c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

20 November 2024

11:23 WIB

Perludem Usulkan Skema Pemilu Serentak

Pemilu serentak saat ini dinilai Perludem tak mencapai tujuan terciptanya sisi demokratis.

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Perludem Usulkan Skema Pemilu Serentak</p>
<p>Perludem Usulkan Skema Pemilu Serentak</p>

Ilustrasi warga memasukkan surat suara usai Pilpres 2024-2029 pada 14 Februari 2024. ValidNewsID/Darryl Ramadhan.

JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengusulkan desain keserentakan pemilu di Indonesia dibagi atas dua kategori. Yakni, pemilu nasional dan lokal. 

Usulan ini setelah Perludem mengkaji Pemilu 2019 dan 2024, yang bertujuan agar tercipta pemilu demokratis sebagai akibat penerapan keserentakan pemilu, tidak terpenuhi.

Usulan Perludem dituangkan dalam naskah kebijakan, “Menata Ulang Desain Keserentakan Pemilu Indonesia”.

“Perludem mengusulkan, 2029 ada pemilu serentak nasional dan pemilu lokal yang terbagi dalam dua waktu,” jelas Peneliti Perludem Heroik Pratama di kawasan Menteng, Jakarta, Selasa (19/11).

Pemilu serentak nasional mencakup pemilihan presiden, DPR, dan DPD. Kemudian diberikan jeda waktu untuk pemilu lokal pada waktu terpisah, untuk memilih gubernur, bupati, wali kota, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Heroik menjelaskan usulan tersebut diharapkan untuk perbaikan tata kelola pemilu serentak agar mencapai efisiensi dan efektifitas.

Perludem mengungkapkan, telah mempertimbangkan opsi-opsi desain pemilu serentak lain, namun dinilai kurang tepat. Opsi ini adalah keserentakan pemilu presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota seperti yang sekarang dengan lima kotak surat suara.

Skema ini dinilai Perludem memunculkan kompleksitas tinggi bagi pemilih untuk memberikan suaranya. Begitupun bagi penyelenggara pemilu, sehingga sulit untuk mencapai efisiensi dan efektivitas.

Selanjutnya, dengan desain pemilu presiden, gubernur, bupati/wali kota, DPR, dan DPD. Ini juga masih lima surat suara yang diterima oleh pemilih.

Opsi lainnya adalah pemilu di setiap level, yakni presiden, gubernur, bupati/wali kota, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan bersamaan dalam satu waktu yang bersama.

Opsi tersebut akan membuat pemilih mendapat tujuh surat suara sekaligus. Hal ini akan membuat kompleksitas pemilih lebih tinggi dibanding menerima lima surat suara.

“Ini seperti negara tetangga kita di Filipina. Seluruh pemilu serentaknya dibarengkan dalam satu waktu yang bersama,” katanya.

Selanjutnya, opsi yang terakhir adalah yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu dilakukan tiga kali pemilu. Level nasional, level provinsi, dan level kabupaten/kota dilakukan sendiri-sendiri dengan waktu yang berbeda.

Dengan skema itu, pemilu presiden, DPR, dan DPD dilakukan sendiri dalam satu waktu, kemudian diberikan jeda waktu untuk pemilu pemilu gubernur bersama DPRD provinsi. Setelahnya, pemilu untuk bupati, wali kota, bersama DPRD kabupaten/kota.

Heroik menjelaskan, desain ini memang memang memiliki kompleksitas yang lebih rendah bagi pemilih. Pemilih bisa mengenali pasangan calon dalam surat suara, namun ini dikhawatirkan berdampak terhadap himpitan tahapan penyelenggaraan pemilu,

“Karena akan ada tiga kali pemilu secara terus-menerus sehingga kompleksitas bagi penyelenggaraan pemilu bisa jadi lebih tinggi juga, akan ada tahapan yang berhimpitan satu dengan pemilu satu dengan pemilu lainnya,” katanya.

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya menanggapi, pemerintah akan mengevaluasi pelaksanaan pilkada serentak yang baru pertama kali dilakukan.

Pilkada yang diadakan dalam tahun yang sama dengan pemilu nasional, menurut Bima, memberatkan penyelenggara dan peserta pilkada dari partai politik.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar