15 November 2025
10:52 WIB
"No Viral, No Justice" Tak Berlaku di MK
"No Viral, No Justice" tak bisa diterapkan pada kasus abstrak yang menjadi kewenangan MK.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra berbicara dalam diskusi konstitusi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bantul, D.I Yogyakarta, Jumat (14/11/2025). ANTARA/HO-UMY.
YOGYAKARTA - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra menegaskan, ungkapan "no viral, no justice", tidak berlaku dalam pengujian undang-undang di lembaga tinggi itu.
Saldi menyatakan, konsep keadilan yang bergantung pada viralitas mungkin relevan untuk kasus-kasus konkret, namun tidak bisa diterapkan pada kasus abstrak yang menjadi kewenangan MK.
"Kalau kata orang-orang, 'no viral no justice'. Jadi kalau tidak di-viral-kan dulu, tidak adil. Nah, dalam konteks kasus yang abstrak, itu tidak bisa," ujar Saldi dalam diskusi konstitusi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bantul, DI Yogyakarta, Jumat (15/11) dikutip dari Antara.
Dia mencontohkan, sejumlah kasus yang pernah menyita perhatian publik, seperti kasus Nenek Minah serta kasus seorang guru di Sulawesi yang dipecat karena meminta bantuan orang tua murid untuk menggaji guru honorer.
Menurut dia, kasus konkret semacam itu memang memiliki keterkaitan kuat dengan opini publik, sementara pengujian norma di MK tidak bersandar pada persepsi viral.
"Seberapa jauh opini publik memengaruhi hakim, saya belum menemukan buktinya," ujar dia.
Saldi mengakui isu intervensi terhadap hakim tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang sama sekali tidak mungkin. Dengan kewenangan besar yang melekat pada MK, ia menilai wajar bila ada pihak-pihak yang mencoba memengaruhi putusan.
"Pendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh diintervensi itu terlalu ideal. Wajar saja orang berupaya mengintervensi atau memengaruhi MK, dengan kewenangan sebesar itu," kata dia.
Karena itu, menurut Saldi, tantangan terbesar justru terletak pada kemampuan menemukan hakim yang memiliki ketahanan integritas sehingga tidak goyah oleh tekanan politik maupun sosial.
"Yang harus kita siapkan adalah bagaimana menemukan hakim yang bisa tahan terhadap intervensi itu," ujar Saldi.
Selain integritas personal hakim, Saldi menekankan pentingnya proses seleksi sebagai pintu masuk terpenting untuk menghasilkan hakim yang independen.
Ia pun membandingkan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS), yang menurutnya justru lebih sarat kepentingan politik dalam pengisian jabatan di Mahkamah Agung (MA).
Ia menyinggung kasus pelanggaran etik oleh Hakim Clarence Thomas dan fakta bahwa Mahkamah Agung AS baru mengesahkan court of ethics pada 2023 tanpa diikuti mekanisme penegakan.
Sebaliknya, ia menegaskan bahwa MK telah memiliki mekanisme etik yang berjalan dan dapat menindak pelanggaran.
"Kita sudah pernah memberhentikan Pak Akil Mochtar, pernah juga memberhentikan Pak Patrialis Akbar karena melanggar etik. Artinya, sistem bekerja," tegas dia.