30 Januari 2024
18:28 WIB
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Anggota Komisi Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat mengatakan, perempuan penyandang dan penyintas kusta memiliki kerentanan berlapis dari berbagai bentuk kekerasan. Hal ini karena gender dan juga karena penyakit yang dialaminya.
“Komnas Perempuan mencatat, selain diskriminasi, mereka juga rentan terhadap pelecehan seksual, penelantaran, penindasan berlapis, dan hambatan dalam mendapat pasangan hidup dibandingkan laki-laki penyintas kusta,” kata Rainy kepada Validnews, Selasa (30/1).
Rainy mengatakan, berdasarkan data yang dimiliki oleh Komnas perempuan, kekerasan berbasis gender dan kusta, memang sangat jarang dilaporkan ke pengada layanan dan Komnas Perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan penyandang kusta yang mengalami kekerasan berbasis gender tidak dipandang setara di hadapan hukum akibat stigma yang dilekatkan kepada mereka.
Pihaknya juga melihat, dalam kehidupan sehari-hari, para perempuan penderita kusta tidak bisa mendapatkan hak-haknya sebagai masyarakat. Hal ini terjadi karena ada diskriminasi dan stigma negatif dari orang-orang terhadap penyandang penyakit kusta.
“Pembangunan berkelanjutan tak dapat dicapai tanpa pemenuhan hak-hak penyandang kusta sebagai kelompok rentan, karena mereka juga merupakan bagian dari masyarakat,” kata Rainy.
Sebagai informasi, Indonesia merupakan negara dengan kasus kusta tertinggi ketiga di dunia. Menurut data tahun 2022, jumlah kasus kusta di Indonesia mencapai 13.487 kasus. Angka ini masih dapat meningkat seiring dengan kemungkinan adanya kasus yang tidak dilaporkan.
Kusta merupakan salah satu penyakit endemik yang merusak jaringan kulit, saraf tepi dan saluran pernapasan, disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Masa inkubasinya bisa lebih dari lima tahun, bahkan sering disebut penyakit infeksi yang gejala tidak akut.
Untuk itu, Rainy mendorong pemerintah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait penyakit kusta. Jadi, penyakit ini bisa diagnosa sedini mungkin dan dapat ditangani secara cepat.
Pemerintah juga diharapkan meningkatkan program pemberdayaan dan menggencarkan pendidikan publik untuk menghapus stigma serta diskriminasi terhadap penyandang dan penyintas kusta di Indonesia. Dengan demikian, mereka tetap bisa bekerja dan memenuhi kebutuhannya tanpa merasa takut didiskriminasi.
“Percepatan penanganan penyakit kusta ini membutuhkan pencegahan berkelanjutan dan diagnosa sedini mungkin, sehingga penyandang kusta bisa sembuh tanpa mengalami disabilitas fisik maupun psikis,” kata Rainy.