13 Oktober 2025
09:52 WIB
18 Pengajar Pidana Beri Pendapat Obstruction Justice
Profesor hukum pidana pelbagai universitas menilai pasal obstruction of justice di UU Tipikor berpotensi kriminalisasi berlebihan.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Shutterstock/Iqbal Akfa.
JAKARTA - Sebanyak 18 pengajar hukum pidana dari berbagai universitas di Indonesia mengajukan amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 163/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Dokumen amicus curiae tersebut sudah diserahkan ke MK pada Kamis (9/10).
Pemohon mengajukan uji materi1 Pasal 21 Undang-Undang Tipikor tentang obstruction of justice. Para akademisi menilai pasal tersebut mengandung norma yang kabur, melanggar asas legalitas, dan berpotensi menyebabkan kriminalisasi berlebihan.
Para pengajar menyoroti frasa “mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung” dalam Pasal 21 UU Tipikor, yang dinilai tidak memiliki batasan hukum yang jelas. Jadi, mereka anggap bertentangan dengan asas lex cerita (rumusan delik pidana itu harus kelas) dan lex stricta (hukum pidana tersebut harua tertulis) dalam hukum pidana.
“Tidak ada parameter yang pasti mengenai perbuatan apa yang tergolong ‘tidak langsung’. Akibatnya, aparat penegak hukum bisa menafsirkan secara bebas bahkan terhadap tindakan yang sah seperti pengajuan praperadilan, nasihat advokat, atau sikap diam,” urai Prof. Deni Setya Bagus Yuherawan dari Universitas Trunojoyo Madura dikutip dari Antara di Jakarta, Minggu (12/10).
Pada akademisi hukum tersebut menegaskan bahwa tafsir bebas tersebut melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi dan menimbulkan praktik over-kriminalisasi.
Para akademisi juga menyoroti tidak adanya unsur “melawan hukum” dalam pasal tersebut, sehingga tindakan legal seperti pembelaan diri di pengadilan dapat dianggap menghalangi penyidikan. Mereka juga mempertanyakan proporsionalitas ancaman pidananya.
“Pasal 21 bukanlah tindak pidana korupsi pokok, melainkan delik umum. Namun ancamannya justru paling berat, sehingga tidak proporsional,” ujar Deni.
Para ahli hukum yang terdiri dari profesor dan doktor seperti Prof. Tongat dari UMM, Prof. Mahmutarom HR dari Unwahas, dan Prof. Rena Yulia dari Untirta, meminta MK memberikan tafsir pembatasan terhadap pasal ini.
Mereka mengusulkan agar pasal ini hanya menjerat perbuatan dengan niat jahat yang dilakukan melalui kekerasan, intimidasi, atau pemberian keuntungan tidak semestinya, sesuai dengan Article 25 Konvensi PBB Antikorupsi.
“Pemberantasan korupsi harus berjalan dalam koridor hukum yang pasti, adil, dan proporsional. Norma yang kabur justru melemahkan keadilan dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan,” tulis para pakar tersebut dalam amicus curiae itu.
Mereka juga mengingatkan bahwa bahasa hukum tidak pernah netral dan kekaburan rumusan dapat mengakibatkan penafsiran sepihak oleh aparat.
“Ketika aparat penegak hukum memiliki posisi dominan dalam menafsirkan bahasa norma pidana, peluang kriminalisasi akan terbuka lebar,” tulis para ahli mengutip teori Paul Scholten dan JA Pontier.