17 Juli 2025
16:27 WIB
Pembahasan RKUHAP Belum Penuhi Partisipasi Bermakna
Keberadaan tim tenaga ahli DIM RKUHAP dinilai hanya untuk memenuhi syarat formil penyusunan UU saja
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
Ilustrasi pembahasan rancangan UU. Shutterstock/EtiAmmos
JAKARTA - Tim Tenaga Ahli Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Fachrizal Afandi merasa pelibatan dirinya sebagai tenaga ahli hanya seperti simbolis saja, untuk memenuhi syarat formil penyusunan UU.
“Jadi kita diminta bicara, didengarkan, tapi apakah kemudian yang kita sampaikan itu dipertimbangkan, nah itu soal lain,” katanya, dalam diskusi daring Hukum Acara Pidana untuk Perlindungan Lingkungan Hidup, Kamis (17/7).
Karena itu, Fachrizal menegaskan dirinya tidak bertanggung jawab atas isi dalam RKUHAP yang sekarang menjadi pembahasan di DPR.
“Saya harus disclaimer juga, seperti juga disclaimer dari beberapa Tim Tenaga Ahli DIM RKUHAP yang lain, saya tidak bertanggung jawab atas RKUHAP yang sekarang dibahas di DPR,” tegas Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya ini.
Fachrizal juga menegaskan, tidak benar klaim RKUHAP sudah menerapkan partisipasi yang bermakna. Pasalnya, DPR belum mengundang semua pihak terkait, misalnya, korban salah tangkap atau korban kriminalisasi.
“Korban-korban kasus masyarakat adat tadi, kayak Mas Daniel Frits Maurits ini harusnya diundang di DPR untuk ditanya, pengalamannya, apa yang harus direvisi dulu. KUHAP ini kan untuk mengatasi agar tidak ada Daniel Frits lain,” tegasnya.
Seingatnya, dalam seminar yang diadakan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi, pemerintah mengakui pembentukan RKUHAP menggunakan pendekatan participant approach. Participant approach adalah pendekatan pembuatan perundang-undangan dari pelaku atau praktisi yang berpartisipasi dalam RKUHAP.
“Karena participant approach menurut beliau, nah ini saya kutip saja, maka yang paling banyak mewarnai pengaturan RKUHAP adalah tiga aktor utama. Siapa itu? Tentu pertama kepolisian, kedua kejaksaan, dan ketiga Mahkamah Agung, keempat ada lagi Menteri Hukum,” tuturnya.
Maka, ditegaskan Fachrizal, dalam RKUHAP 2025 isi perdebatan pembentukannya lebih kepada soal kewenangan daripada pengawasan.
Karena itu, menurutnya, ada banyak hal yang luput, termasuk terkait pelapor. Misalnya, bila pelaporan tidak ditanggapi oleh penyidik, yang bisa dilakukan pelapor hanya melaporkan penyidik ke atasannya
“Itu kan yang sudah ada sekarang. Kalau dilaporkan ke atasannya, mentok bagaimana? Ya sudah, nggak ada solusi,” katanya.