11 September 2024
20:10 WIB
Pengamat: Kasus Sukena Di Bali, Bukti Timpangnya Penegakan Hukum Lingkungan
Kasus Sukena, mencerminkan masalah yang lebih luas dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Pasalnya, kasus-kasus besar soal lingkungan, sering kali tidak diproses dengan cepat dan tegas
Pengamat Hukum Hardjuno Wiwoho. dok HMS Center
JAKARTA – Pengamat Hukum Hardjuno Wiwoho menyebutkan, keadilan memang benar-benar belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil. Setidaknya, kata Hardjuno, hal tersebut terlihat dari kasus yang menimpa warga Bali I Nyoman Sukena.
Karena itu, perlu upaya semua pihak untuk mendorong bangsa Indonesia dapat menjalankan penegakan hukum secara utuh, dalam mewujudkan keadilan bagi semua tanpa perkecualian. “Penegakan hukum seringkali timpang bagi rakyat kecil dan lebih kuat berpihak kepada mereka yang dekat dengan kekuasaan dan uang,” ujar kandidat doktor di bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (11/9).
Seperti diketahui, I Nyoman Sukena, seorang warga Bali yang terancam lima tahun penjara karena ketidaktahuannya memelihara landak Jawa, satwa yang statusnya dilindungi. Warga dari Desa Bongkasa Pertiwi, Kabupaten Badung, Bali, tersebut, ditangkap Polda Bali pada 4 Maret 2024 atas laporan masyarakat soal tindakannya memelihara landak Jawa,
Sukena yang bekerja sebagai peternak ayam itu didakwa melanggar Pasal 21 ayat 2 a juncto Pasal 40 ayat 2 UU RI Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDA-HE) dan terancam hukuman lima tahun penjara.
Dari fakta persidangan, pada agenda pemeriksaan saksi pada Kamis (5/9) diketahui, landak tersebut merupakan milik mertua Sukena. Landak itu diamankan keluarganya karena merusak tanaman. Ayah dua anak itu mengaku tidak mengetahui jika landak yang dipelihara dan dirawat selama hampir lima tahun itu, merupakan satwa yang dilindungi.
Menurut Hardjuno, apa yang terjadi pada Sukena, menunjukkan timpangnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Hal ini sekaligus mengkonfirmasikan kurangnya proporsionalitas dalam penerapan hukum.
“Seharusnya yang ditekankan adalah prinsip keadilan, bukan hanya hitam putih aturan yang tertulis dalam undang-undang," terangnya.
Hardjuno mengatakan, kasus Sukena ini juga menjadi catatan penting bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta pihak konservasi terkait sosialisasi aturan tentang satwa yang dilindungi.
"Seharusnya sosialisasi kepada masyarakat diperkuat, agar masyarakat tahu, ada peraturan tentang memelihara satwa yang dikategorikan langka. Tanpa sosialisasi yang memadai, wajar jika masyarakat awam tidak mengetahui aturan ini," tuturnya.
Sanksi Administratif
Untuk dietahui, setelah video Sukena yang menangis histeris di pengadilan viral di media sosial, netizen ramai-ramai menunjukkan dukungan untuknya. Mereka mengunggah tagar #KamiBersamaSukena dan menyatakan, hukuman yang dihadapi Sukena tidak sebanding dengan tindakannya, mengingat ia tidak memiliki niat jahat.
Banyak netizen membandingkan kasus ini dengan pelanggaran serupa oleh pejabat yang tidak mendapatkan hukuman setimpal, sehingga semakin memicu simpati publik terhadap Sukena.
Hardjuno pun menekankan, asas ultimum remedium, di mana hukuman pidana adalah upaya terakhir, seharusnya diterapkan dalam kasus ini.
"Pidana jangan menjadi jalan pertama dalam setiap kasus. Penjara kita akan penuh jika setiap pelanggaran kecil langsung dihukum pidana. Pidana seharusnya menjadi opsi terakhir," tegas Hardjuno.
Ia juga menambahkan, dalam banyak kasus pidana lingkungan, pendekatan sanksi administratif lebih ditekankan, untuk pencegahan dan pemulihan. "Pidana tidak memperbaiki lingkungan, tetapi berfungsi untuk memberikan efek jera. Yang lebih penting adalah pemulihan dan pencegahan kerusakan," tambahnya.
Kasus Sukena juga kata Hardjuno mencerminkan masalah yang lebih luas dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Ia menyebut, kasus-kasus besar yang melibatkan kerusakan lingkungan akibat tambang sering kali tidak diproses dengan cepat dan tegas.
Misalnya, banyak kasus kerusakan alam akibat tambang batu bara di Kalimantan Timur yang merusak ekosistem, mencemari sumber air, dan menimbulkan bencana lingkungan. Hingga kini, lanjutnya, masih banyak kasus serupa yang belum diproses secara hukum, meskipun dampak kerusakannya sudah sangat jelas.
Hardjuno mengingatkan, hukum harus digunakan dengan bijak dan adil, serta mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan hukum terhadap masyarakat dan lingkungan. "Penegakan hukum tidak boleh hanya tegas terhadap kasus kecil dan lemah terhadap kasus besar. Keadilan harus ditegakkan di semua lini, baik itu pada kasus satwa langka maupun kerusakan lingkungan besar yang masih belum terselesaikan," pungkas Hardjuno.
Pada tahap awal kasus ini mulai disidik, penasehat hukum Sukena sejatinya sudah berharap ada kebijakan dari kepolisian maupun BKSDA untuk membebaskan Sukena. Tetapi, upaya restoratif justice ternyata tidak direstui.
Belum Putusan
Sementara itu, Humas Pengadilan Negeri Denpasar Gde Putra Astawa di Denpasar, Selasa, menegaskan, Pengadilan Negeri Denpasar memberikan putusan atau vonis dalam kasus tersebut. "Persidangan perkara Landak Jawa tersebut saat ini masih berlangsung, dimana sidang selanjutnya adalah pada Kamis 12 September 2024 dengan agenda sidang pemeriksaan saksi yang meringankan (ade charge) dan pemeriksaan terdakwa," kata Astawa.
I amenyebut, terdakwa I Nyoman Sukena diajukan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal Pasal 21 ayat (2) huruf a Jo pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDA-HE, yang ancaman pidananya paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.
"Ancaman pidana dalam pasal dakwaan adalah bukan vonis atau putusan dari hakim, hal itu merupakan rumusan undang-undang yang menjadi batasan atau acuan dalam menjatuhkan putusan, mulai dari 1 hari sampai dengan paling lama 5 tahun," kata Astawa.
Astawa menjelaskan dalam perkara ini terdakwa Nyoman Sukena dilakukan penahanan oleh Penuntut Umum, sampai dengan dilimpahkan ke persidangan. Majelis Hakim sendiri, lanjutnya, hanya melanjutkan proses penahanan tersebut untuk kepentingan persidangan, sesuai ketentuan Pasal 20 KUHAP.
Tim Penasihat Hukum terdakwa dalam persidangan Kamis, 5 September 2024 telah mengajukan permohonan penangguhan/pengalihan tahanan.
Dalam persidangan, Majelis Hakim akan memberikan jawaban pada persidangan hari Kamis, 12 September 2024, menyikapi permohonan dari penasehat hukumnya. Pada prinsipnya, kata Astawa, permohonan pengalihan tahanan adalah hak dari terdakwa, yang diajukan melalui Penasihat Hukum terdakwa, selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah mengabulkan permohonan tersebut atau tidak.
Berdasarkan perkembangan yang terjadi di masyarakat, kata Astawa, PN Denpasar mengharapkan masyarakat Bali pada umumnya bersikap tenang dan mempercayakan proses persidangan ini kepada Majelis Hakim.
"Majelis Hakim akan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, termasuk perkembangan di masyarakat dalam mengambil Keputusan bagi penyelesaian perkara I Nyoman Sukena ini," tandasnya.