JAKARTA - Sejumlah pihak mendorong agar perlindungan pekerja informal masuk dalam Revisi Undang-undang (RUU) Ketenagakerjaan. Menurut Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan (Barenbang) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Anwar Sanusi, prosesnya tidak akan singkat jika disetujui, sebab ini akan berefek pada pengaturan hal-hal lain yang terkait.
“Makanya, ini tantangan bagi kita ketika nanti akan memasukkan sektor informal ke dalam bagian aturan Ketenagakerjaan, tentunya ini juga akan banyak implikasinya, hal-hal apa saja yang harus kita atur,” jelasnya, di Jakarta Pusat, Kamis (6/11).
Anwar menyebutkan, hal yang mesti diatur mulai dari sisi perlindungan sosial hingga pengembangan sumber daya manusia (SDM). Selain itu, perlu juga diatur penyamaan hak yang diterima pekerja informal dengan pekerja formal.
“Misalnya, hak terkait dengan waktu kerja, waktu istirahat, kemudian juga insentif menyangkut tunjangan-tunjangan seperti tunjangan hari raya, kan harus kita atur. Jadi akan sangat panjang itu,” paparnya.
Meski demikian, Anwar memastikan konstribusi pekerja informal tidak kecil terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia. Karena jumlah pekerja informal sekitar 58% dari total pekerja di Indonesia.
Sebelumnya, perlindungan pekerja di sektor gig ekonomi atau pekerja informal paruh waktu berbasis platform digital didorong untuk bisa masuk ke dalam RUU Ketenagakerjaan yang saat ini sedang dibahas di DPR.
Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menegaskan RUU Ketenagakerjaan harus menjadi payung perlindungan bagi para pekerja gig dan pelaku ekonomi digital.
“Perlindungan ini mencakup seluruh lini, termasuk para pekerja gig kita yang berjuang di jalanan seperti pengemudi ojek dan kurir online. Mereka harus terakomodir dalam beleid ini, ” tegas Said Iqbal, beberapa waktu lalu.