02 Agustus 2025
18:00 WIB
Padi Lokal, Riwayatmu Kini
Padi lokal punya keunggulan, namun sedikit ditanam petani. Akankah padi lokal bertahan di tengah perkembangan padi varietas unggulan dan kebutuhan manusia?
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi beras hasil penggilingan mesin tradisional milik H Jali. Validnews/Hasta Adhistra
JAKARTA – Keanekaragaman varietas padi di Indonesia menebar di belahan lahan Tanah Air. Namun, tak semua tertancap di lahan sawah petani di seluruh Tanah Air.
Mengutip Jurnal Ilmu Pertanian, “Potensi Gen-gen Ketahanan Cekaman Biotik dan Abiotik Pada Padi Lokal Indonesia: A Review”, berdasarkan sejarah ekologi atau sejarah lingkungan, pada masa lampau sebelum program Revolusi Hijau, Indonesia memiliki kurang lebih 8.000 varietas padi lokal. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan Indonesia memiliki keaneragaman varietas padi lokal, antara lain karena Indonesia memiliki keanekaragaman habitat tempat tumbuh padi di berbagai ekosistem lokal dan pengaruh aneka ragam budaya manusia yang membudidayakan tanaman padi lokal tersebut.
Jurnal itu menyatakan, penduduk Indonesia di berbagai kawasan biasa membudidayakan tanaman padi di berbagai habitat atau ekosistem lokal. Berdasarkan pengetahuan ekologi tradisional yang mereka miliki, hasil pewarisan secara turun temurun, serta hasil pengalaman pribadi, interaksi timbal balik antara dirinya dengan ekosistem lokal secara berkelanjutan dengan lekat budaya.Imbasnya, menghasilkan keanekaragaman padi lokal.
Indonesia terletak di sekitar garis khatulistiwa, beriklim tropis, dan memiliki keragaman genetik padi yang besar karena kepulauan Nusantara dulunya menyatu dengan benua Asia yang merupakan pusat asal (center of origin) tanaman padi.
Pusat asal spesies padi adalah India. Dengan demikian, Indonesia layak diduga sebagai pusat asal sekunder (secondary center of origin) spesies padi. Hal itu juga secara empiris dibuktikan dengan ditemukannya banyak spesies liar padi di Indonesia.
Sebagian besar keragaman tanaman padi disebabkan karena keragaman genetik berbagai landrace (varietas lokal). Hampir setiap daerah mempunyai varietas padi lokal spesifik daerah yang sudah dibudidayakan sejak lama secara turun temurun. Misalnya, varietas Pandan Wangi terkenal sebagai varietas padi lokal Cianjur Jawa Barat; Rojolele sebagai varietas padi lokal daerah Klaten Jawa tengah; serta Ramos dan Kuku Balam varitas padi lokal daerah.
Pada buku Merevolusi Revolusi Hijau terbitan Institut Pertanian Bogor (IPB) Press., tertulis sebelum 1960-an, masyarakat Indonesia mengembangkan pertanian sesuai keanekaragaman hayati setempat. Biasanya, para petani menanam benih yang dipilih dari rumpun terbaik tanamannya. Benih disuburkan dengan memanfaatkan pupuk kandang atau kompos buatan sendiri.
Namun, budaya semacam itu luntur sejak 1963, ketika rezim yang berkuasa pada 1963 mulai menerapkan “Revolusi Hijau” secara bertahap. Rezim kala itu mendorong penggunaan varietas unggul; memberi subsidi pupuk dan pestisida; memberikan kredit untuk petani; hingga membangun bendungan dan saluran irigasi di sentra produksi padi. Tujuannya, meningkatkan produksi padi guna mencapai swasembada pangan.
Setahun kemudian, pada 1984, Indonesia mencapai cita-cita swasembada beras. Keberhasilan itu membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberkan penghargaan. Revolusi Hijau lantas dilanjutkan dan bisa meningkatkan produksi beras hingga 289% dalam 30 tahun. Lonjakan produksi ini lebih karena kenaikan produktivitas dibandingkan pertambahan luas areial tanam.
Namun, ada harga yang harus dibayar atas capaian Revolusi Hijau. Lahan para petani mengalami degradasi; hama menjadi resisten terhadap pestisida; hingga muncul masalah pencemaran lingkungan. Tak ketinggalan, varietas-varietas padi lokal hilang disingkirkan varietas unggul. Hal ini mengancam keanekaragaman hayati Indonesia.
Situasi itu mendorong sekelompok masyarakat untuk menjalankan Revolusi Hijau Lestari mulai tahun 2004. Berbeda dengan pendahulunya, Revolusi Hijau Lestari mendorong produktivitas padi tanpa membahayakan lingkungan. Salah satu aspek pentingnya adalah menjaga keanekaragaman padi lokal.
Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan (PRTP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yudhistira Nugraha memperkirakan, sebelum Revolusi Hijau sekitar 60-70% padi di Indonesia merupakan varietas lokal. Angka itu berkurang saat Revolusi Hijau berlangsung, namun berangsur stabil setelahnya.
Dia menjelaskan, umumnya padi varietas lokal dan belum teridentifikasi ditanam oleh petani yang berorientasi subsisten. Artinya, petani menanam lebih untuk pemenuhan kebutuhan pribadi, bukan diperjualbelikan. Petani tipe ini biasanya bertani secara tradisional di lahan yang terbatas.
Salah satu daerah yang banyak menanam padi varietas lokal adalah pedalaman Kalimantan. Padi khas daerah itu adalah padi gogo yang dapat ditanam di lahan kering. Ada pula padi varietas siam yang tumbuh di lahan pasang surut atau rawa.
Yudhistira berkata, adaptabilitas terhadap lahan tertentu memang merupakan keunggulan padi varietas lokal. Varietas lokal tertentu bahkan bisa bertahan di lahan yang tercemar logam atau aluminium. Di samping itu, varietas lokal juga lebih tahan terhadap penyakit endemik suatu wilayah.
Kekhasan itu membuat BRIN meneliti bioprospeksi padi varietas lokal sejak lama. Peneliti BRIN biasanya mengidentifikasi kekhususan suatu varietas, seperti tahan di lingkungan tertentu; bermutu unggul; atau mengandung nutrisi lebih tinggi.
Setelah gen pengatur berhasil diidentifikasi, gen itu ditransfer kepada padi varietas unggul nasional. Hasilnya, varietas unggul nasional memiliki keunggulan seperti varietas lokal, tapi dengan produktivitas yang lebih baik.
“Panennya rata-rata 100-120 hari varietas unggul baru itu, beda dengan varietas lokal ada yang hanya ditanam satu kali setahun,” ujar Yudhistira kepada Validnews, Sabtu (26/7).
Dia melanjutkan, varietas unggul baru nantinya dilepas ke pasaran untuk menggantikan varietas lama yang sudah tidak bagus. Baik karena tidak produktif, terserang penyakit, atau lainnya. Hal ini agar petani memiliki lebih banyak opsi padi untuk mengatasi masalah pertanian yang mereka hadapi. Tercatat, hingga kini sekitar 500 varietas unggul baru sudah dilepas oleh BRIN kepada petani.
Di samping itu, BRIN juga bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mendaftarkan padi varietas lokal kepada pemerintah pusat. Tujuan BRIN akan program tiap tahun itu untuk melestarikan keanekaragaman padi nusantara. Yudhistira mengestimasikan BRIN kini memiliki sekitar 2.600 aksesi padi varietas lokal.
“Ada tarik ulur, ketika kita diminta untuk meningkatkan produktivitas, kita harus menanam varietas unggul baru. Tapi, di sisi lain juga pelestarian varietas lokal ini tetap berjalan,” simpul Yudhistira.

Produktivitas Padi Lokal
Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API), Muhammad Nuruddin mengatakan, produktivitas padi varietas lokal memang tak setinggi padi varietas unggul atau hibrida. Meski begitu, masih banyak anggota API yang menanam padi varietas lokal untuk dipasarkan. Sebarannya pun hampir merata di seluruh provinsi.
Dia merincikan, beberapa padi varietas lokal yang sering ditanam anggota API, meliputi Mentik Wangi, Mentik Susu, dan beberapa jenis beras merah serta beras hitam lokal. Petani di Indonesia Timur juga masih menanam padi lokal seperti padi bulu meski jumlahnya tak mencukupi kebutuhan penduduk setempat.
Menurut pengamatan Nuruddin, salah satu alasan petani menanam padi lokal adalah adanya kenaikan permintaan dalam 10 tahun terakhir. Kenaikan permintaan ini datang dari kelompok masyarakat yang ingin bahan pangan lebih sehat. Umumnya, mereka adalah kelas menengah yang sadar akan kesehatan, pengidap penyakit katastropik, atau rumah sakit.
Bukan tanpa alasan, berbagai beras varietas lokal memang dikenal lebih bernutrisi, terutama beras merah dan beras hitam. Padi lokal juga erat kaitannya dengan pertanian berkelanjutan yang minim penggunaan pupuk kimia. Rasanya pun dikenal enak, wangi, dan pulen.
“Banyak outlet-outlet di kota-kota besar sudah menampung, menjadi rantai pasok varietas lokal,” ujar Nuruddin kepada Validnews, Jumat (1/8).
Tak hanya itu, beras varietas lokal juga punya harga jual lebih tinggi. Bahkan, banyak pihak memasarkan beras lokal ke kalangan menengah atas. Ini menjadi keuntungan petani meskipun produksi tak setinggi varietas lain.
Nuruddin menambahkan, dedak dan menir dari padi varietas lokal juga lebih mahal dibandingkan varietas unggul atau hibrida. Di tingkat penggilingan, dedak dan menir padi varietas lokal bisa dihargai Rp1.000 lebih tinggi dari varietas lainnya.
Meski dihargai tinggi, dia tak menyarankan pemerintah untuk mendorong produksi padi varietas lokal. Sebab, beras yang kini paling banyak dikonsumsi adalah beras medium dari varietas hibrida. Jika petani beralih menanam padi varietas lokal, harga beras akan melonjak dan sulit dijangkau banyak masyarakat.
“Masa impor? Ya enggaklah! Dilemanya di situ. Jadi, diseimbangkan,” tambah Nuruddin.
Varietas Lokal Hilang
Padi varietas lokal memang masih diminati masyarakat dan berharga tinggi. Namun, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori mengatakan, hal itu hanya salah satu dari sedikit keunggulan padi varietas lokal.
Di luar itu, dia justru merasa padi varietas lokal terancam punah. Pasalnya, sudah tidak banyak padi varietas lokal yang dibudidayakan warga. Hal itu salah satunya tercermin dalam studi tahun 2013 yang menyatakan padi lokal Kamba asal Sulawesi Selatan terancam punah.
Penulis buku Ironi Negeri Beras itu menguraikan, ada tiga hal yang menyebabkan padi varietas lokal terancam punah. Pertama, rata-rata varietas lokal memiliki usia yang jauh lebih panjang ketimbang tempat lain. Kedua, produktivitas terbilang sedikit jika dihitung dari produktivitas per satuan waktu dan luas area tanam.
Ketiga, masalah lain datang dari lembaga riset negara yang dia nilai belum berperan banyak. Pasalnya, setelah berbagai lembaga riset dilebur menjadi BRIN, ada keterputusan riset terkait varietas padi lokal.
Selain itu, Khudori mengaku, merawat varietas lokal agar secara genetik tidak turun kualitasnya sulit dilakukan. Meskipun petani ada yang punya kemampuan menyilangkan benih dan merawat genetick, jumlahnya terbatas. Petani ini juga bisa punah jika tidak ada regenerasi.
Oleh karena itu, Khudori menilai negara harus bertindak sebagai penyelamat melalui lembaga riset yang ada. Sekalipun ada petani-petani yang mempertahankan padi varietas lokal sebagai warisan, tentunya mereka memiliki keterbatasan.
“Varietas dan plasma nutfah adalah kekayaan yang tak ternilai. Kalau punah kita kehilangan harta berharga,” pesan Khudori kepada Validnews, Jumat (1/8).