c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

NASIONAL

23 Oktober 2021

16:55 WIB

Pelantikan Anggota BPK Harus Tunggu Putusan PTUN

Presiden Jokowi diharap tidak sekedar jadi tukang stempel DPR, tapi harus tegas menolak melantik anggota BPK yang tak sesuai persyaratan

Editor: Faisal Rachman

Pelantikan Anggota BPK Harus Tunggu Putusan PTUN
Pelantikan Anggota BPK Harus Tunggu Putusan PTUN
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menerima laporan hasil uji kelayakan dan kepatutan calon anggota BPK di Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (21/9). Antara Foto/Galih P

JAKARTA – Polemik pemilihan Anggota BPK RI masih terus bergulir. Keputusan DPR untuk mengajukan pejabat di Ditjen Bea dan Cukai Nyoman Adhi Suryadnyana, sebagai calon anggota BPK yang berkasnya sudah diajukan kepada Presiden untuk dilakukan pelantikan, kini digugat elemen masyarakat sipil ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Berbagai kalangan mempertanyakan proses pelantikan itu. 

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah pun angkat bicara. Menurutnya, pengesahan atau pelantikan tersebut sudah seharusnya menunggu putusan PTUN. 

“Karena apa? karena kita ini negara hukum, jadi harus menghormati apapun keputusan pengadilan PTUN nanti. Cuma memang saya lihat lebih banyak ke arah politiknya. Jadi DPR berpikir, pokoknya dilantik dulu, untuk urusan menang kalah itu urusan nanti,” ujar Trubus, akhir pekan (23/10).

Jika pelantikan tetap dilakukan, menurutnya hal tersebut sama saja memberikan contoh yang tidak baik kepada masyarakat. 

“DPR itu harus memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. DPR bukan hanya mewakili masyarakat tapi juga harus kredibel dan kredibilitas untuk menempatkan persoalan-persoalan keberatan-keberatan masyarakat sebagai sebuah pertimbangan pengambilan keputusannya,” tuturnya.

Idealnya, kata Trubus, kalau para politisi di DPR taat pada peraturan, sudah semestinya pengajuan ditunda dulu. 

“Kalau ada gugatan dari pihak lain berarti ada something wrong. Harusnya hal ini menjadi pertimbangan utama bagi DPR, Presiden juga harusnya merespons tentang keberatan keberatan itu. Tapi, kalau liat situasinya sih, memang politiknya lebih dikedepankan dari proses hukumnya,” jelasnya.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus berpendapat senada. Pengangkatan anggota BPK haruslah taat hukum. Apalagi, BPK adalah lembaga yang mengemban misi terkait tugas penegakan hukum di bidang audit. Menurutnya, peristiwa ini membuktikan, DPR tidak aspiratif terhadap suara masyarakat, terutama membangun pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.

“Dalam banyak peristiwa justru DPR RI menjadi sumber masalah, khususnya terkait dengan fungsi legislasi, termasuk wewenang memilih pejabat publik. Jika saja DPR RI terdiri-dari sosok-sosok negarawan pilihan rakyat yang tidak melacurkan fungsinya, mestinya negeri ini tidak banyak dirundung masalah dalam tata kelola pemerintahan. Terutama penegakan hukum yang semakin lama melenceng jauh dari cita-cita reformasi dan rasa keadilan publik,” bebernya kepada wartawan.

Aspirasi Publik
Reaksi publik yang resisten, hingga gugatan ke PTUN Jakarta, kata Petrus, menjadi bukti pengabaian aspirasi publik. Juga melanggar UU BPK RI yang dibuat sendiri oleh DPR RI.

“Ironisnya meskipun diprotes banyak pihak dari berbagai kalangan, DPR seakan akan menutup mata dan telinga. Sehingga tetap menyertakan dua calon yang tidak layak bahkan tidak memenuhi syarat pencalonan sesuai ketentuan pasal 13 huruf J Undang-Undang tentang BPK RI,” ujarnya.

Ia pun berharap Presiden Jokowi tidak sekadar tukang stempel DPR melainkan harus dengan tegas menolak melantik dengan alasan ada pelanggaran hukum yang serius dilakukan oleh DPR RI.

Sebelumnya, Pakar hukum tata negara Margarito Kamis meminta Komisi XI DPR RI mencoret calon Anggota BPK yang tidak memenuhi persyaratan. Menurutnya, bahkan ada dua nama yang dinilai tidak memenuhi syarat dan seharusnya dicoret. 

“Tidak ada ilmu hukum yang bisa dipakai bagi orang yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota BPK," ucap Margarito beberapa waktu lalu. 

Ia berpendapat, DPR ataupun lembaga negara lain tidak boleh menoleransi kesalahan para pembentuk UU dengan menginjak UU yang mereka dibuat sendiri.

Sementara, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menekankan,  pihaknya tetap menggugat Ketua DPR RI Puan Maharani, terkait dugaan tidak sahnya pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

Boyamin mempermasalahkan lolosnya Nyoman Adhi dalam seleksi calon anggota BPK karena bertentangan dengan Pasal 13 huruf j Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.

Pasal tersebut menyatakan, untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus paling singkat telah tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Nah, Nyoman Adhi Suryadnyana, pada periode 3 Oktober 2017-20 Desember 2019, tercatat masih menjabat Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai di Manado. 

MAKI sendiri sudah menggugat hal ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sidang kedua (perbaikan) atas gugatan MAKI terhadap Ketua DPR berlangsung Selasa, (19/10). Gugatan terdaftar pada nomor perkara: 232/G/2021/PTUN.Jkt.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar