23 Agustus 2025
11:02 WIB
Peneliti Belanda: Buzzer Sudah Jadi Industri Di Indonesia
Penelitian terbaru menemukan fenomena buzzer telah menjadi industri di Indonesia, banyak elite politik dan elite bisnis mendanai mereka untuk mempengaruhi opini publik di media sosial
Editor: Nofanolo Zagoto
Ilustasi buzzer. Shutterstock/everything possible
SEMARANG - Fenomena pendengung atau buzzer di dunia maya sudah menjadi suatu industri di Indonesia. Antropolog politik komparatif University of Amsterdam, Ward Berenschot, menemukan hal ini setelah melakukan riset selama lima tahun di Indonesia bersama Universitas Diponegoro (Undip) dan LP3ES.
"Kami sudah sekitar lima tahun melakukan riset tentang fenomena kejahatan siber di Indonesia," kata Ward saat workshop yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip Semarang, Jumat (23/8), seperti dilansir Antara.
Risetnya dilakukan dengan cara mewawancarai orang-orang yang melaksanakan pekerjaan itu, mengerti bagaimana cara kerjanya, serta dari mana uang yang digunakan untuk membiayai berasal.
"Temuannya memang menjadi industri karena justru banyak elite politik, elite bisnis yang mendanai tentara siber tersebut untuk mempengaruhi opini publik di media sosial," tambahnya.
Hasil penelitian ini, lanjut dia, diharapkan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat tentang fenomena tersebut.
Selain itu, menurut dia, Pemerintah Indonesia juga harus membuat kebijakan untuk menghentikan fenomena tersebut.
"Pemilik suatu akun media sosial harus jujur ketika unggahannya dibayar, harus transparan," katanya.
Sementara Wakil Rektor (Warek) IV Undip Semarang, Wijayanto mengatakan, selain kampus ini, penelitian juga melibatkan University of Amsterdam serta Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Ia menjelaskan, alasan pemilihan penelitian di Indonesia karena negara ini menjadi salah satu pengguna media sosial terbesar serta adanya praktik pemilihan langsung.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, menurut dia, diperoleh kesimpulan tentang perlunya peningkatan literasi digital, etika politik, serta transparansi platform digital.
"Kita harus membantu memastikan ruang publik bebas dari kabar bohong dan tidak mudah dimanipulasi," katanya.