04 Agustus 2023
15:04 WIB
JAKARTA - Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono menegaskan tidak ada impunitas (pembebasan dari hukuman atau kehilangan atau melepaskan diri dari denda) di lingkungan TNI. Termasuk dalam penanganan kasus suap yang melibatkan dua perwira TNI, yaitu Marsekal Madya (Marsdya) TNI Henri Alfiandi (HA) dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto (ABC).
Oleh karena itu, Yudo meminta masyarakat tidak mengkhawatirkan proses hukum terhadap dua perwira TNI tersebut. Yudo memastikan proses hukum terus berjalan dan saat ini telah masuk tahap penyidikan.
“Tentunya saya minta masyarakat tidak khawatir dengan itu, karena saya lihat dari pembicaraan selama ini seolah-olah TNI kalau salah masuk peradilan militer ada impunitas. Tidak ada. Tunjukkan mana impunitas yang diterima prajurit TNI, kalau (mereka berbuat) salah,” kata Yudo saat jumpa pers selepas membuka Panglima TNI Cup di Stadion Perkasa Mabes TNI, Jakarta, Jumat(4/8) seperti dilansir Antara.
Yudo menjelaskan, tidak ada prajurit yang kebal hukum atau menerima impunitas. Ini karena proses hukum di lingkungan TNI diatur dalam ketentuan perundang-undangan, di antaranya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Dia mencontohkan, majelis hakim peradilan militer pernah menjatuhkan hukuman berat kepada prajurit TNI yang terlibat kasus korupsi, yaitu Brigjen TNI Teddy Hernayadi. Pada 2016, jenderal bintang satu tersebut divonis penjara seumur hidup, karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi pengadaan alutsista di Kementerian Pertahanan RI.
Majelis hakim saat itu memecat Teddy dari TNI dan memerintahkan dia mengembalikan kerugian negara sebesar US$12.409 atau sekitar Rp130 miliar.
“Ya kami laksanakan seperti itu. Kami tunduk pada hukum. Kalau mau diubah dan sebagainya kami tunduk pada keputusan politik negara. Kami melaksanakan ini. Ini adalah keputusan politik negara, ya kami laksanakan,” kata Yudo.
Saksikan Langsung
Dalam kesempatan yang sama, dia pun mengajak masyarakat untuk mengikuti secara langsung proses hukum kasus suap di Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas). Kasus tersebut melibatkan HA selaku Kepala Basarnas (Kabasarnas) dan ABC sebagai Koorsmin Kabasarnas.
“Kalau masih ragu-ragu, ya silakan, ayo, kita sama-sama melihat penjaranya kayak apa, penyidikannya kayak apa, silakan. Jadi, jangan selalu bilang produk Orde Baru, kita semuanya produk Orde Baru. Kita, akui atau tidak, kita produk Orde Baru semuanya, karena memang saat itu kita lalui semua. Jadi, jangan terus menuduh TNI ini produk Orde Baru. Semua produk Orde Baru. Ayo, kita akui atau tidak,” kata Yudo.
Dia menambahkan, ada banyak perubahan dalam tubuh TNI selepas Orde Baru yang mana itu merupakan hasil keputusan politik pemerintah.
“Tentunya, kami sudah berubah sesuai keputusan politik pemerintah. Kami sudah berubah, berubah, dan berubah. Kalau nggak percaya. Ayo, datang ke TNI,” tegasnya.
Ia menegaskan, TNI tidak tertutup dan terbuka untuk berdiskusi, berkoordinasi, dan bersilaturahim. Kami sekarang ini sudah terbuka. Jauh dibanding dengan zaman-zaman dulu,” tuturnya.
Menurutnya, sebagai generasi penerus, personel-personel TNI saat ini tak begitu mengetahui secara persis Orde Baru seperti apa.
“Karena saya hanya mengikuti dulu, karena saya masih junior dan kita semuanya. Sekarang, kita semuanya menjadi pemimpin. Tentunya kita semua akan tunduk pada keputusan politik pemerintah,” kata Yudo Margono.
Kasus Suap
Sekadar mengingatkan, pada Rabu (26/7), KPK telah menetapkan Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) sebagai tersangka oleh KPK, lantaran diduga menerima suap sebesar Rp88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023.
Namun, dalam konferensi pers di Mabes TNI Cilangkap Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda (Marsda) TNI Agung Handoko menilai, OTT dan penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto (ABC), tidak sesuai dengan prosedur.
"Yang jelas TNI tidak melindungi personel-nya yang melakukan tindak pidana. Itu pasti akan diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku. KPK kan yang memiliki alat buktinya, kemarin kan sudah diserahkan ke kita untuk dilaksanakan penyidikan," tutur Yudo.
Danpuspom TNI Marsda TNI Agung Handoko (kanan) bersama Kapuspen TNI Laksda TNI Julius Widjojono (ten gah) dan Kababinkum TNI Laksda TNI Kresno Buntoro (kiri) menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta, Jumat (28/7/2023). Antara Foto/ Fakhri Hermansyah Satu tersangka lain yang juga perwira TNI aktif adalah Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto. Sedangkan dari pihak sipil tersangka-nya adalah Komisaris Utama PT. Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan (MG), Direktur Utama PT IGK (Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya (MR), dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.
"Ya sebenarnya di kita kan ada inspektorat. Di Mabes TNI kan ada Irjen TNI, di masing-masing matra ini kan juga ada Irjen, AL ada Irjen AL, Irjen AD, Irjen AU, itu kan fungsinya kan melaksanakan aparat pengawasan internal pemerintah. Itulah yang melaksanakan dan kita pun setiap 6 bulan sekali kan diperiksa BPK," ungkap Yudo.
Evaluasi Inspektorat
Dengan kejadian tersebut, Yudo menyebut juga akan melakukan evaluasi dalam kerja Inspektorat TNI. "Ya dievaluasi, tentunya akan jadi evaluasi kita bersama," tambah Yudo.
Kasus tersebut terungkap setelah penyidik lembaga antirasuah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7) di Cilangkap dan Jatisampurna, Bekasi. Setelah OTT tersebut, pada Jumat (28/7), Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengakui anak buahnya melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam penetapan tersangka terhadap anggota TNI.
Pernyataan itu diungkapkan setelah rombongan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda Julius Widjojono, didampingi Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko beserta jajaran mendatangi gedung KPK.
Johanis Tanak merujuk pada Pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebut pokok-pokok peradilan itu diatur ada empat lembaga, peradilan umum, militer, peradilan tata usaha negara dan agama.
Ia pun mengatakan, berangkat dari kasus tersebut, pihaknya akan berbenah dan lebih berhati-hati dalam penanganan kasus korupsi khususnya yang melibatkan anggota TNI.
Kasus dugaan korupsi di Basarnas berawal pada tahun 2021. Saat itu, Basarnas membuka beberapa tender proyek pekerjaan yang diumumkan melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Kemudian, pada tahun 2023, Basarnas kembali membuka tender tiga proyek pekerjaan yakni, pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan, pengadaan Public Safety Diving Equipment, dan Pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (Multiyears 2023-2024).
Tiga tersangka dari pihak swasta kemudian melakukan pendekatan secara personal dengan menemui langsung HA selaku Kepala Basarnas. Juga ABC selaku Koorsmin Kepala Basarnas merangkap asisten sekaligus orang kepercayaan HA, agar memenangkan tiga proyek tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, diduga terjadi kesepakatan pemberian sejumlah uang berupa fee sebesar 10% dari nilai kontrak. Penentuan besaran fee tersebut diduga ditentukan langsung oleh HA.