05 Juli 2025
13:52 WIB
PKB Heran MK Seperti Lembaga Ketiga Perumus UU
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB Muhammad Khozin mengingatkan, Mahkamah Konstitusi mempunyai peran sebagai negative legislator, bukan positive legislator
Penulis: Gisesya Ranggawari
Editor: Nofanolo Zagoto
Mahkamah Konstitusi. AntaraFoto/Hafidz Mubarak A
JAKARTA - Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Muhammad Khozin, menilai Mahkamah Konstitusi (MK) kini justru bertransformasi, dari semula penjaga konstitusi menjadi lembaga ketiga pembentuk undang-undang setelah pemerintah dan DPR.
Hal ini disampaikan Khozin pasca-putusan MK soal penghapusan pemilu serentak yang membuat pemilu nasional dan pemilu daerah dipisah.
"Perlu kita pahami bersama, MK mempunyai peran sebagai negative legislator, bukan positive legislator. Jadi bukan bertransformasi sebagai lembaga ketiga perumus undang-undang," kata Khozin kepada wartawan, Sabtu (5/7) di Jakarta.
Khozin mengingatkan, harus ada penegasan bersama terkait fungsi dan peran MK. Ia khawatir MK nantinya mengeluarkan putusan kontroversial hingga jadi ruang dan celah pihak tertentu menolak setiap produk perundangan.
Pasalnya, menurut dia, pembentukan produk perundangan memakan biaya yang tinggi, waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Maka dari itu, dengan proses pembentukan produk legislasi yang panjang, jangan sampai tidak memiliki kepastian hukum.
"Kalau memang MK bertransformasi menjadi lembaga ketiga perumus UU, ya sudah kita lakukan konstitusional engineering terkait tugas pokok dan fungsi MK," cetus Khozin.
Ia pun menilai putusan MK nomor 135/2025 tentang keserentakan pemilu sebagai langkah paradoks. Putusan tersebut jika disandingkan dengan putusan sebelumnya, yakni nomor 55/2019 cenderung kontradiktif.
"Dalam keputusan 55/2019, MK dengan tegas menolak memberikan putusan mengenai model keserentakan karena menjadi tugas dari pembuat UU, tapi di keputusan 135/2025 malah memerintahkan pemilu nasional dan pemilu lokal," paparnya.
Khozin menyarankan agar pemerintah tidak langsung melaksanakan putusan MK ini. Sebab jika dibiarkan, maka putusan MK dalam menjaga konstitusi justru memicu inkonstitusionalitas.
Terlebih, secara implementasi, putusan ini tidak secara otomatis bisa dilaksanakan oleh pemerintah karena berimplikasi terhadap beberapa norma.
"Terutama Pasal 22E ayat 1 maupun ayat 2 dan Pasal 18 ayat 3. Itu sudah jelas tertulis bahwa pelaksanaan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali," tutur dia.