c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

NASIONAL

26 Juni 2021

16:36 WIB

Polemik Pajak Dan Ancaman Kurang Gizi

Rencana pengenaan pajak pada layanan kesehatan dan pendidikan dinilai melanggar Konstitusi

Penulis: James Fernando,Gisesya Ranggawari,Wandha Nur Hidayat,

Editor: Nofanolo Zagoto

Polemik Pajak Dan Ancaman Kurang Gizi
Polemik Pajak Dan Ancaman Kurang Gizi
Sejumlah murid SD Negeri Kota Baru mengikuti Ujian Penilaian Akhir Sekolah di Bekasi, Jawa Barat, Se nin (8/6/2021). ANTARAFOTO/Fakhri Hermansyah

JAKARTA – Hanif, Anggota Komunitas Stunting Kit kaget bukan main begitu tahu rencana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% menyasar kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan. Rencana itu diketahuinya tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Wajar bila Hanif kaget. Dia khawatir penanganan kekerdilan (stunting) terganggu. Sebab pengenaan pajak pada jasa pendidikan dan kesehatan dinilai banyak pihak bisa menambah beban pengeluaran keluarga.

Terlebih, rencana ini juga membidik barang-barang kebutuhan pokok. Kalau sudah sengsara, kecil kemungkinan masyarakat memikirkan pengadaan bahan makanan yang bergizi. 

Hanif mendesak pemerintah segera menjelaskan secara utuh rencana penerapan pajak tersebut. Sebab dia khawatir hal ini malah mengganggu program pemerintah yang sudah berjalan, utamanya penanganan stunting.  Polemik di media, dia amati kian membuat gundah.

Upaya pencegahan stunting sendiri diamati Hanif masih jauh dari selesai. Saat membantu pemerintah melakukan edukasi, komunitasnya masih sering bertemu masyarakat yang tak mengetahui soal stunting dan bahayanya. Hal ini biasanya dijumpai di daerah pedalaman.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 , angka stunting nasional mengalami penurunan dari 37,2 % pada 2013 menjadi 30,8 % pada 2018. Menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2019, angka stunting 27,7 %.

Akan tetapi, Komunitas ini mengingatkan, stunting bukan hanya menimbulkan masalah pada tumbuh kembang anak saja. Kekurangan gizi kronis itu bisa menggerogoti fungsi otak. Artinya, bisa mengurangi tingkat kecerdasan anak.

“Makanya pemerintah harus memberikan kejelasan. Layanan kesehatan yang kena pajak itu apa saja. Harus dijelaskan secara rinci. Penurunan stunting ini sudah baik, jadi jangan terganggu,” kata Hanif, kepada Validnews, Jumat (26/7).

Penolakan juga datang dari Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Kurniasih Mufidayati. Dewan juga diyakininya akan menolak wacana kenaikan pajak itu. Alasannya, karena tak sesuai dengan Konstitusi.

Negara seharusnya hadir memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Bukan malah menambah beban masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan.

“Jangan sampai beban PPN mengakibatkan tambah beratnya penanganan stunting. Ini harus dicari solusinya,” kata Kurniasih, kepada Validnews.

Hal serupa dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf kepada Validnews, Jumat (25/6). Komisi X bahkan sudah menyuarakan hal ini saat rapat kerja bersama Mendikbud, Nadiem Makarim. Semua sepakat menolak rencana pemerintah itu.

Dede mengingatkan, pendidikan bukan merupakan kategori komersial yang patut dikenakan pajak, meskipun penyelenggaraannya juga melibatkan pihak swasta.

Keterlibatan pihak swasta justru memperlihatkan adanya tanggung jawab bersama memajukan pendidikan. Di mata Dewan, pemerintah selayaknya mengawasi dan memastikan pendidikan berjalan dengan baik. Bukan malah merancang pengenaan pajak.

“Ini khawatirnya masuk menjadi bagian dari ada UU Omnibus Law sekolah mendapatkan pajak,” kata Dede.

Kalaupun pemerintah tetap ngotot ingin menarik pajak dari jasa pendidikan, Dede menyarankan untuk menarik pajak ke investasi asing di bidang pendidikan. Contohnya, sekolah ternama di luar negeri yang membuka cabang di Indonesia. Untuk hal ini, dia menyetujui.

Menurut dia, rencana pemberian pajak pada dunia pendidikan ini tetap tidak bisa dipaksakan. Sebab, hal itu bisa saja merusak blueprint yang telah dicanangkan sebelumnya, semisal program Merdeka Belajar.

“Jadi, kalau dipaksakan ya semua program tidak bisa berjalan sama sekali. Itu resiko yang harus dipahami oleh pemerintah,” imbuh Dede.

Kebijakan Kontraproduktif
Kolega Dede di Komisi X, Abdul Fikir Fakih mengkritik keras. Dia memandang rencana pemerintah mengenakan pajak 12% kepada sektor jasa pendidikan, termasuk di antaranya sekolah, sebagai pelanggaran Konstitusi. 

Alasannya, negara wajib mengalokasikan 20% anggaran belanja untuk pendidikan.

"Bukan justru mengambil pajak dari situ dan membuat biaya akan menjadi mahal" kata Fikri kepada Validnews, Rabu (23/6).

Fikri heran wacana tersebut bisa muncul saat Konstitusi menekankan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab Negara. Dalam amandemen ke-4 UUD 1945, pasal 31 Ayat 2 menyebut setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Karena itu, dia meminta pemerintah berpikir, meletakkan pendidikan sebagai investasi bagi bangsa, bukan sebagai sektor komersial yang dikenakan pajak.

“Wacana ini telah mencederai cita-cita pendiri bangsa kita, yang tertulis jelas dalam preambul UUD 1945, yakni tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegas Fikri.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menguraikan lebih jauh. Pemerintah tak boleh berbisnis dengan dunia pendidikan dan juga kesehatan.

Dua sektor itu merupakan mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah seluruhnya. Tak boleh dikenai pajak.

Kalau pemerintah memaksakan penerapan pajak pada sektor kesehatan dan pendidikan, maka pemerintah harus merevisi UUD 1945. “UUD-nya yang harus diubah. Namanya hajat hidup orang banyak itu tanggung jawab negara,” tegas Trubus.

Trubus di sisi lain mengamini, sektor kesehatan dan pendidikan saat ini kerap menjadi incaran para taipan untuk memperkaya diri. Dua sektor itu banyak diincar karena merupakan kebutuhan utama masyarakat.

Kendati ada segelintir orang yang mendapatkan untung besar, dua sektor itu tetap saja tidak boleh dikenakan pajak. Pemerintah sebaiknya memperbaiki sistem tata kelola dunia kesehatan dan pendidikan.

“Sama dengan pendidikan, banyak sekolah rumah yang tarifnya di luar akal, mahal sekali. Kampus juga ada yang mahal sekali,” kata Trubus, kepada Validnews, Kamis (24/6).

Trubus mengakui, pemerintah sebenarnya telah menghasilkan aturan yang baik untuk masalah kesehatan dan pendidikan. Hanya saja, implementasi di lapangan masih bermasalah, terutama di daerah.

“Jadi ini susah. Banyak hal yang harus dibenahi. Dari kesehatan sendiri banyak yang harus dibenerin, pendidikan juga sama. Karena penerapan kebijakan di daerah terus bermasalah dan memberikan keuntungan kepada segelintir orang,” papar Trubus.

Tunggu Pembahasan
Di sisi pemerintah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kartini Rustandi justru tak mau ambil pusing terhadap rencana pengenaan pajak terhadap layanan kesehatan ini. Dia meyakini, ini sebatas wacana belaka.

Kartini yakin, pemerintah tak akan mungkin mengenakan pajak pada pelayanan kesehatan. Khususnya, program penurunan stunting dan program kesehatan lainnya milik pemerintah. Sejauh ini belum ada pembahasan secara mendalam terkait informasi yang beredar itu.

“Kalau pembahasan, harusnya ada pembahasan dengan DPR. Kemudian, pembahasan antarkementerian dan pembahasan panjang yang mendalam,” kata Kartini, kepada Validnews, Jumat (25/6).

Oleh karena itu, ketimbang memikirkan kemungkinan pengenaan pajak, pihaknya akan tetap fokus menangani masalah stunting di Indonesia. Apalagi targetnya jelas, angka stunting harus menjadi 14% pada 2024 nanti.

Stunting disebutkan Kartini memiliki dampak yang besar terhadap tumbuh kembang anak. Stunting membuat anak-anak mengalami gangguan pertumbuhan dan hal ini membuat metabolisme tubuh anak akan terganggu.

Dia mengingatkan, seluruh pihak, baik pemerintah atau masyarakat, untuk bekerja keras mengatasi stunting. Indonesia pada tahun 2035 harus bebas stunting.

“Sekarang kita sudah bekerja keras setengah mati untuk menurunkan stunting ini. Apalagi, kondisi sekarang pandemi covid-19. Makin sulit bagi kami untuk menangani masalah stunting ini,” lanjut Kartini.

Stunting, kata Kartini, bukanlah jenis penyakit yang dapat beres sesaat setelah diberikan obat. Stunting merupakan masalah kompleks yang harus diselesaikan secara bertahap.

Hal itu dimulai dari upaya memastikan calon ibu sehat dan mendapatkan asupan makanan yang cukup selama mengandung. Kemudian, setelah melahirkan, si ibu pun juga harus mendapatkan gizi yang cukup agar bisa menghasilkan asi yang eksklusif.

Di sisi lain, pertumbuhan bayi juga harus diperhatikan. Dia harus tumbuh sehat. Jangan sampai ada gangguan atau kekurangan asupan zat gizi yang bisa menghambat pertumbuhan anak.

“Ibu sakit juga bisa membuat pertumbuhan bayi bisa menjadi terhambat,” lanjut Kartini.

Dia menyampaikan, ada dua faktor penyebab stunting pada anak, yakni masalah sensitif dan spesifik. Pada masalah spesifik, stunting disebabkan karena kekurangan gizi melalui makanan. Penanganannya bisa menggunakan obat-obatan.

Sementara, stunting karena faktor sensitif dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Misalnya, persoalan kekurangan air bersih yang bisa membuat calon ibu menjadi infeksi. Makanya, ada program untuk 1000 hari pertama kehidupan. Program ini mengawal pertumbuhan anak sejak janin hingga berusia dua tahun.

“Jadi kalau melahirkan itu harus di layanan kesehatan. Supaya bisa memastikan anak dan ibu sehat setelah proses persalinan selesai,” tambah Kartini.

Dia juga menyampaikan, penyelesaian masalah ini harus melibatkan banyak kementerian, utamanya Kementerian Sosial dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Alasannya, pendidikan sangat dibutuhkan untuk memberikan pengetahuan kepada anak saat bangku sekolah tentang cara memelihara tubuh dengan baik.

“Bagaimana pola makan yang seimbang itu bisa didapatkan di bangku sekolah. Jadi, semua memiliki tugas penting untuk mengurangi stunting ini,” kata Kartini.

Keyakinan sama juga diutarakan Kemendikbudristek yang masih bersikap menunggu.

“Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi masih menunggu lebih lanjut. Kalau informasi detailnya ada di Kemenkeu,” jelas Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Kemendikbudristek, Hendarman, saat dikonfirmasi Validnews, Jumat (25/6).

Hal senada disampaikan Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, Jumeri. Dia beralasan belum mendapatkan informasi memadai soal rencana penerapan pajak itu. Diyakini, pemerintah takkan sembarang menerapkan kebijakan.

“Kami juga belum mengkaji,” singkatnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar