c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

30 Desember 2024

20:30 WIB

Perjalanan Panjang Mengikis Stigma Skizofrenia

Penyembuhan individu dengan masalah skizofrenia kerap diadang stigma yang ironisnya muncul dari keluarga penderita.

Penulis: James Fernando

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Perjalanan Panjang Mengikis Stigma Skizofrenia</p>
<p>Perjalanan Panjang Mengikis Stigma Skizofrenia</p>

Ilustrasi Gangguan Mental Skizofrenia. Shutterstock/New Africa.

JAKARTA – Segala persiapan yang sudah dilakukan Bagus Utomo, sontak buyar saat kali pertama dia mendampingi keluarga sederhana di satu tempat di Jakarta. Dia tak bisa mematahkan stigma yang mengurung keluarga itu disebabkan salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia.

Penjelasan Bagus akan kondisi salah satu anggota keluarga itu adalah skizofrenia tak menghapus anggapan mereka sebelumnya. Tak mau mundur, Bagus mencoba mencari solusi. Dia coba meminta pertolongan para ulama setempat agar bisa mematahkan stigma yang sudah melekat di benak keluarga itu.

“Anggapan mereka, kondisi skizofrenia salah satu anggota keluarga merupakan kutukan dari jin. Karena mengamuk di rumah seperti orang kesurupan,” urai Bagus menjawab Validnews, Minggu (29/12).

Penjelasan ulama untuk meluluhkan stigma tersebut tak bisa melunturkan cap itu. Namun, upaya melepaskan stigma itu baru efektif setelah beberapa kali dilakukan. Akhirnya, mereka memahami, tak ada kutukan jin akan kondisi salah satu keluarganya.

Mereka juga menerima saran Bagus, agar ada tindakan medis untuk mengobati penderita skizofrenia. Setelah itu, Bagus lepas komunikasi dengan mereka. Namun, beberapa bulan kemudian, Bagus dihubungi keluarga itu dan mengabarkan, si penderita skizofrenia bisa mengontrol emosinya dan melakukan kegiatan yang produktif.

Kabar ini membuat Bagus makin gencar melakukan pendampingan pada keluarga dengan penderita skizofrenia. Terutama, menghapus stigma keluarga akan sebab skizofrenia dan membalikkan gangguan mental ini bisa disembuhkan.

“Inti memulihkan skizofrenia ini adalah keluarganya bisa menerima pasien dan mau berjuang bersama-sama,” ucap Bagus.

Pengalaman
Apa yang dilakukan Bagus bukan tanpa sebab. Benaknya pernah diikat hal sama, menerapkan stigma negatif terhadap penderita skizofrenia.

Itu terjadi pada 1995. Saat, kakak kandungnya tiba-tiba mengamuk di rumah orang mereka tinggal bersama orang tuanya. Bukan sekali itu saja terjadi. Membuat, penghuni di rumah itu tak nyaman, namun bingung mau berbuat apa. Tak mereka sadari, skizofrenia penyebabnya.

Sampai pada satu waktu, mereka memutuskan agar ada perawatan medis. Keputusan itu lahir setelah beberapa kali pemeriksaan dan dokter menyatakan kakak Bagus mengidap skizofrenia.

Mereka juga sepakat, menitipkan salah satu anggota keluarga ke sebuah panti perawatan medis di Ciganjur, Jakarta Selatan. Tapi, belum ada keyakinan perawatan itu akan menyembuhkan si penderita.

Lambat laun, stigma itu akhirnya luntur. Selama beberapa bulan menjalani perawatan di sana, ada kemajuan pesat. Saat dibawa pulang ke rumah, tak lagi ada perilaku emosi yang merusak. Bahkan, bisa diajak berbincang dan melakukan kegiatan positif.

Stigma yang mengendap dalam benak Bagus, penyakit ini tak bisa disembuhkan menjadi berubah total. Dia yakin, perawatan medis dan mengonsumsi obat-obatan, membuat skizofrenia kakaknya terkendali dan penderita bisa hidup normal kembali.

Terpicu fakta itu, dia mencoba berbagi dengan banyak orang. Tujuannya menebar pemahaman, skizofrenia adalah penyakit dan bisa disembuhkan dengan penanganan medis. Serta, membuat banyak orang sadar, lebih cepat menangani, semakin mudah menangani pasien skizofrenia.

Bagus membagikan kisahnya dengan membuat grup di media sosial, Facebook. Juga membuat grup di Yahoo group agar makin banyak penderita skizofrenia yang tertangani. Juga keluarga cepat sadar untuk segera menyerahkan penderita skizofrenia ke tangan medis ketimbang terjebak dalam stigma negatif. 

Kemudian, lahir Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) pada 2009. Komunitas ini terus mengedukasi masyarakat mengenai kesehatan mental dan memerangi stigmanya. Lalu, dia mendaftarkan komunitasnya secara resmi pada 2015, dengan nama Yayasan Peduli Skizofrenia.

Bagus dan teman-temannya memantapkan keinginannya untuk mendorong para keluarga maupun penderita skizofrenia bahu membahu menangani penyakit ini. Salah satu yang dilakukan Bagus dan anggota komunitas itu mulai melakukan beberapa pendampingan.

Awalnya, dia melakukan pendampingan kepada para keluarga penderita. Alasannya, keluarga para penderita merupakan unsur penting yang bisa menunjang proses pemulihan. Namun, proses ini ternyata tidak gampang.

Tak sampai di situ, setelah mengubah sudut pandang para keluarga pengidap penyakit ini, Bagus dan teman-temannya pun mulai melakukan pendampingan kepada para penderita skizofrenia baik secara langsung maupun tidak.

Untuk membuat proses pendampingan menjadi simpel dan mengasyikan, Bagus dan teman-temannya mengemasnya dengan sebuah kelompok sharing. Para anggota kelompok itu diwajibkan untuk bercerita satu sama lainnya secara terbuka.

Bisanya, salah satu pasien dipilih secara bergantian untuk memimpin kelompok sharing ini. Dia ingin, para pengidap skizofrenia mendapatkan perlakuan sama seperti orang-orang normal pada umumnya.

Melalui cara itu, Bagus juga bisa menilai bagaimana proses pemulihan mereka. Biasanya, penderita yang berangsur pulih bisa membawa suasana kelompok menjadi cair. Alur cerita tentang kisah kehidupan mereka pun bisa mengalir dengan baik.

Setidaknya, dalam kelompok itu, mereka bisa menumbuhkan rasa kekeluargaan. Para penderita tidak pernah menganggap diri mereka sendiri. Masih ada orang-orang yang mengalami nasib sama dan saling memberikan perhatian satu sama lainnya.

Bagus bercerita, pernah ada anggota kelompok diskusi yang berteriak dan mengamuk. Pasien itu mengatakan ada seseorang yang berbisik kepadanya. Karena itu, dia harus melepaskan amarahnya kepada semua orang termasuk diri sendiri.

Melihat insiden itu, para pasien yang bisa mengontrol emosinya justru membantu untuk memulihkan temannya. Mereka sama-sama menyatakan bisikan itu hanyalah halusinasi yang bisa merusak diri sendiri. Mereka juga memberikan obat. Kemudian, emosi si penderita menurun dan kegiatan mereka kembali normal.

Selain itu, Bagus dan teman-temannya pun membuat sejumlah pelatihan untuk meningkatkan kemampuan para penderita. Misalnya, menjahit, membuat kerajinan tangan dan lain-lain. Tujuan Bagus yakni ketika mereka sudah pulih 90%, para pasien siap terjun ke kehidupan normal dan bekerja seperti orang biasanya.

“Kami sampai sekarang masih berupaya untuk menyebarkan bahwa skizofrenia itu adalah penyakit yang bisa dipulihkan. Biaya pengobatannya juga sudah ditanggung BPJS. Jadi tidak perlu khawatir lagi,” tutur Bagus.        

Kisah Penderita
Seperti Bagus, Angga Wijaya juga melakukan kegiatan yang sama di wilayah Bali. Bedanya, Angga adalah salah satu pengidap skizofrenia. Dia sudah beberapa tahun belakangan berhasil memulihkan dirinya. Dia sudah bisa menjalani kegiatan seperti masyarakat normal pada umumnya. Saat ini pun Angga menjadi penulis yang berdomisili di Bali.

Pada 2009 saat merantau, Angga divonis mengidap penyakit skizofrenia paranoid. Dia pun memilih untuk pulang ke kampung halamannya di Bali. Di sana dia menjalani pengobatan medis selama lima tahun. Hasilnya, dia pun sudah pulih lebih dari 90%.

Karena sudah pulih, Angga pun berkeinginan untuk membantu sesama penderita agar bisa lepas dari penyakit yang sama. Apalagi, berdasarkan informasi yang diperolehnya, pengidap skizofrenia di wilayah Bali merupakan tertinggi dibandingkan daerah lainnya.

Awalnya, Angga mengikuti pertemuan kegiatan para pegiat kesehatan mental di Bali yang difasilitasi oleh komunitas dan Dinas Kesehatan setempat. Di situ mereka sama-sama sepakat untuk mengedukasi masyarakat soal penyakit skizofrenia ini.

Mereka sepakat untuk berupaya agar para pengidap skizofrenia tidak lagi ditangani dengan cara-cara primitif seperti dipasung maupun dikerangkeng.   Walaupun menurut Angga cara penanganan itu wajar saja karena ketidaktahuan masyarakat soal penyakit ini.

Angga dan teman-temannya memulai melakukan edukasi kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan. Mulai dari melakukan pertemuan secara langsung, seminar hingga menyebarkan informasi melalui media sosial maupun artikel berita.

Dalam tiap pertemuan, Angga terus menegaskan skizofrenia bisa disembuhkan. Dia pun dia menyatakan, dirinya merupakan contoh nyata pengidap yang bisa pulih dan bisa bekerja layaknya orang normal pada umumnya.

"Saya selalu menyatakan dipasung itu bukan jalan keluar. Berobat adalah penanganan yang baik," tutur Angga, saat berbincang dengan Validnews, Minggu (29/12).

Angga pun kerap mendata orang-orang yang mengidap penyakit ini di wilayah Bali. Kemudian, mengumpulkan mereka minimal satu minggu sekali.

Di kelompok itu, Angga juga menggunakan metode kelompok sharing antar sesama penderita. Dirinya sebagai pemimpin kelompok diskusi itu.

Dia selalu menceritakan, dirinya dulu sering mendengar bisikan-bisikan hingga sempat mengamuk. Perlu diingat, skizofrenia sendiri merupakan gangguan mental yang mengakibatkan seseorang punya halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir, dan perubahan sikap.

Akan tetapi, Angga mencoba menekan gangguan mental itu dengan mengonsumsi obat dari dokter secara rutin. Alhasil, dirinya bisa terlepas dari efek skizofrenia. Anggota kelompok diskusi itu pun ada yang menceritakan kisah serupa dengan Angga. Bedanya, anggota kelompok itu belum menjalankan pengobatan secara rutin. Akibatnya, dirinya masih sering mengikuti emosinya yang membuncah.

Diskusi dalam kelompok itu pun berjalan dengan baik. Para pengidap yang mengikuti kegiatan itu kebanyakan sepakat untuk mengikuti saran Angga untuk meminum obat secara rutin.

Kebetulan saat melakukan kegiatan ini, Angga dan teman-temanya didampingi oleh psikiater maupun tenaga medis lainnya. Dengan begitu, mereka pun bisa berkonsultasi secara langsung dan mendapatkan pengobatan.

Bagi yang dianggap harus dirawat inap akan dibawa dan diberikan penanganan medis. Sementara, untuk yang bisa dirawat jalan akan diberikan obat dan mendapatkan pendampingan dari Angga dan teman-temannya agar bisa meminum obat tepat waktu.

"Kami juga merangkul perangkat desa dan pemerintah menjalankan kegiatan ini supaya para pengidap tidak merasa sendiri, ada orang-orang yang berjuang bersama untuk kesembuhan mereka," tambah Angga.   

Kemudian, Angga menyatakan, dirinya dan teman-temannya bersama para pegiat kesehatan mental hingga pemerintah pun memberikan beberapa pelatihan bagi para pengidap skizofrenia. Mulai dari pelatihan kreativitas, seni, hingga ke arah wirausaha.

Kegiatan pelatihan ini, para pengidap skizofrenia pun dapat mengontrol emosi yang dimilikinya, sehingga tingkat kecemasan maupun halusinasinya turun berkurang. Apalagi para anggota ini juga mendapat teman-teman baru yang dapat saling mendukung untuk dapat sembuh.

Cara ini juga setidaknya bisa membuka peluang para pengidap untuk dapat kembali pulih. Angga pun melihat, kini keterbukaan dan penerimaan terhadap skizofrenia di wilayah Bali mulai terbuka. Bahkan, penyakit ini mulai populer dibicarakan oleh masyarakat.

Psikiater dan Pegiat Kesehatan Mental, I Gusti Rai Putra Wiguna mengatakan, apa yang lakukan baik oleh Bagus maupun Angga itu sangat baik. Sebab, stigma sangat besar kepada gangguan mental skizofrenia ini masih negatif. Sedangkan, edukasi yang dilakukan oleh oleh pengidapnya maupun kelompok masyarakat masih sangat sulit.

Karena itu, menurutnya, semakin banyak masyarakat yang membantu maka advokasinya bisa dilakukan secara masif. Dengan begitu, sudut pandang masyarakat tentang skizofrenia ini bisa berubah. Masyarakat pun tidak mengasingkan mereka melainkan merangkul.

“Perlu juga bantuan dari profesional kesehatan mental dan asosiasi-asosiasi, psikiater, psikolog klinis dan lainnya untuk membantu mengedukasi dan mengurangi stigma kepada skizofrenia,” kata Putra, kepada Validnews, Minggu (29/12).

Dia meminta, pemerintah untuk berpartisipasi dalam mengedukasi ini. Akan tetapi, perhatian pemerintah membantu para pengidap skizofrenia belum maksimal. “Saya berharap pemerintah lebih peduli lagi kepada skizofrenia ini dan bisa menjamin pengobatan mereka,” jelas Putra.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar