c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

21 Juli 2025

20:10 WIB

Pakar Usul RUU Penyiaran Atur Kode Etik Konten Di Platform Digital

Saat ini, konten yang tersebar di platform digital belum diatur oleh kode etik

Penulis: Gisesya Ranggawari

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>Pakar Usul RUU Penyiaran Atur Kode Etik Konten Di Platform Digital</p>
<p>Pakar Usul RUU Penyiaran Atur Kode Etik Konten Di Platform Digital</p>

ilustrasi penyusunan undang-undang. Shutterstock/stoatphoto

JAKARTA - Pakar Hukum dari Universitas Padjajaran, Prof Ahmad M. Ramli mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran mengatur kode etik konten di platform digital. Menurut dia, saat ini konten yang tersebar di platform digital masih bebas karena belum diatur oleh kode etik.

"Sampai dengan saat ini kita belum punya adalah kode etik untuk konten di platform digital," kata Ahmad Ramli di Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (21/7).

Ia menyampaikan selama ini Indonesia hanya memiliki kode etik jurnalistik dan lainnya, belum ada kode etik untuk konten-konten di platform digital. Maka dari itu, Ahmad menyebut perlu ada aturan kode etik platform digital di RUU Penyiaran.

"Jika ingin, maka undang-undang penyiaran yang akan datang seharusnya mengatur kode etik itu untuk mereka. Tetapi tentunya berbeda dengan kode etik yang untuk lembaga penyiaran," beber dia.

Ahmad menjelaskan, kode etik itu nantinya akan mengatur konten-konten yang tersebar di platform digital. Dia khawatir jika tidak diatur dengan kode etik, sejumlah konten berpotensi melakukan pelanggaran dan langsung berhadapan dengan undang-undang terkait lainnya.

"Dengan UU ITE, kemudian dengan UU Perlindungan Data Pribadi, dan dengan KUHP baru. Yang dimana pasal-pasal undang-undang ITE diadopsi dan dialihkan seluruhnya ke undang-undang KUHP yang baru," papar Ahmad.

Sementara itu, Pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Indonesia, Dr. Ignatius Heryanto meminta DPR memisahkan aturan antara media mainstream dengan konten di platform digital. Maka, ia mengusulkan, pembentukan Undang-Undang baru yang khusus mengatur platform digital secara ketat. 

Ia menerangkan, ranah dunia penyiaran dan dunia platform digital merupakan dua hal yang berbeda, baik keberadaannya secara teknologi ataupun juga dalam hal pengaturannya. 

Untuk itu, Ignatius menilai pengaturan soal platform digital membutuhkan Undang-Undang tersendiri yang berbeda dengan Undang-Undang Penyiaran.

"Karena saat ini mayoritas masyarakat menggunakan sosial media dalam interaksinya sehari-hari," ujar Ignatius dalam rapat yang sama.

Ignatius menyampaikan di banyak negara memang ada yang berupaya untuk mengatur platform digital dengan lembaga penyiaran dalam satu kerangka yang lebih besar, misalnya undang-undang konvergensi ataupun online streaming act.

"Seperti yang ada di Kanada atau di Australia mengenal ada yang disebut sebagai online safety act, kemudian di Inggris dan Uni Eropa ada aturan yang disebut sebagai audio visual media services directive," ungkap dia.

Pada umumnya, lanjut Ignatius, pengaturan terkait dengan platform digital dilakukan atas dua hal, yaitu terkait dengan perusahaan platform digital yang menyediakan jasa streaming online ataupun jasa platform media sosial dan terkait dengan konten platform digital yang diwajibkan bertanggung jawab.

Pengaturan platform digital yang terkait dengan jasa streaming online dan platform media sosial di luar negeri, kata Ignatius, biasanya mensyaratkan adanya pembagian dari pendapatan mereka untuk kepentingan nasional, misalnya untuk produksi audio visual yang mencerminkan budaya setempat. 

"Agar konten-konten dalam platform mereka tidak didominasi oleh konten-konten dari luar semata, tapi juga memberikan ruang untuk identitas budaya di mana mereka hadir di sana," tutur Ignatius.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar