29 Agustus 2025
17:33 WIB
Polisi Perlu Benahi Mekanisme Penanganan Unjuk Rasa
Ketua PBNU, Alissa Wahid menyampaikan, polisi, militer, pemerintah hingga anggota DPR harus memahami relasi demokrasi di Indonesia
Editor: Nofanolo Zagoto
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Qothrunnada Wahid dalam Konferensi Tunas GUSDURian 2025 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Jumat (29/8/2025). ANTARA/HO-GUSDURian.
JAKARTA - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Alissa Qothrunnada Wahid mengatakan, kepolisian perlu membenahi mekanisme penanganan unjuk rasa, menyusul insiden yang menewaskan pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan.
"Menurut saya kepolisian perlu untuk menata ulang mekanisme-mekanisme dalam penanganan unjuk rasa, karena kita merekam banyak sekali kejadian-kejadian kekerasan yang eksesif dan berlebihan ini," ujar Alissa usai pembukaan Konferensi Tunas GUSDURian 2025 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, seperti dilansir Antara, Jumat (29/8).
Alissa menyampaikan kepolisian, militer, dan pemangku kebijakan harus memahami relasi demokratis di Indonesia, yang berarti rakyat berhak mendapat perlindungan dan rasa aman dalam menyampaikan aspirasinya.
Ia juga menegaskan, dalam demokrasi, rakyat bukanlah hamba dari penguasa.
"Polisi, militer, dan semua yang memegang senjata, juga pemerintah dan bahkan anggota DPR harus paham relasi di Indonesia adalah relasi demokratis," kata dia.
Alissa Wahid mengingatkan kembali sejarah yang mencatat Gus Dur bahwa kerap melontarkan kritik tajam terhadap DPR. Salah satu ungkapan yang masih sering dikutip Gus Dur "Memang tidak jelas bedanya antara DPR dan TK".
Kritik tersebut lahir dari keprihatinan Gus Dur atas kebijakan DPR yang kerap tidak berpihak kepada rakyat.
"Ada warga kehilangan nyawa akibat kebijakan DPR dan pemerintah yang tidak peka terhadap rakyat. Padahal, Gus Dur adalah seorang politisi, tetapi juga sosok yang paling keras mengkritik negara," ujar Alissa.
Ia menegaskan, meski pernah menjabat sebagai presiden, Gus Dur selalu menekankan agar warga NU maupun masyarakat luas tetap kritis terhadap pemerintah.
"Gus Dur berada pada persimpangan antara negara dan rakyat, tetapi ia selalu berpihak kepada kepentingan rakyat," kata dia.
Menurutnya, Gus Dur mengajarkan bahwa setiap keputusan seorang pemimpin harus ditujukan untuk kepentingan rakyat. Hal itu berangkat dari spiritualitas dan ruang-ruang teologis yang selalu menjadi dasar langkah Gus Dur.
Ia konsisten menanamkan benih persaudaraan lintas iman dengan tujuan utama kemanusiaan.
"Bagi Gus Dur, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Semua keputusan, gagasan, dan perjuangannya akhirnya bermuara pada nilai kemanusiaan," kata Alissa.