14 Agustus 2024
15:56 WIB
Pakar Harap Masyarakat Waspada Aborsi Ilegal
Abrsi ilegal dilakukan tanpa adanya indikasi medis pada ibu dan bukan di tempat praktik medis.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
ilustrasi aborsi. Shutterstock/christinarosepix.
JAKARTA - Dosen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), Budi Prasetyo, meminta masyarakat mewaspadai dampak aborsi ilegal. Yakni, aborsi yang dilakukan tanpa adanya indikasi medis pada ibu. Aborsi ilegal biasanya tidak dilakukan di fasilitas kesehatan dan tidak dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten.
“Dampaknya seperti infeksi, karena melakukan aborsi di tempat yang tidak memenuhi syarat, sehingga risiko infeksi dan perdarahan meningkat," terang Budi dikutip dari keterangan tertulis di laman resmi Unair, Rabu (14/8).
Dia melanjutkan, dampak aborsi ilegal yang disebut juga sebagai aborsi provokatus kriminalis harus dihindari. Tujuannya, mengurangi risiko kecacatan bahkan kematian pada ibu.
Selain aborsi ilegal, papar Budi, dunia medis mengenal aborsi yang dilakukan karena ada kondisi medis yang mengancam keselamatan ibu. Hal ini disebut juga sebagai aborsi medisinalis.
Umumnya, aborsi medisinalis dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dengan prosedur yang sesuai. Harapannya, cara itu dapat menurunkan risiko tindak aborsi.
Budi menyebutkan tindak aborsi sebaiknya dilakukan pada trimester pertama kehamilan atau ketika usia kehamilan tidak lebih dari tiga minggu. Sebab, aborsi akan lebih berisiko ketika janin lebih besar, misalnya di usia lebih dari 12 minggu.
Budi menambahkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menyatakan ada kelompok masyarakat yang dapat melakukan aborsi. Namun, harus ada kriteria dan persyaratan yang dipenuhi.
Berdasarkan Pasal 116 PP tersebut, aborsi diizinkan bagi orang dengan indikasi kedaruratan medis. Selain itu, diizinkan bagi korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
"Memang dalam KUHP pun yang boleh melakukan aborsi ialah korban pemerkosaan, cacat berat, atau mengancam jiwa ibunya," tutup Budi.