18 Juni 2024
21:00 WIB
Pengawasan Orang Asing Belum Bertaji
Pengawasan orang asing selayaknya dilakukan sebelum mereka sampai di Tanah Air sebagai mitigasi. Penindakan berefek jera, amat diperlukan.
Penulis: James Fernando, Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi wisatawan asing di bandara. Antara Foto/Fikri Yusuf
JAKARTA – Panik. Begitu alasan Damon Anthony Alexander Hills, turis asal asal Inggris usai melakukan pengrusakan yang di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali pada Juni 2024.
Dia menabrakkan truk yang dicurinya dari warga setempat ke salah satu bagian dari bandara itu. Akibatnya fatal. Kerusakan yang dia buat mencapai ratusan juta rupiah.
Sebelumnya, pada 11 Maret 2024, saat umat Hindu di Bali merayakan Hari Raya Nyepi, empat turis mancanegara malah berbuat onar. Selain berbuat onar pada hari raya keagamaan, beberapa dari mereka sudah melewati batas izin tinggal berada di Indonesia alias overstay.
Belakangan, kabar-kabar miris kelakuan WNA di Negeri Dewata memang membuat kita mengelus dada. Berdasarkan catatan Ditjen Imigrasi, penegakkan hukum keimigrasian pada 2024 memang mengalami kenaikan.
Yakni, kurun waktu Januari-Mei 2024, ada tindakan administratif keimigrasian (TAK) pada 1.761 WNA. Atau, rata-rata sebanyak 352 orang asing dikenakan TAK setiap bulannya.
Jumlah ini meningkat 94,4% dibandingkan rata-rata jumlah TAK tahun sebelumnya. Yakni, sekitar 181 TAK per bulan atau sebanyak 2.174 deportasi sepanjang tahun 2023. Hingga Mei 2024, ada 52 penyidikan keimigrasian oleh PPNS Ditjen Keimigrasian. Melarang masuk 3.626 orang asing ke Indonesia.
Padahal, pemerintah berupaya untuk banyak mendatangkan orang asing. Hal ini agar mereka mau datang untuk sekadar kunjungan wisata hingga melakukan manfaat ekonomi lain.
Ada beragam kebijakan sebagai sweetener alias pemanis agar turis mau datang. Seperti, kebijakan elektronik Visa on Arrival (e-VOA) atau dokumen izin masuk yang diberikan pemerintah kepada WNA. Ada juga kebijakan Turis Asing Berkualitas (TAB) pada 2023.
Kebijakan ini untuk meningkatkan jumlah wisatawan datang ke Indonesia. Lalu, Visa Jangka Panjang (Golden Visa) untuk menarik orang asing berduit masuk Indonesia.
Pengawasan
Meski membuka pintu kepada WNA, Dirjen Imigrasi, Silmy Karim dalam satu kesempatan menjanjikan, kemudahan bagi orang asing masuk ke Indonesia dibarengi dengan pengawasan yang ketat.
“Kami harus sigap dan waspada. Jangan sampai kebijakan yang seharusnya mendatangkan manfaat untuk Indonesia malah kontraproduktif bagi negara,” kata Silmy.
Kepala Kantor Wilayah Imigrasi Bali, Pramella Yunidar Pasaribu pun menyatakan hal yang sama. Sejak lama, telah memperketat pengawasan orang asing di Indonesia ini sejak tiba di bandara internasional.
Di tempat itu, kelengkapan dokumen diteliti benar. Mencocokkan dokumen mulai dari paspor, visa hingga tiket kepulangan ke negara asal. Data mereka akan disesuaikan apakah masuk dalam daftar cekal negara asalnya atau tidak.
Bila memang tidak bermasalah akan diperkenankan berkunjung ke Indonesia. Sementara bila WNA tersebut bermasalah, pihak Imigrasi akan berkoordinasi dengan pihak kedutaan besar negara bersangkutan agar ditindak berdasarkan ketentuan.
“Kalau ada yang baru sampai juga dalam kondisi mabuk maka akan kami deportasi dan kembalikan menggunakan maskapai yang sama ketika dia datang,” kata Pramella, kepada Validnews, Senin (17/6).
Dari pemeriksaan itu, Imigrasi memastikan orang asing yang datang ke Indonesia itu berkualitas atau tidak. Direktorat dibawah Kementerian Hukum dan HAM ini pun bersama instansi lainnya telah membentuk Tim Pengawasan Orang Asing (Tim Pora), terutama tenaga kerja asing.
Pengawasan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Pemerintah harus memastikan penggunaan TKA dilakukan sesuai dengan ketentuan.
Untuk memperketat pengawasan, Kementerian Tenaga Kerja memerintahkan Dinas Ketenagakerjaan tingkat provinsi turut serta. Pengawasan TKA ini berfokus pada pemenuhan persyaratan mempekerjakan TKA oleh pemberi kerja.
Apabila ditemukan ketidakpatuhan maka pengawas ketenagakerjaan mengeluarkan nota pemeriksaan yang berisi soal perintah memperbaiki ketidakpatuhan sampai penindakan dan pengenaan sanksi administratif maupun pidana.
Pemberian sanksi ini mengacu pada PP 34 Tahun 2021, yakni sanksi administrasi berupa penghentian sementara pengerasan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) hingga pencabutan pengesahan RPTKA.
Dalam aturan itu juga, pemerintah juga memberikan sanksi berupa denda kepada TKA. Nilainya, minimal Rp6 juta hingga Rp36 juta pada pemberi kerja TKA sejak TKA memasuki wilayah Indonesia hingga enam bulan.
Yuli menambahkan bahwa pengawasan yang dilakukan berfokus pada pemenuhan syarat terhadap TKA saja. Bila para TKA melakukan tindak pidana, Kemenanker akan berkoordinasi dengan Kepolisian hingga Ditjen Imigrasi.
“Jadi, kami selalu berkoordinasi dengan instansi lain. Untuk melakukan penindakan dan pengawasan secara simultan,” kata Yuli kepada Validnews, Senin (17/6).
Soal pelanggaran ketenagakerjaan oleh warga asing ini, juga mengemuka di Kalimantan. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan Barat Muhammad Tito Andrianto pekan lalu menginstruksikan kepada jajarannya untuk meningkatkan pengawasan terhadap WNA. Di sana, pihaknya baru saja berhasil menangkap WNA asal Tiongkok berinisial YH. Yang bersangkutan malah melakukan aktivitas ilegal penambangan emas di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Di Ibu Kota, pelanggaran keimigrasian juga mengemuka pekan lalu. Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta meringkus lima warga negara asing (WNA) di Apartemen Cengkareng, Jakarta Barat. Kelima WNA tersebut ditangkap lantaran menggunakan paspor palsu.
"Kelimanya tertangkap dalam operasi Jagratara. Lima WNA itu dari Malaysia, Tiongkok, Rusia, dan Lebanon. Dua di antaranya pekerja dan tiga lainnya diduga sebagai penjamin fiktif," kata Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Soekarno Hatta, Subki Miuldi, Selasa (7/6).

Beragam penindakan itu memang menunjukkan ada upata nyata. Namun, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih menganggap penanganan orang asing oleh jajaran berwenang, belum maksimal. Pemerintah dinilai lamban saat dalam mengawasi aktivitas WNA di Indonesia.
Hal ini dikatakan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Wihadi Wiyanto kepada Validnews, Senin (17/6). Wihadi menyatakan bahwa pemerintah belum memiliki sistem pengawasan yang baik. Mulai dari kedatangan orang asing ke Indonesia.
Fakta yang menunjukkan bahwa banyak orang asing yang ditindak menandakan adanya kebobolan sistem pengawasan di Ditjen Imigrasi. Seharusnya bila sistem pengawasan ini berjalan dengan baik, seluruh WNA yang ada di Indonesia memiliki kualitas yang baik.
Setahu Wihadi, prosedur pengawasan orang asing masuk ke Indonesia hanya dengan men-scan paspor mereka saja. Tidak ada proses lanjutan setelah itu.
“Tidak ada yang ditindak. Kalau ada pun paling cuma sedikit,” tukas Wihadi.
Karena itu, politisi Gerindra ini menyatakan pemerintah perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh soal pengawasan orang asing ini. Tidak hanya itu saja, pemerintah juga mengkaji ulang sejumlah kebijakan yang memberikan kemudahan WNA datang ke Indonesia baik untuk berwisata maupun untuk bekerja.
“Soal ini pemerintah belum menunjukkan prestasi yang baik karena masih didapati WNA bermasalah di Indonesia,” tandas Wihadi.
Sementara itu, Jongki Adiyasa selaku praktisi pariwisata menilai, soal mengawasi WNA di Indonesia ini bukan hal yang mudah. Perlu ada koordinasi antar instansi dan keikutsertaan masyarakat untuk melakukan pengawasan secara bersama-sama.
Apalagi, banyak wisatawan yang datang ke Indonesia ini bersama penyelenggara perjalanan wisata. Nah, karena para wisatawan asing datang bersama operator tur, para petugas tidak memperhatikan apakah yang bersangkutan layak atau tidak datang ke Indonesia.
Belum lagi, ada wisatawan asing datang seorang diri dengan istilah backpacker. Para petugas pun sama saja tidak melakukan pemeriksaan secara mendalam
Memang, keterbukaan Indonesia terhadap kunjungan orang asing merupakan salah satu cara untuk mencari para turis atau wisatawan berkualitas. Faktanya, wilayah Bali malah overtourism. Hal ini tidak memberikan dampak positif pada pendapatan devisa negara. Malahan, mereka berpotensi untuk melanggar hukum. Misalnya, melakukan tindak kriminal.
Menurut Jongki, penanganan tindakan kriminal orang asing ini tak hanya melihat alasan mereka melakukannya. Namun, aparat penegak hukum perlu mendalami mereka yang penyebab mereka melakukan tindak pidana. Apakah overstay atau lainnya atau malah masuk dalam daftar cekal.
Kemudian, menelusuri hal apa saja di lapangan yang menyebabkan mereka bisa overstay dan lainnya.
Dia terang mengungkap kekhawatiran, bisa saja ada oknum pemerintah yang bermain dan melindungi orang-orang yang terlibat overstay di Indonesia. Pembuatan paspor palsu juga mengindikasikan ada jaringan tertentu yang memanfaatkan celah dan kesempatan.
Begitu halnya dengan pemberian pekerjaan bagi WNA, seperti di Bali, ada yang menjadi pelatih renang, bahkan diduga menjadi sopir ojol, jelas membutuhkan campur tangan orang Indonesia.
“Ini perlu diperhatikan. Jadi artinya kalau memang semua mengerti sapta pesona dengan aturan-aturannya lakukan itu. Sekarang kan banyak orang berpikir yang penting masuk uang saja tidak melihat dampak,” kata Jongki, kepada Validnews, Senin (17/6).