi menjadi tantangan di lingkungan yang belum sepenuhnya inklusif,” urai pria tuli ini.

Soal kapan akan dilaksanakan, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Toni Toharudin mengungkapkan. Katanya, saat ini kementerian belum membahas soal rencana memasukan bahasa isyarat ke dalam kurikulum pendidikan.

Meski demikian, peluang bahasa isyarat tersebut menjadi salah satu pembelajaran di sekolah sangat besar. Terlebih, Peraturan Menteri Pendidikan Dasar Menengah Nomor 13 Tahun 2025 memuat tentang hal tersebut. Dalam lampiran peraturan itu disebutkan struktur setiap jenjang SD, SMP, SMA dan SMK, kurikulum di Satuan Pendidikan Penyelenggara pendidikan inklusif di sekolah menambahkan mata pelajaran program kebutuhan khusus sesuai dengan kondisi peserta didik.

“Jadi ada ruang yang bisa dimasukan terkait bahasa isyarat, memungkinkan untuk dimasukan dalam kurikulum,” kata Toni, kepada Validnews, Senin (29/9).  

Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto di kesempatan berbeda mengamini juga akan dampak positifnya. Langkah pemerintah ini sangat positif untuk membantu perkembangan anak-anak di sekolah. Terlebih, anak-anak bisa menguasai bahasa isyarat.

Tak hanya itu saja, rencana ini jelas bisa menambah kepekaan dan rasa empati para peserta didik ke sesamanya. Termasuk, untuk meningkatkan toleransi kepada teman tuli. Artinya, langkah ini bisa memutus jarak antara para penyandang tuli dan non-tuli.

“Kurikulum ini bisa menambah empati anak didik terhadap rekan sesama siswa. Sikap budaya seperti ini akan mendorong budaya meritokrasi yang baik untuk kedepannya,” kata Totok dengan nada antusia kepada Validnews, Senin (29/9).


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar