c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

14 November 2025

11:10 WIB

Pakar: Kekerasan Anak Bukan Hanya Pengaruh Game Online

Membatasi game online bukan langkah tepat untuk mencegah kekerasan di kalangan anak sekolah,

Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Pakar: Kekerasan Anak Bukan Hanya Pengaruh <em>Game Online</em></p>
<p>Pakar: Kekerasan Anak Bukan Hanya Pengaruh <em>Game Online</em></p>

Ilustrasi anak bermain game online. Shutterstock/anon_tae.

JAKARTA - Pakar pendidikan sekaligus Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai, rencana pemerintah untuk membatasi game online bukan langkah yang tepat untuk mencegah kekerasan di kalangan anak sekolah. Sebab, anak yang melakukan kekerasan tidak hanya dipengaruhi oleh gim, tapi banyak faktor lainnya.

"Pembatasan gim atau pelarangan seperti contohnya PUBG (PlayerUnknown'sBattlegrounds) tidak tepat karena banyak faktor yang memicu, tidak hanya gim. Jadi pelarangan gim ini tidak boleh menjadi satu-satunya solusi," ujar Ubaid ketika dihubungi Validnews, Jumat (14/11).

Dia mencontohkan, insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta merupakan fenomena kompleks yang melibatkan banyak faktor, mulai dari dugaan perundungan, kesehatan mental, pengawasan orang tua dan sekolah, hingga literasi digital. Oleh karena itu, perlu ada strategi holistik yang tidak hanya fokus pada gim, tapi juga lingkungan anak.

Dia menyebutkan, jika pemerintah melakukan pembatasan saja tanpa edukasi yang memadai, maka akan timbul perlawanan dari anak. Mereka mungkin mencari cara lain untuk mengakses gim yang dibatasi misalnya menggunakan VPN.

Baca juga: Komdigi Tunggu Arahan Presiden Batasi Game Online     

Selain itu, pembatasan semata juga membuat anak tidak belajar keterampilan self-control dan literasi digital. Padahal, mereka tetap perlu diajarkan memilah dan mengatur diri dalam berinteraksi dengan dunia digital, bukan hanya dilarang.

"Jika masalah utama adalah perundungan atau kesehatan mental, sekadar membatasi game hanya akan memindahkan pelampiasan anak ke hal negatif lain yang tidak terdeteksi," tambah Ubaid.

Dia menilai, untuk menghilangkan kekerasan di sekolah perlu ada penguatan sistem pencegahan dan penanggulangan kekerasan. 

Sistem ini mencakup early warning system, edukasi tentang kekerasan, sistem perlindungan saksi dan korban, penguatan pendampingan oleh guru bimbingan konseling, evaluasi tentang pencegahan kekerasan, hingga penyediaan alokasi dana dari APBN dan APBD untuk pencegahan kekerasan.

Di samping itu, perlu ada penguatan ekosistem yang ramah anak. Hal ini melibatkan guru, tenaga kependidikan, masyarakat, anak, orang tua, pemerintah, dan aktor-aktor lainnya untuk saling mendukung budaya ramah anak dan anti kekerasan.

"Mereka harus dilibatkan dan diberikan pemahaman tentang apa itu kekerasan dan bagaimana peran-peran yang bisa mereka ambil dalam misi ini," pungkas Ubaid.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan pembatasan game online menyusul insiden ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta, Jumat (7/11). Pembatasan diperlukan mengingat game online bisa mengandung hal-hal negatif yang berpengaruh buruk terhadap generasi muda, salah satunya kekerasan. 

Saat ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) pun masih menunggu arahan presiden terkait rencana tersebut. Nantinya, pembatasan game online akan ditangani oleh Direktorat Jenderal Ekosistem Digital.

"Apapun yang menjadi kebijakan presiden, akan kita tindaklanjuti. Bentuknya seperti apa, nanti dari bu menteri saja yang akan menjawabnya," ujar Staf Ahli Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya Komdigi, Raden Wijaya Kusumawardhana, di Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (11/11).


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar