21 Mei 2024
16:51 WIB
Nadiem Janji Setop Kenaikan UKT Yang Tak Rasional
Mendikbudristek Nadiem Makarim memastikan pihaknya akan segera mengevaluasi, mengecek, hingga melakukan assessment terhadap kenaikan UKT yang tidak wajar, hingga kenaikannya akan diberhentikan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim memasuki ruangan sebelum rapat kerja bersama Komisi X DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (9/6/2023). Antara Foto/Aditya Pradana Putra
JAKARTA - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim berjanji, akan menghentikan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak rasional di perguruan tinggi. Pernyataan Nadiem tersebut merespons isu yang sedang beredar di masyarakat terkait biaya UKT yang melonjak tinggi, hingga menyebabkan adanya demo mahasiswa di berbagai daerah.
“Saya berkomitmen beserta Kemendikbudristek memastikan, karena tentunya ada rekomendasi dari kami, untuk memastikan lompatan-lompatan (UKT) yang tidak rasional itu akan kami berhentikan,” katanya dalam Raker bersama Komisi X DPR RI di Jakarta, Selasa (21/5)
Nadiem mengingatkan kepada perguruan tinggi negeri (PTN), apabila terdapat kenaikan biaya UKT yang bahkan untuk mahasiswa dengan tingkat ekonomi lebih tinggi, harus tetap rasional dan masuk akal. Dia mengaku mendengar banyak desas-desus mengenai lompatan biaya UKT yang cukup fantastis terhadap UKT di atas golongan kedua di beberapa PTN.
Nadiem pun memastikan pihaknya akan segera mengevaluasi, mengecek, hingga melakukan assessment terhadap kenaikan UKT yang tidak wajar, hingga kenaikannya akan diberhentikan.
“Saya ingin meminta semua ketua perguruan tinggi dan program studi untuk memastikan kalau pun ada peningkatan harus rasional, masuk akal, dan tidak terburu-buru apalagi melakukan lompatan (UKT) yang besar,” tuturnya.
Lompatan Biaya
Sebelumnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie mengatakan terdapat penambahan kelompok UKT di beberapa PTN. Terutama untuk memberikan fasilitas pada mahasiswa dari keluarga yang mampu.
Permasalahan terjadi karena kampus memberikan lompatan biaya UKT sangat besar yang biasanya terjadi mulai dari UKT golongan empat ke golongan lima dan seterusnya, dengan besaran rata-rata lima sampai 10%. Hal ini pun menjadi polemik bagi mahasiswa.
Dalam hal ini, Nadiem mengatakan peraturan UKT baru tersebut hanya berlaku bagi mahasiswa baru tahun ajaran mendatang. Tidak berlaku untuk mahasiswa yang sudah belajar di perguruan tinggi.
Selain itu, peraturan itu juga tidak akan diterapkan terhadap mahasiswa baru dengan kemampuan ekonomi belum memadai, karena mereka akan masuk UKT golongan satu dan dua dengan besaran yang telah ditetapkan pemerintah.
“Ini hanya berlaku untuk mahasiswa baru dan tidak akan berdampak besar bahkan sama sekali pada mahasiswa dengan tingkat ekonomi belum memadai. Dalam UKT ada tangganya dan tangga terendah yaitu satu dan dua tidak akan berubah,” kata Nadiem.

Multitafsir
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo meminta Kemendikbudristek memastikan Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024, tidak dipahami secara berbeda-beda atau multi-tafsir oleh perguruan tinggi negeri.
"Saya kira perlu ditelusuri lagi, jangan menimbulkan multi-interpretasi yang kemudian menyebabkan perguruan tinggi negeri mengatakan (tindakannya) tidak salah karena Permendikbudnya memberi ruang untuk ini," ujar Andreas.
Dia mengatakan, apabila masih terdapat multi-tafsir atau multi-interpretasi dari perguruan tinggi terhadap Permendikbud tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) itu, mereka bisa saja menghadirkan kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak rasional atau masuk akal bagi mahasiswa baru.
Andreas juga mengimbau Kemendikbudristek agar mengatur sanksi bagi PTN yang tidak menjalankan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang SSBOPT PTN.
"Kalau seandainya perguruan tinggi itu tidak melakukan apa yang diatur Permendikbud ini, apa punishment-nya buat mereka? Sehingga dengan demikian mereka harus melakukan," katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Nuroji menilai pernyataan mengenai pendidikan tinggi atau kuliah sebagai kebutuhan tersier perlu dikoreksi agar tidak salah dipahami oleh masyarakat Indonesia.
"Ini saya rasa perlu dikoreksi," kata Nuroji.
Hal itu dia sampaikan untuk merespons pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie yang mengklasifikasi perguruan tinggi sebagai kebutuhan tersier, sehingga hanya merupakan pilihan. Nuroji menyayangkan pernyataan tersebut justru disampaikan oleh pejabat dari Kemendikbudristek.
Lebih lanjut, Nuroji menyampaikan, UUD 1945 wajib memberikan pendidikan kepada setiap warganegara. Pasal 28 ayat C UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Bukan Wajib Belajar
Seperti diketahui, Sesditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie mengatakan perguruan tinggi masuk klasifikasi sebagai pendidikan tersier. "Pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar," kata Tjitjik dalam acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri di Kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Rabu (15/5).
Dia menyebutkan perguruan tinggi tidak seperti program wajib belajar 12 tahun yang mencakup SD, SMP, dan SMA, sebab merupakan pilihan.
"Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK, itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib," tandasnya.
Karena polemik-polemik yang mencuat di masyarakat, Komisi X DPR RI lalu menindaklanjuti permasalahan itu dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan untuk mengetahui penyebab kenaikan uang kuliah tunggal pada beberapa waktu belakangan ini.
"Kami DPR juga dalam dua hari kemarin sudah langsung memutuskan bikin Panja Pembiayaan Pendidikan. Kita ingin tahu kenapa naik, kenapa harus naik signifikan dalam waktu yang tiba-tiba," kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi.
Ke depannya, kata Dede melanjutkan, Panja Pembiayaan Pendidikan diperkirakan membutuhkan waktu kerja selama 3–4 bulan untuk mengetahui penyebab kenaikan UKT itu. Dede pun menyampaikan bahwa panja tersebut akan memanggil sejumlah pihak untuk menggali akar masalah kenaikan UKT itu.
Menurutnya, upaya itu bernilai penting agar Komisi X DPR bisa memperoleh rekomendasi yang tepat untuk selanjutnya disampaikan kepada pemerintah, dalam Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Masukan Dan Kritik
Nadiem sendiri, mengapresiasi segala masukan dan kritik dari beragam pihak, terutama mahasiswa di Tanah Air terkait dengan persoalan uang kuliah tunggal (UKT) yang mengalami kenaikan.
"Saya ingin mengucapkan pertama apresiasi sebesar-besarnya atas semua masukan dan kritik dari semua pihak, terutama mahasiswa yang mempunyai kepedulian tinggi kepada mahasiswa yang existing maupun mahasiswa baru," kata Nadiem.
Dia pun mengaku salut atas perhatian besar dari beragam pihak terkait persoalan UKT itu. Berikutnya, dia juga mengapresiasi perguruan tinggi yang responsif pada kebutuhan mahasiswa, terutama mahasiswa dari keluarga yang tergolong tidak mampu secara ekonomi.
"Kami juga mengapresiasi perguruan tinggi yang responsif pada kebutuhan mahasiswa, terutama dari keluarga-keluarga yang tidak mampu," tuturnya.
Terakhir, ucapan terima kasih juga disampaikan Nadiem kepada Komisi X DPR RI yang telah menampung aspirasi beragam pihak, lalu memberikan kesempatan kepada Kemendikbudristek memberikan penjelasan.
"Jadi, terima kasih sekali lagi Komisi X sudah menampung aspirasi dan memberikan kami kesempatan untuk menjelaskan sehingga tidak ada mispersepsi mengenai kebijakan ini," ucap Nadiem.