20 Juli 2024
10:37 WIB
Pakar Bagi Cara Mengatasi Dampak Negatif Kecubung
Dampak kecubung bisa menyebabkan kematian orang.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Buah kecubung. ANTARA/Pixabay-Akumarphoto
JAKARTA - Psikiater konsultan adiksi RSJ Sambang Lihum, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Firdaus Yamani, membagikan cara memberikan pertolongan pertama pada orang yang keracunan kecubung.
Dia menjelaskan, jika kecubung (Datura metel L.) masuk ke tubuh kurang dari dua jam, kecubung perlu segera dimuntahkan. Orang yang mengonsumsi kecubung juga perlu minum banyak air putih, sehingga zat yang terkandung dalam kecubung bisa keluar melalui urine.
"Misalkan, ada denyut jantung yang cepat, kemudian ada suhu badan yang meningkat, apalagi sudah mulai susah nafas, segera dibawa ke rumah sakit terdekat yang lengkap, yang ada dokter jiwa, yang ada dokter sakit dalam, dan juga dokter anestesi," ujar Firmani dalam media briefing daring yang diadakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jumat (19/7).
Dia memaparkan, kecubung mengandung senyawa alkaloid tropan seperti atropin, skopolamin, dan hiosiamin. Senyawa ini menimbulkan efek halusinogenik yang membuat penggunaan kecubung dibatasi. Jika dosis atropin lebih dari 10 mg, penggunaan kecubung bisa menyebabkan kematian.
Firmani menjelaskan, gejala intoksikasi atau keracunan kecubung umumnya terjadi 30-60 menit setelah dikonsumsi dan bisa berlangsung selama 24-28 jam. Gejala ini berupa bicara meracau, halusinasi visual, sulit buang air besar, takut pada cahaya, aritmia, hingga denyut jantung melemah atau meningkat.
Pada beberapa kasus, keracunan kecubung bisa menyebabkan depresi sistem pernapasan yang membuat pasien gagal napas dan berujung meninggal. Selain itu, keracunan kecubung bisa menyebabkan kelumpuhan pada sistem kardiovaskular yang juga berujung kematian.
Firmani menyebut, pemerintah memang belum mengategorikan kecubung sebagai narkotika. Namun, dia tetap meminta masyarakat tidak mengonsumsi kecubung karena efek halusinasi dan berpotensi menyebabkan kematian.
“Ini juga sebenarnya berbahaya sehingga perlu ada edukasi yang lebih gencar kepada masyarakat untuk menjauhi, mengonsumsi buah ini," tutup Firmani.