c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

01 Juli 2025

15:20 WIB

Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah, MK Dinilai Seperti Lembaga Legislatif Kedua

Partai Nasdem khawatir pelaksanaan putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock constitutional 

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah, MK Dinilai Seperti Lembaga Legislatif Kedua</p>
<p>Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah, MK Dinilai Seperti Lembaga Legislatif Kedua</p>

Gedung Mahkamah Konstitusi. ValidNewsID/Darryl Ramadhan


JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan pemilu nasional harus terpisah dari pemilu daerah. Keputusan MK ini berlaku mulai Pemilu 2029. 

Jarak waktu antara pemilu nasional dan daerah juga ditetapkan MK ditetapkan minimal dua tahun, dan maksimal 2,5 tahun setelah pemilu nasional.

Terkait putusan ini, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Muhadam Labolo, menyebut MK telah melampaui batas kewenangannya. 

MK dinilainya seperti lembaga legislatif kedua karena menambah norma yang kemudian menimbulkan implikasi secara teknis ke depan.

“Pengaturan waktu dan tahapan pemilu seharusnya menjadi kewenangan DPR dan pemerintah. Tapi kalau lihat putusan itu, dia membatasi di situ, dia membuat kemudian kita confused,” katanya, dalam diskusi daring Menakar Dampak Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 Terhadap Sistem Ketatanegaraan dan Tata Kelola Pemilu, Selasa (7/1).

Selain itu, menurut Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) ini, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut menciptakan norma baru tanpa alas pijak dalam Konstitusi, khususnya untuk kasus pemilihan DPRD.

Senada dengan Muhadan, dalam pernyataan sikapnya Partai Nasdem menilai MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.

“MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” tulis Nasdem, dikutip Selasa (7/1).

Selain itu, partai yang dipimpin Surya Paloh ini mengatakan, pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock constitutional. Sebab, apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran Konstitusi.

Nasdem menyebut, Pasal 22E UUD 1945 (1) menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Kemudian, dalam ayat (2) disebutkan pemilu diselenggarakan untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dengan demikian, ketika setelah lima tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD, maka terjadi pelanggaran konstitusional.

Selain itu, dikatakan pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam pasal 22E UUD 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022.

Dengan begitu, Nasdem menegaskan, secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda.

“MK dalam kapasitas sebagai guardian of constitution tidak diberikan kewenangan untuk merubah norma dalam UUD, sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan lima tahun adalah inkonstitusional bertentangan dengan pasal 22B UUD NRI 1945,” jelas Nasdem.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar