23 Juli 2024
19:31 WIB
Polisi Ungkap Kasus Eksploitasi Seksual Anak, 4 Tersangka Tawarkan 19 Anak Via Medsos
Bareskrim Polri membongkar kasus eksploitasi seksual anak melalui media sosial (X dan Telegram) dengan melibatkan sebanyak 19 anak sebagai pekerja seks
Penulis: James Fernando
Editor: Nofanolo Zagoto
Wadirtipidsiber Kombes Polisi Doni Kustoni (tengah) memberikan paparan dalam konferensi pers kasus eksploitasi seksual anak secara daring yang melibatkan anak di bawah umur di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (23/7/2024). ANTARA/Nadia Putri Rahmani
JAKARTA - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap dan menetapkan empat tersangka kasus dugaan ekploitasi anak di bawah umur secara online. Masing-masing tersangka berinisial MIR alias IM alias SAM (26), YM (39), MRP alias Alona alias Aline (39), dan CA alias AUL (19)
Wakil Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Komisaris Besar Dani Kustoni mengatakan, para pelaku melakukan eksploitasi anak melalui media sosial X. Motifnya untuk meraup keuntungan dalam jumlah yang besar.
Para pelaku mematok harga anak di bawah umur untuk melayani pria hidung belang sebesar Rp8-17 juta melalui akun media sosial X.
Sejak Juli 2024, para tersangka berhasil menjaring 3.200 member. Tiap member di media sosial X itu wajib membayar uang Rp500 ribu hingga Rp2 juta untuk dimasukkan ke dalam grup Telegram bernama Premium Place.
Di akun Telegram itu, para pelaku menjajakan 1.962 orang yang ada dalam katalog. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan polisi sejauh ini, ada 19 orang anak yang masuk dalam katalog tersebut. Mereka bertugas untuk melayani para pelanggannya.
“Khusus perempuan di bawah umur, para tersangka mematok harga antara Rp8 juta sampai dengan Rp17 juta,” kata Dani, di Bareskrim Polri, Selasa (23/7).
Untuk menjaga jumlah pelanggannya, para tersangka memberikan sejumlah keuntungan bagi para anggota member yang dianggap loyal. Mereka akan dimasukkan ke dalam grup Telegram bernama ‘Hidden Gems’. Namun, mereka harus membayar deposit sebesar Rp10 juta.
Dalam grup bernama Hidden Gems itu, para membernya diberikan perempuan yang menurut penilaian para tersangka merupakan yang terbaik.
“Setelah ditelusuri, kami juga menemukan grup Hidden Gems di mana member membayar lebih. Jadi, kalau yang di grup biasa membayar deposit Rp500 ribu-Rp5 juta, di grup Hidden Gems ini Rp5 juta-10 juta dengan talent yang ditawarkan lebih mahal, yakni ratusan juta rupiah,” tambah Dani.
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan polisi, para tersangka memiliki peran berbeda. Tersangka YM berperan sebagai admin Telegram. Dia bertugas menginformasikan katalog dan membuat profil talent serta menyediakan rekening pembayaran.
MRP dan CA berperan menyediakan talent, serta membayar talent yang telah melayani. Sedangkan MI merupakan pengelola media sosial sekaligus menjadi pelaku utama dalam sindikat ini.
“MI ini merupakan pelaku utama yang membuat akun di media sosial X kemudian membentuk Telegram di Premium Place, kemudian akun tersebut sudah dikelola MI, termasuk mengelola transaksi pembayaran terhadap talent,” ungkap Dani.
Terakhir, YM berperan sebagai admin di Telegram menginformasikan katalog talent sekaligus menjadi customer service serta menyediakan rekening pembayaran talent.
"Dari hasil pemeriksaan tersangka, kami temukan di rekening kurang lebih total transaksinya ada 9 miliar yang kita temukan dari 3 rekening," imbuh Dani.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 52 yat 1 juncto Pasal 27 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Para tersangka juga disangkakan Pasal 30 juncto Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Polisi juga menebalkan pasal sangkaan mereka dengan Pasal 2 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan/atau Pasal 88 juncto Pasal 76 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Di tempat yang sama, Pelaksana Tugas Asisten Bidang Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Atwirlany Ritonga mengatakan, KPPPA mengapresiasi tindakan kepolisian membongkar kasus eksploitasi anak ini.
Atwirlany menyatakan, kasus eksploitasi anak ini masih menjamur di Indonesia. Pada periode Januari-Juni 2024 saja, KPPPA menerima sebanyak 67 aduan kekerasan dan eksploitasi anak di ranah daring.
“Tentu saja dari fakta tersebut, kekerasan anak di ranah daring menjadi pekerjaan rumah yang masih belum selesai. KPPPA sangat menyayangkan kasus ini bisa terjadi dan bisa menimpa anak di Indonesia,” kata Atwirlany.