c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

13 November 2025

09:18 WIB

Pemuda Uji Ketentuan Nikah Beda Agama ke MK

Ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan dinilai pemohon membuat ketidakpastian hukum pernikahan beda agama.

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Pemuda Uji Ketentuan Nikah Beda Agama ke MK</p>
<p>Pemuda Uji Ketentuan Nikah Beda Agama ke MK</p>

Ilustrasi: Perkawinan. Antara.

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan Muhamad Anugrah Firmansyah. Pemuda ini menginginkan agar pernikahan beda agama memiliki kepastian hukum.

Anugrah menilai, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan menimbulkan ketidakjelasan dan multitafsir pencatatan perkawinan antaragama sehingga berakibat pada ketidakpastian hukum.

"Kerugian konstitusional pemohon bersifat spesifik dan aktual akibat ketentuan a quo, menyebabkan pemohon tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan yang memiliki agama berbeda," urai pemohon pada sidang perdana di MK, Jakarta, Rabu (12/11) dikutip dari Antara.

Anugrah, yang beragama Islam, mengaku menjalin hubungan dengan perempuan Kristen selama dua tahun terakhir. Ia menyebut hubungan itu dijalani dengan saling menghormati keyakinan masing-masing dan berkomitmen untuk menikah.

Namun, menurut dia, pernikahan dengan kekasihnya terhambat akibat keberadaan pasal yang berbunyi "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".

Dia menjelaskan pada penerapannya, pasal tersebut dimaknai sebagai larangan pencatatan perkawinan bagi pasangan yang memiliki agama dan kepercayaan berbeda. Seolah-olah hanya perkawinan seagama yang dapat dicatatkan.

"Penafsiran demikian berimplikasi langsung pada tertutupnya akses pencatatan perkawinan antaragama," ucap Anugrah.

Sejatinya, imbuh dia, ketentuan mengenai perkawinan antaragama telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pencatatan perkawinan beda agama dapat dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Namun, dalam praktiknya, ketentuan itu disebut tidak konsisten diterapkan oleh pengadilan. "Ada pengadilan yang mengabulkan penetapan pencatatan perkawinan antaragama, sementara terdapat pula pengadilan yang menolak," lanjut pemohon.

Ketidakkonsistenan penetapan pengadilan itu, menurut Anugrah, menunjukkan tidak adanya kepastian hukum mengenai pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama. Kondisi itu menyebabkan warga negara bergantung pada interpretasi hakim.

"Akibat ketidakjelasan tersebut, negara menafsirkan pasal a quo secara berbeda-beda yang berimplikasi pada ketidakpastian hukum dan ketidaksamaan perlakuan hukum terhadap warga negara yang berada dalam kondisi serupa," tutur dia.

Baca juga: MK Tolak Gugatan UU Perkawinan       

Padahal, kata dia, Indonesia merupakan negara majemuk dengan berbagai agama dan kepercayaan. Kemajemukan itu membentuk interaksi sosial antarwarga negara di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam hubungan personal yang berlanjut pada perkawinan.

Menurut Anugrah, pada titik itulah, perkawinan antaragama muncul sebagai sebuah keniscayaan yang juga konsekuensi logis dan alamiah dari kehidupan bermasyarakat yang majemuk.

"Perkawinan di antara pasangan dengan agama yang sama sering dianggap sebagai perkawinan yang ideal. Namun demikian, cinta tidak pernah bisa direncanakan. Seringkali interaksi sosial antarwarga negara melampaui sekat-sekat agama, suku, maupun budaya. Sementara itu, di kehidupan yang hanya dijalani sekali ini, setiap orang berharap untuk dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan pilihannya," urai pemohon.

Anugrah menambahkan, kerugian konstitusionalnya semakin nyata setelah diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023. Pada pokoknya, SEMA tersebut berisi larangan bagi pengadilan untuk mengabulkan pencatatan perkawinan beda agama.

Ia mengatakan keberadaan SEMA ini menjadi alasan kuat dan relevan bagi MK untuk meninjau kembali konstitusionalitas Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan.

Atas dasar itu, melalui perkara dengan Nomor 212/PUU-XXIII/2025 ini, Anugrah meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar