19 Juni 2025
19:10 WIB
Pemerintah Diminta Evaluasi IUP Nikel Di Pesisir Dan Pulau Kecil
Pertambangan nikel menyebabkan sumber mata air di Pulau Wawonii, yang mengalir ke rumah-rumah warga, menjadi keruh dan bercampur dengan lumpur selama hampir tiga pekan
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
Ilustrasi bekas tambang nikel. ANTARA FOTO/Jojon
JAKARTA - Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) berharap pemerintah mempertimbangkan untuk mengevaluasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel seluruh pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasalnya, masyarakat lokal, serta flora dan fauna yang ada di dalamnya, menjadi korban pertambangan.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengatakan, dampak tersebut juga seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk tidak menerbitkan IUP dan perizinan pertambangan lainnya yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia.
KIARA mencatat bahwa pertambangan nikel di pesisir dan pulau-pulau kecil berdampak pada berbagai hal, yaitu pencemaran air sungai, perubahan warna perairan laut, berkurangnya hasil tangkapan nelayan tradisional, hilangnya akses masyarakat pesisir dan pulau kecil atas ruang hidupnya seperti kebun dan mata air, relokasi, hingga kriminalisasi.
Salah satu contoh pulau kecil yang dibebankan IUP nikel dan telah beroperasi adalah Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
Susan mengatakan, dampak pertambangan nikel yang dirasakan warga Pulau Wawonii adalah sumber mata air yang mengalir ke rumah-rumah warga menjadi keruh dan bercampur dengan lumpur yang menyebabkan krisis air bersih yang dialami warga hampir tiga pekan.
“Selain itu, kebun-kebun warga dijadikan sebagai jalan hauling pertambangan yang berakibat hilangnya sebagian lahan-lahan produktif warga. Bahkan kriminalisasi juga dialami warga yang menolak hadirnya perusahaan tambang nikel, yaitu PT Gema Kreasi Perdana (GKP), yang ada di Pulau Wawonii,” katanya, dalam keterangan tertulis, Kamis (19/6).
Sementara penelitian Nexus3 Foundation yang berjudul “Dampak Lanjutan dari Aktivitas Industri Nikel di Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, Indonesia” mengungkap dampak pertambangan di Teluk Weda, Maluku Utara.
Arsenik dan Merkuri pada Ikan
Dampak ekspansi pertambangan dan proses industri nikel di Teluk Weda disebutkan juga berdampak pada sedimen Sungai Ake Jira dan Ake Sagea yang diklasifikasikan sebagai tercemar berat dan kadar kromiumnya dapat mengancam kehidupan akuatik.
Bahkan, kata Susan, ikan dari Teluk Weda ditemukan mengandung arsenik dan merkuri, di mana kadar arsenik meningkat 20 kali lebih tinggi dibandingkan 2007.
“Ironinya temuan Nexus menyebutkan bahwa 22 individu (47%) yang dilakukan sampling memiliki kadar merkuri di atas batas aman 9 µg/L, dan 15 individu (32%) memiliki kadar arsenik yang melebihi batas 12 µg/L. Hasil ini diperoleh dari sampel darah 46 responden masyarakat, dengan kadar yang lebih tinggi ditemukan pada warga yang bukan pekerja IWIP (Kawasan Industri Weda),” ujarnya.
Susan menambahkan, hilirisasi nikel menjadi program yang dijalankan pemerintah sejak periode Presiden Joko Widodo. Program hilirisasi semakin dikonkritkan pemerintahan Prabowo Subianto dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025-2029.
Akan tetapi, kata Susan, program hilirisasi nikel tidak disertai dengan program dan agenda prioritas untuk perlindungan nelayan tradisional dan keberlanjutan ekosistem laut yang pasti akan menjadi korban dari program tersebut.
Susan menerangkan, program hilirisasi nikel merupakan program yang sangat melekat dengan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, karena kandungan nikel Indonesia dominan terkandung di wilayah tersebut.
“Kementerian ESDM tahun 2019 mencatat bahwa Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Cadangan nikel dunia mencapai 139.419.000 ton, sedangkan cadangan nikel Indonesia mencapai 72 juta ton atau menjadi negara yang menyimpan 52% cadangan nikel dunia,” jelas Susan.
KIARA mencatat bahwa U.S. Geological Survey (2025) mencatat bahwa total produksi nikel Indonesia sejak 2019 hingga 2024 adalah berkisar 8.381.000 ton. Sedangkan sejak 2022 hingga 2024, produksi nikel Indonesia telah merupakan 50% dari produksi nikel dunia.
Tingginya produksi nikel Indonesia merupakan konsekuensi program hilirisasi nikel pemerintah sebagai bagian langsung dari tingginya kandungan atau deposit nikel Indonesia.
Di Indonesia provinsi yang dibebankan IUP nikel terbesar per september 2020 adalah Sulawesi Tenggara dengan total 154 IUP/1 Kontrak Karya (KK), Sulawesi Tengah dengan total 85 IUP yang didukung oleh Kawasan Industri Morowali (IMIP), Kawasan Industri Konawe, serta Maluku Utara dengan total 44 IUP/1 KK yang didukung oleh IWIP.