c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

22 Mei 2024

20:11 WIB

PGI Kritik UKT Mahal: Orientasi Profit Mengental

Perwakilan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengingatkan, perguruan tinggi yang hanya mengedepankan profit rentan menghasilkan produk yang tidak berkualitas

Penulis: Gisesya Ranggawari

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>PGI Kritik UKT Mahal: Orientasi Profit Mengental</p>
<p>PGI Kritik UKT Mahal: Orientasi Profit Mengental</p>

Foto ilustrasi uang kuliah tunggal (UKT). Shutterstock/ITTIGallery

JAKARTA - Perwakilan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Yafet Yosafet Wilben Rissy mengkritik biaya pendidikan tinggi yang mahal. Bahkan, ia menyebut Perguruan Tinggi Negeri (PTN) kini ibarat perusahaan yang hanya memikirkan untung dan rugi.

"Orientasi profit menjadi sangat-sangat kental, apa yang menjadi itu adalah dasar masalah kita hingga saat ini. Akibat lanjutannya, PTN ibarat seperti perusahaan," ujar Yafet dalam rapat bersama Komisi X DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (22/5).

Ia menilai saat perguruan tinggi hanya mengedepankan profit, maka produk yang dihasilkan pun tidak berkualitas. Yafet mengibaratkan sebagai perusahaan yang melakukan produksi massal dan mengabaikan kualitasnya.

Pasalnya, selama ini ada anggapan bahwa perguruan tinggi tidak boleh defisit. Karena hal itu, pihak perguruan tinggi membuka pendaftaran sebanyak-banyaknya untuk mahasiswa baru dan mengesampingkan kualitas.

"Perguruan tinggi negeri berlomba-lomba menerima mahasiswa, bergelombang-bergelombang tanpa batas bahkan sampai bulan September dan Oktober pun masih menerima dengan jalur mandiri," beber Yafet.

Menurut Guru Besar Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) ini merupakan anomali yang tampak sederhana, namun imbasnya luar biasa. Dia meyakini hal ini tidak hanya terjadi pada PTN, tetapi terjadi juga di perguruan tinggi swasta pada umumnya.

Terkait biaya perguruan tinggi, Yafet membandingkan biaya di Australia yang dinilai hanya berbeda tipis dengan besaran pembayaran di Indonesia. Padahal, pendapatan per kapita Australia jauh lebih tinggi dari Indonesia.

"Kita ini jomplang, kita disuruh membayar yang sama ini yang saya katakan neoliberalisasi pendidikan yang sangat masif dan tidak terkontrol oleh pemerintah," tutur dia.

Yafet mengusulkan agar pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek transparan dalam mengelola alokasi anggaran 20% dari APBN untuk sektor pendidikan. Menurutnya, pemerintah juga perlu menggunakan skema pembiayaan pendidikan berbasis kinerja.

Pemerintah juga perlu lebih menunjukkan keberpihakan terhadap lembaga-lembaga pendidikan swasta, terutama terkait dengan pengelolaan lulusan PPG dan Guru Prajabatan.

"Saat ini neoliberalisasi ekonomi dan privatisasi di sektor pendidikan terjadi masif. Maka pengelolaan kebijakan tersebut mesti dievaluasi," tandas Yafet.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar