22 November 2023
17:21 WIB
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mendesak agar upaya pengendalian produk tembakau perlu terus diperkuat.
Saat ini, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang merupakan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan diamatinya justru mendapat upaya pelemahan.
Contohnya, penolakan dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terhadap larangan pemajangan rokok, larangan penjualan di internet, dan pembesaran gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok. Hal ini disebutnya mencerminkan suara industri.
"Kalau pengendalian tembakau di PP ini tidak dikendalikan dengan kuat, maka ini merupakan genosida terselubung terhadap generasi muda kita," ujar Tulus dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta Selatan, Rabu (22/11).
Ia melanjutkan, pengendalian tembakau yang lemah akan meningkatkan prevalensi perokok. Berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2022, prevalensi perokok di Indonesia meningkat dari 60,3 juta orang pada 2011 menjadi 69,1 juta orang pada 2021.
Sementara menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun mencapai 9,1% atau 3,2 juta anak.
Meningkatnya prevalensi perokok pun akan berdampak pada generasi muda yang menderita penyakit tidak menular (PTM). Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi PTM mengalami peningkatan.
Misalnya, prevalensi kanker meningkat dari 1,4% pada 2013 menjadi 1,8% pada 2018, stroke dari 7% menjadi 10,9%, dan hipertensi dari 25,8% menjadi 34,1%.
"Kita minta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar tidak ciut nyali dalam menghadapi berbagai tekanan dari kementerian lain. Kemenkes harus jadi garda depan dalam kesehatan," tegasnya.
Tak hanya YLKI, penguatan pengendalian tembakau juga disuarakan oleh Jaringan Pengendalian Produk Tembakau Indonesia yang terdiri dari belasan organisasi. Jaringan ini terdiri dari YLKI, Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI), Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Komnas Pengendalian Tembakau, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), hingga Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI).
Pada kesempatan yang sama, mereka menyampaikan beberapa poin krusial yang harus diimplementasikan dalam RPP Kesehatan. Hal ini untuk memastikan keberhasilan pengamanan zat adiktif.
Beberapa poin itu di antaranya, perluasan peringatan kesehatan bergambar, pembatasan akses produk tembakau dan rokok elektronik, hingga permintaan untuk mempertahankan pengamanan zat adiktif dalam RPP Kesehatan. Mereka juga meminta pemerintah tidak terpengaruh oleh industri.