06 Desember 2023
19:17 WIB
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Sejumlah organisasi kesehatan Indonesia mendesak pengendalian tembakau melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam RPP itu, pengendalian tembakau masuk ke dalam bagian Pengamanan Zat Adiktif.
Salah satu perwakilan organisasi yang juga Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, produk tembakau atau rokok berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat di seluruh kelompok usia.
Pada anak, kecanduan merokok tidak hanya berdampak pada pernapasan. Akan tetapi, juga menurunkan konsentrasi belajar yang mengganggu prestasi akademik.
"Mirisnya, makin lama perokok usia muda itu makin banyak," ujar Piprim dalam konferensi pers yang diadakan di Gedung IDAI, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Rabu (6/12).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2% pada 2013, menjadi 8,8% pada 2016, dan 9,1% pada 2018. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan angka ini turun ke 8,7% pada 2024.
Rusak Pembuluh Darah
Wakil Sekjen III Perkumpulan Kardiologi Indonesia (PERKI), Ario Soeryo Kuncoro menjelaskan, zat aktif yang terkandung dalam rokok mengakibatkan kerusakan pembuluh darah, dan ini berhubungan dengan berbagai penyakit kronis tidak menular, misalnya hipertensi, jantung, dan diabetes melitus.
Kerusakan pembuluh darah pun berpotensi terjadi lebih cepat bila paparan pada rokok terjadi lebih awal. Hal ini disinyalir berkaitan dengan meningkatnya angka serangan jantung pada kelompok usia di bawah 40 tahun bahkan 35 tahun.
Menurut data yang dia dapat dari pusat kesehatan di seluruh Indonesia pada 2018, penderita serangan jantung di bawah usia 40 tahun mencapai 4%.
"Ini hal yang tidak bisa dianggap remeh dan jelas akan mengurangi produktivitas dari masyarakat yang terkena dan sekitarnya juga. Akhirnya, menimbulkan beban ekonomi yang tidak kecil," papar Ario.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Sally Aman Nasution menyampaikan, rokok mengandung zat berbahaya yang merusak endotel. Ini adalah sel yang melapisi seluruh sistem organ.
Artinya, kandungan dalam rokok merusak tubuh secara menyeluruh. Dampaknya mencakup gangguan pada pencernaan, sistem imunitas, mulut, mata, dan lainnya.
"Hal yang tadi istilah kasarnya nggak langsung bikin meninggal, tapi jangka panjang. Jangka panjang ini yang diganggu adalah quality of life," ujar Sally.
Pengendalian Dari Hulu
Perwakilan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Annisa Dian menambahkan, pengendalian tembakau perlu dilakukan dari hulu. Namun, pengendalian tembakau melalui RPP Kesehatan justru mendapat penolakan dari instansi pemerintah yang mungkin mencerminkan suara industri.
Dia menyebutkan RPP Kesehatan juga perlu mengatur rokok elektronik yang sama berbahaya dengan rokok konvensional. Berdasarkan penelitian PDPI dan RSUP Persahabatan, kadar nikotin dalam urin perokok elektronik nilainya hampir setara dengan lima batang rokok konvensional.
Sementara itu, data Global Adult Tobacco Survey (GATS) menyebut, jumlah perokok elektronik pada 2021 mencapai 3%. Angka ini naik dari sepuluh kali lipat dari tahun 2011 yang hanya 0,3%.
Pada kesempatan yang sama, sebanyak 15 organisasi mendeklarasikan dukungan untuk pembuatan aturan pengendalian tembakau yang kuat. Beberapa organisasi itu adalah IDAI, PERKI, PAPDI, PDPI, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Wicara Esofagus (PWE), hingga Yayasan Kanker Indonesia.