c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

NASIONAL

21 Mei 2021

19:59 WIB

Musim Gersang Porter Tenabang

Di masa pandemi, penghasilan porter makin tak menentu. Di satu hari bisa mengantongi ratusan ribu, di hari lain bisa sama sekali tak mendapat penghasilan

Penulis: Seruni Rara Jingga

Editor: Nofanolo Zagoto

Musim Gersang Porter Tenabang
Musim Gersang Porter Tenabang
Porter mengangkut barang-barang di pusat perbelanjaan Tanah Abang, Jakarta, beberapa waktu lalu. ANTARAFOTO/Vitalis Yogi Trisna

JAKARTA – Sudah hampir sejam Beni (38) berjaga di sekitar pintu keluar Blok B Pasar Tanah Abang, Jakarta. Perhatiannya selalu terpusat pada pengunjung yang membawa barang banyak. Jika si pengunjung tampak kerepotan, Beni dengan sigap menawarkan tenaganya.

Sayangnya, keramaian pengunjung Pasar Tenabang pada hari itu tak banyak berpengaruh buat Beni. Meski hari sudah siang, pelanggan yang didapatnya baru satu dua orang saja.

Beni maklum. Saat itu sudah H-4 Lebaran. Mayoritas pengunjung Tanah Abang hanya berbelanja untuk keperluan pribadinya saja. Sementara, para pembeli partai besar sudah jarang terlihat di pasar.

"Hari ini lagi sepi. Soalnya kalau sudah dekat Lebaran gini, mereka (pembeli partai besar) sudah libur, enggak jualan dulu sementara di daerahnya," jelas Beni, kuli panggul atau lebih dikenal sebagai porter alias pramuantar saat ditemui Validnews, Minggu (9/5).

Namun, sekalipun pendapatannya hanya sedikit hari ini, Beni tetap coba bersyukur. Terlebih yang didapatnya hari ini masih jauh lebih baik ketimbang masa awal pandemi covid-19.

Kala itu, dirasanya menjadi masa yang benar-benar sulit buat para porter. Pengunjung Pasar Tanah Abang sangat sepi karena ketatnya aturan pembatasan. Beberapa area toko juga sering ditutup begitu ada yang terindikasi positif covid-19.

Beni sendiri mengaku sempat mau menyerah, setelah delapan tahun lamanya menggeluti pekerjaan ini. Dia terpaksa pulang kampung ke Lebak, Banten untuk sementara waktu.

Baru setelah pedagang di Tanah Abang menerima vaksin, jumlah pengunjung berangsur-angsur naik. Beni yang menganggur beberapa bulan akhirnya tergerak kembali ke Tanah Abang.

"Sekarang alhamdulillah sudah lumayan (pendapatannya). Enggak seperti dulu awal-awal ada corona. Buat makan saja dulu susah," ujarnya.

Hasil Tak Menentu
Pendapatan Beni sekarang memang belum sebanding dengan pendapatan harian sebelum pandemi mendera. Dulu, Beni bisa mendapat penghasilan mencapai Rp500 ribu per harinya. Kalau sekarang rata-rata Rp200–400 ribu.

"Sebenarnya tergantung rezekinya ya. Kadang pernah enggak dapat juga," cetusnya.

Beni sendiri tidak memasang tarif. Penyewa jasanya membayar tenaga dia seikhlasnya. Semakin berat dan jauh jarak barang yang diangkut, maka bisa makin besar pula bayarannya.

"Tergantung dianya mau kasih berapa. Kalau angkut barang ada yang kasih Rp50 ribu. Kadang ada yang ngasih cuma Rp5 ribu kalau barangnya sedikit," ujarnya.

Rata-rata porter, termasuk Beni, memang memiliki toko langganan. Pemilik kios biasanya akan menghubungi sang porter ‘langganan’ jika membutuhkan bantuan angkut barang.

Jadi, Beni tinggal menuju toko untuk mengangkut barang ke tempat yang dituju. Dia biasanya mengantar sampai ke tempat parkiran, area tempat jasa kendaraan online, atau tempat ekspedisi.


Porter di Blok B Pusat Perbelanjaan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Validnews/Seruni Rara Jingga  

Beni mengaku sudah terbiasa memanggul barang dengan berat 70–80 kilogram. Akan tetapi, kalau ukurannya besar dan beratnya mencapai satu kuintal, Beni mau tak mau membawanya dengan troli yang dipinjamnya dari toko.

"Enggak pegal. Kan udah biasa," ucap Beni.

Terbiasanya Beni mengangkut barang berat dan menghafal lokasi, sejatinya tak didapatnya begitu saja. Beni perlu beradaptasi kira-kira enam bulan lamanya pada ‘awal karier’ untuk menjalani dengan andal profesinya.

"Setengah tahun itu (adaptasi). Soalnya susah juga cari alamat ke ekspedisi karena belum tahu. Sekarang alhamdulillah sudah tahu," cetusnya.

Kalau Beni sudah terbiasa bekerja sebagai porter, beda halnya dengan Reza Pahlevi (41). Porter di area Blok B Pasar Tanah Abang ini bisa dibilang newbie. Ia baru bergelut selama satu bulan dalam urusan angkat mengangkat barang.

Reza pun masih harus membiasakan diri mengatur penghasilan yang menentu. Terkadang dalam satu hari, ia bisa mendapatkan uang Rp200 ribu. Akan tetapi, pernah juga pada hari berikutnya, ia tidak mendapat apa-apa.

"Enggak tentu sih kalau porter. Kadang ramai, kadang sepi," serunya.

Namun, sama seperti Beni, ia mengaku tetap bersyukur dengan rezeki yang didapatnya sebagai porter. Sedikit beruntung, istrinya juga membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan bekerja sebagai asisten rumah tangga. Jika digabung, pendapatan keduanya dinilainya masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berdua dan ketiga orang anaknya.

"Alhamdulillah, cukup buat makan. Istri juga kerja jadi pembantu, jadi bisa bayar buat kontrakan, listrik, jajan anak," katanya.

Reza juga sudah mulai memahami, para pembeli partai besar lebih ramai datang pada hari Senin dan Kamis, saat Pasar Tasik di Jalan Cideng Timur Raya dibuka. Perlu dicatat, barang-barang yang dijual di Pasar Tasik terbilang lebih murah dibanding Tanah Abang sehingga banyak menarik pengunjung untuk berbelanja.

Umumnya pembeli di Pasar Tasik adalah para pedagang yang menjual kembali di daerahnya masing-masing. Nah, Reza biasanya akan fokus cari penghasilan di pasar itu pada Senin dan Kamis. Ia mengaku bersemangat untuk menjemput rezeki pada kedua hari tersebut.

Asal tahu saja, menurut penuturan Reza, bekerja sebagai porter tak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Ia harus terbiasa dengan keinginan para pelanggan yang beragam. Pernah dirinya kena semprot pelanggan, karena barang antaran ditinggal begitu saja bersama sopir yang akan mengantar barang. Ia pergi tanpa menunggu pemiliknya datang.

"Jadi barangnya saya tinggal sama sopirnya. Barangnya memang banyak. Saya terus dimarah-marahin. Padahal tokonya (tempat dia beli barang) sudah kenal sama sopirnya," kenangnya.

Bayar Seragam
Reza bercerita, ia sebelumnya bekerja sebagai petugas cleaning service di perkantoran. Namun, ia terpaksa harus kehilangan pekerjaan karena kantor tempatnya bekerja terdampak pandemi covid-19. Sempat ia bekerja selama beberapa bulan sebagai pegawai toko, tapi lagi-lagi harus berhenti karena kontrak berakhir.

Karena merasa kasihan dengan Reza, majikan di tokonya menawarkan bantuan. Reza dipersilakan datang kepadanya apabila membutuhkan dana untuk mendapat pekerjaan baru.

"Waktu itu ada kenalan yang nawarin kerja jadi porter. Tapi buat masuk sana awalnya harus menyetor Rp300 ribu ke mandor buat beli seragam dan lain-lain. Majikan di toko saya yang bantu buat bayar itu," bebernya.

Reza menuturkan, porter-porter yang memakai seragam biasanya bekerja di bawah naungan mandor. Di Blok B sendiri, ada satu mandor beserta satu wakilnya yang membawahi porter-porter yang bekerja di blok tersebut. Mereka biasanya berkeliling di sekitar Blok B untuk mengawasi kalau-kalau terjadi masalah pada porternya.

Selain membayar uang masuk, para porter juga harus menyetor uang sebesar Rp15 ribu setiap minggunya kepada mandor.

Jika Beni dan Reza cukup beruntung karena memiliki toko langganan yang biasa menghubungi mereka ketika jasanya diperlukan, nasib yang sama tak dialami Parwoto (38). Porter di Blok A Tanah Abang ini cuma mengandalkan pengunjung yang lalu lalang di sekitar pasar. Jika ingin mendapatkan uang, Parwoto harus lebih aktif menawarkan jasa angkut barang.

"Saya enggak punya langganan. Biasanya tiap toko kan udah punya masih-masing (porternya) tuh," katanya yang sudah bekerja selama sembilan tahun itu.

Makanya, hari-hari mendekati Lebaran justru membuatnya sulit mendapat pemasukan lebih. Sebabnya, dia lebih mengandalkan pembeli yang membawa barang dengan jumlah besar untuk dijual kembali. Hari itu pun, Parwoto mengaku belum mendapat sama sekali pengunjung yang menyewa jasanya.

"Penghasilan jadi porter tuh enggak menentu. Ya harus dicukup-cukupin. Saya juga (hidup) sendiri," katanya.

Ya, pengunjung Pasar Tanah Abang memang berangsur-angsur ramai, namun jumlahnya masih jauh dibanding sebelum pandemi covid-19. Mereka bukan pemalas yang hanya berharap uluran tangan pemerintah atau para dermawan. Mereka siap berpeluh untuk menghidupi dirinya dan keluarga.

Baik Parwoto, Beni, Reza dan ratusan porter lainnya pun hanya bisa berharap, pandemi covid-19 cepat berlalu, agar aktivitas keramaian di pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara itu kembali normal.

"Harapannya moga-moga pandemi cepat berlalu, biar ramai lagi pengunjung yang datang," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar