c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

10 September 2024

18:42 WIB

Pengamat: Kasus Marimutu Sinivasan Butuh Pendekatan Hukum Yang Lebih Progresif

Apresiasi layak diberikan kepada di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Kalimantan Barat. Tapi, butuh penerapan hukum progresif yang lebih tegas untuk kasus BLBI seperti kasus Marimutu Sinivasan

<p>Pengamat: Kasus Marimutu Sinivasan Butuh Pendekatan Hukum Yang Lebih Progresif</p>
<p>Pengamat: Kasus Marimutu Sinivasan Butuh Pendekatan Hukum Yang Lebih Progresif</p>

Petugas Imigrasi mencegah keberangkatan obligator Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Marimutu Sinivasan (dua kanan) di Pos Lintas Batas Negara Entikong, Kalimantan Barat, Minggu (8/9/2024). dok.Ditjen Imigrasi Kemenkumham

JAKARTA - Pengamat hukum Hardjuno Wiwoho memberikan apresiasi tinggi kepada petugas perbatasan di PLBN Entikong yang berhasil menggagalkan upaya Marimutu Sinivasan untuk meninggalkan wilayah Indonesia menuju Malaysia. Namun, dia mendorong perlunya penerapan hukum progresif yang lebih tegas dari kasus ini.

Seperti diketahui, keinginan melarikan diri bos Texmaco Grup ini dilakukan di tengah pencegahan yang diberlakukan atas obligor BLBI yang memiliki utang besar kepada negara tersebut.  

"Kinerja petugas perbatasan patut diapresiasi, negara harus memberi penghargaan besar,” ujar Hardjuno dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (10/9).

Menurut Hardjuno, para petugas perbatasan tersebut, telah menjalankan tugas dengan baik dalam mencegah Marimutu Sinivasan, seorang obligor BLBI, melanggar pencegahan yang diterapkan oleh Satgas BLBI. 

“Ini adalah bentuk upaya nyata dalam menjaga kedaulatan hukum dan memastikan pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab besar terhadap negara, tetap berada dalam pengawasan," ucapnya.

Terlepas dari apresiasi tersebut, dia tetap mengkritik pendekatan hukum yang diterapkan dalam kasus ini. Pasalnya, Marimutu Sinivasan dan kasus-kasus besar lainnya yang terkait dengan BLBI hanya dimintai pertanggungjawaban secara perdata dan bukan pidana. Padahal nilai kerugian negara yang ditanggungnya mencapai Rp29 triliun.

"Kasus ini cermin adanya ketimpangan dalam penerapan hukum di Indonesia. Kita melihat, obligor dengan kewajiban sebesar Rp29 triliun hanya dihadapkan pada kasus perdata, sementara pelaku pencurian kecil atau kesalahan perpajakan yang nilainya jauh lebih kecil, bisa langsung dijatuhi hukuman pidana,” tuturnya.

Hardjuno yang juga Mantan Staf Ahli Pansus BLBI DPD RI menilai, perlakuan ini tidak seimbang jika dibandingkan dengan kasus-kasus pidana yang melibatkan kerugian negara jauh lebih kecil. “Ada ketidakadilan dalam perlakuan hukum yang harus segera kita tangani," tambahnya.

Kandidat doktor bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini pun mengatakan, secara 'text book', mungkin ada justifikasi hukum untuk memperlakukan kasus ini sebagai perdata, terutama terkait dengan status utang yang dimiliki oleh Grup Texmaco yang dipimpin Marimutu.   

Namun, melihat besarnya dampak kerugian negara, ia menegaskan perlunya penerapan hukum progresif yang lebih tegas.

"Benar bahwa secara doktrin hukum, utang seperti yang dialami Marimutu dapat dianggap sebagai persoalan perdata. Namun, kita harus ingat, BLBI bukan kasus biasa. Nilai utang yang melibatkan Rp29 triliun tentu bukanlah jumlah yang bisa kita anggap remeh,” terangnya.

Apalagi, lanjutnya, ada upaya Marimutu untuk meninggalkan negara saat dicegah, menunjukkan ada indikasi dirinya untuk menghindari kewajiban. “Ini semestinya cukup untuk menerapkan pendekatan hukum yang lebih keras dan progresif demi rasa keadilan masyarakat," tegas Hardjuno.


Satgas BLBI melakukan penyitaan terhadap aset The East Tower milik obligor Bank Asia Pacific Setiawan Harjono dan Hendrawan Haryono di Kuningan, Jakarta, Senin (24/7/2023). dok-Satgas BLBI 

Reformasi Hukum
Hardjuno melanjutkan, kasus ini mencerminkan perlunya reformasi hukum yang lebih luas, terutama dalam menangani kasus-kasus besar yang merugikan negara. Dia melihat, sistem hukum Indonesia perlu beradaptasi dan memperkuat perangkatnya, untuk memastikan kasus-kasus besar seperti BLBI bisa ditangani dengan proporsional dan adil.

"Kasus Marimutu ini hanya puncak gunung es dari masalah yang lebih besar dalam sistem hukum kita. Negara sudah memberikan waktu dan kesempatan selama lebih dari dua dekade bagi para obligor untuk menyelesaikan kewajibannya. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan. Ada banyak obligor yang terus menunda penyelesaian utangnya tanpa konsekuensi hukum yang memadai," bebernya.

Menurutnya, ketidakmampuan sistem hukum untuk memberikan tindakan yang setimpal terhadap para obligor besar seperti ini, tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

"Kita tidak bisa membiarkan obligor-obligor besar terus berlindung di balik status perdata, sementara mereka memiliki kewajiban yang sangat besar terhadap negara. Ketidakmampuan untuk menegakkan keadilan secara proporsional akan menciptakan kesan bahwa hukum di negara ini hanya tegas terhadap mereka yang lemah, sementara para pelaku dengan pengaruh besar bisa lolos dengan mudah," pungkas Hardjuno.

Dalam konteks ini, Hardjuno mendesak adanya reformasi hukum yang lebih menyeluruh untuk memperbaiki situasi.

Menurutnya, negara harus mengkaji ulang pendekatan perdata dalam kasus-kasus besar seperti BLBI, dan mulai mempertimbangkan langkah-langkah hukum yang lebih keras. Termasuk menjatuhkan sanksi pidana bagi obligor yang terbukti berusaha menghindari tanggung jawab mereka.

Apalagi nilai utang para obligor yang ditagih negara itu sebenarnya belum termasuk bunga selama 25 tahun mereka sama sekali tidak mencicilnya.  

"Dalam kasus BLBI, di mana kerugian negara begitu besar, hukum progresif harus diterapkan. Ini bukan hanya soal menagih utang, tetapi juga soal menjaga keadilan dan integritas sistem hukum kita. Negara tidak boleh membiarkan obligor-obligor besar yang merugikan rakyat bebas begitu saja," kata Hardjuno.

Daftar Pencegahan
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, berhasil mencegah keberangkatan obligator Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Marimutu Sinivasan di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Kalimantan Barat, saat yang bersangkutan hendak melarikan diri ke Kuching, Malaysia.

Marimutu Sinivasan merupakan subjek yang masuk ke dalam daftar pencegahan yang masih sah dan berlaku. Dia didaftarkan ke dalam subjek pencegahan atas permintaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) karena belum memenuhi kewajiban piutang negara.

“Kami menyerahkan MS ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu. Pencekalan yang bersangkutan terkait urusan perdata dengan Kemenkeu melalui Satgas BLBI,” kata Direktur Jenderal Imigrasi, Silmy Karim dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Senin.

Menurut Silmy, keberhasilan jajarannya mencegah keberangkatan Marimutu tidak terlepas dari teknologi sistem perlintasan imigrasi yang sudah terintegrasi hingga ke perbatasan. Selain status pencekalan, sistem imigrasi juga dapat mendeteksi pelintas yang masuk daftar pencarian orang Interpol.

“Saya sangat mengapresiasi kinerja petugas imigrasi di PLBN Entikong yang menjaga profesionalitas dan integritasnya walaupun bertugas di garis terluar RI,” kata dia.

Lebih lanjut, Kepala Kantor Imigrasi Kelas II TPI Entikong, Henry Dermawan Simatupang menjelaskan, Marimutu Sinivasan dicegah oleh petugas Imigrasi di PLBN Entikong pada Minggu (8/9) sore. Ketika itu, Marimutu hendak melarikan diri ke Kuching, Malaysia.

Saat tiba di PLBN Entikong, imbuh Henry, seorang petugas Imigrasi yang sedang bertugas di Pos Rantai Keberangkatan, yakni pos jalur mobil dan bus, melakukan pemeriksaan terhadap kendaraan yang ditumpangi Marimutu.

Setelah itu, petugas tersebut membawa Marimutu ke konter keberangkatan untuk pemindaian dan pengecapan. Saat petugas konter melakukan pemindaian paspor, didapati bahwa paspor Marimutu identik cekal 100%.

Marimutu lantas diarahkan untuk pemeriksaan lanjutan dan pendalaman dengan pejabat Imigrasi yang berwenang. Dari hasil pemeriksaan, konglomerat tersebut terkonfirmasi masuk dalam daftar cekal. “Petugas PLBN Entikong melaporkan kejadian dan hasil pemeriksaan terhadap MS kepada Kantor Imigrasi Entikong. Selanjutnya, kami menarik paspor MS,” ucap Henry.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Republik Indonesia Supratman Andi Agtas, menyampaikan apresiasinya kepada jajaran Kantor Wilayah Kemenkumham Kalimantan Barat, khususnya para petugas di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong.

"Tindakan pencegahan ini melibatkan Marimutu Sinivasan (MS), yang mencoba melarikan diri ke Malaysia.Terkait hal tersebut, kami menegaskan bahwa kesigapan petugas imigrasi dalam mencegah upaya pelarian MS patut diapresiasi," kata Supratman dalam keterangan di Pontianak, Senin.

Dia menambahkan bahwa keberhasilan ini menunjukkan tingkat integritas yang tinggi dari petugas imigrasi di perbatasan. "Ini adalah contoh yang baik bagi seluruh jajaran Kemenkumham di seluruh Indonesia. Semoga segala usaha kita dalam bekerja menjadi ladang pengabdian untuk Republik Indonesia yang kita cintai," tuturnya


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar