13 September 2024
16:17 WIB
Perludem: Pilkada Serentak Harus Bebas Diskriminasi Terhadap Perempuan
Perempuan kerap menjadi sasaran lebih besar dalam praktik jual beli suara. Relasi patriarki juga mengakibatkan ada pemaksaan pilihan kepada perempuan atau anak perempuan
Pemilih perempuan melakukan pencoblosan surat suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) Limus Pratama Regency, Cilu engsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (14/2/2024). ValidNewsID/Darryl Ramadhan.
JAKARTA - Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta seluruh pihak bersinergi dan saling mengingatkan, dalam upaya mendukung penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2024, yang bebas dari diskriminasi bagi perempuan.
"Dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada, prinsip dasar CEDAW harus kembali digaungkan agar dalam prosesnya bebas dari diskriminasi, baik terhadap perempuan sebagai peserta maupun pemilih," kata Titi Anggraini dalam keterangan, di Jakarta, Jumat (13/9).
Untuk diketahui, Pemerintah Indonesia meratifikasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Artinya, CEDAW telah menjadi hukum positif Indonesia.
"Konvensi CEDAW menegaskan diskriminasi terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, perempuan memiliki hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang harus dinikmati oleh perempuan atas dasar persamaan, kesetaraan, dan keadilan, dengan laki-laki. Konvensi juga mewajibkan negara untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi hak asasi perempuan," ujar Titi.
Ia menyebut, perempuan sebagai peserta, maupun perempuan sebagai pemilih, juga dihadapkan pada sejumlah tantangan. Seperti belum banyak narasi terkait kebutuhan atau peran perempuan dalam visi misi dan program Pilkada 2024.
"Beban ganda perempuan yang membuat perempuan bisa semakin tereksklusi ketika informasi dan pendidikan kepemiluan tidak tersampaikan secara aksesibel dan komprehensif," ungkapnya.
Selain itu, kata dia, perempuan adalah pemilih yang loyal. Karena itu perempuan menjadi sasaran lebih besar dalam praktik jual beli suara, serta relasi patriarki mengakibatkan pemaksaan pilihan kepada perempuan atau anak perempuan.
Oleh karena itu, menurut Titi Anggraini, penting untuk mencari tahu dan memahami agar tidak salah pilih dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak, mulai dari visi, misi, dan program para calon kepala daerah.
"Meskipun melihat proporsi keterwakilan perempuan yang masih jauh dari 30% kuota pada Pilkada 2024, setidaknya Pilkada tahun ini dapat menjadi titik balik yang baik dalam kiprah perempuan politik dengan hadirnya tiga perempuan cakada (calon kepala daerah) di Jawa Timur," imbuhnya.
Ia pun berharap, kompetisi antara tiga perempuan calon kepala daerah tersebut dapat menjadi titik balik gerakan mendukung keterwakilan perempuan dalam politik, di mana siapapun pemenangnya merupakan perempuan.
"Sinergitas berbagai pihak, mulai dari pemerintah, partai politik, hingga masyarakat dirasa perlu diperkuat ke depannya agar keterwakilan perempuan sebagai peserta Pemilu/Pilkada dapat mengalami peningkatan," kata Titi Anggraini.
Petugas KPPS menunjukkan surat suara pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden saat perhitun gan surat suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 17, Pulau Kelapa, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta, Rabu (14/2/2024). Antara Foto/Bayu Pratama S
Partisipasi Perempuan
Sebelumnya, Plt Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Titi Eko Rahayu juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 yang bebas dari diskriminasi bagi perempuan penting diimplementasikan.
"Kita harus memastikan, Pilkada Serentak tahun ini bebas dari diskriminasi bagi perempuan, baik peserta maupun pemilih," kata Titi Eko Rahayu, Senin.
Titi Eko Rahayu mengungkapkan masih minim-nya partisipasi politik perempuan untuk maju dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), menjadi keprihatinan yang mendalam. Pasalnya, ia menyebut hak tersebut mengecilkan kekuatan perempuan untuk memajukan bangsa Indonesia, khususnya dalam bidang politik.
"Perempuan yang maju dalam bursa Pilkada, masih banyak yang dipertanyakan kemampuannya. Selain itu, perempuan juga masih saja mendapat stereotip sebagai orang yang tak pantas memimpin," katanya.
Keadaan diperburuk dengan karakteristik sistem politik Indonesia yang didominasi budaya patriarki, yang memandang perempuan sebagai sosok lemah dan tidak bermanfaat.
"Padahal kehadiran perempuan di bidang politik sangat penting untuk pengambilan keputusan dan kebijakan berperspektif gender. Hal-hal inilah yang menyebabkan perempuan menjadi enggan untuk berbicara terbuka, malu, tidak percaya diri, jika berkiprah pada bidang politik," kata Titi Eko Rahayu.
Ia menyampaikan, terdapat berbagai tantangan yang masih harus dihadapi perempuan dalam kontestasi Pilkada. Di antaranya kekerasan perempuan dalam Pemilu, baik kekerasan fisik maupun psikis. Kemudian belum adanya standar atau proses rekrutmen khusus bagi kandidat perempuan, serta belum ada partai yang mengatur program tindakan afirmatif untuk mempromosikan kandidat perempuan.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk para perempuan calon kepala daerah (cakada) memiliki gender awareness dan memerhatikan isu gender dalam kampanye Pilkada, di samping memahami isu aktual daerah dan tugas fungsi cakada.
Isu Perempuan
Sayangnya, Perludem) mencatat, calon kepala daerah (cakada) yang mengangkat isu perempuan dan anak dalam visi misinya, jumlahnya kurang dari 18%
"Narasi perempuan dan anak itu minim sekali. Riset Perludem di Pilkada 2015, 2017, 2018, dan 2020, para calon itu dalam membuat visi, misi, program kurang dari 18% yang mengangkat isu perempuan dan anak," kata Titi Anggraini.
Titi Anggraini menilai, pada penyelenggaraan Pilkada 2024, belum banyak yang mengusung kebutuhan maupun peran perempuan dalam visi, misi, dan program calon kepala daerah, baik cakada laki-laki maupun perempuan. Padahal, tingkat partisipasi pemilih perempuan, baik dalam Pilkada, Pemilihan Presiden (Pilpres), hingga Pemilihan Legislatif (Pileg), jauh lebih tinggi daripada pemilih laki-laki.
"Di Pemilu yang lalu, data KPU -Komisi Pemilihan Umum- itu partisipasi laki-laki 48%-an. Nah, kalau begitu perempuan itu 51%-an. Jadi selisihnya itu hampir empat persen. Jadi lebih tinggi perempuan yang menggunakan hak pilih daripada laki-laki, itu konsisten," kata Titi Anggraini.
Perempuan, lanjutnya, juga cenderung lebih loyal dalam menggunakan hak pilih. "Karena kan perempuan lebih banyak di rumah. Sementara TPS -Tempat Pemungutan Suara- itu kan di dekat rumah. Nah, jadi itu juga yang membuat mereka lebih tertib untuk datang ke TPS," pungkasnya.