31 Mei 2024
10:43 WIB
MUI: Ternak Yang Diberi Pakan Darah Babi Tidak Bisa Disertifikasi Halal
Perkembangan teknologi pakan, memunculkan pakan ternak dengan darah babi untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan ternak. MUI menyebutkan produk pakan ternak tersebut hukumnya najis dan haram
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh dalam kegiatan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII, di Provinsi Bangka Belitung, Rabu (29/5/2024). dok.MUI
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII telah menetapkan, hewan ternak yang diberi pakan campuran darah babi tidak boleh disertifikasi halal.
"Hewan ternak yang diberikan pakan dengan produk pakan ternak yang dicampur dengan darah babi tidak dapat disertifikasi halal," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh dalam keterangan di Jakarta, Jumat (31/5).
Niam mengatakan, hal tersebut merupakan implementasi dari masalah pemanfaatan babi dan turunannya untuk bahan produk halal, di mana MUI sudah memfatwakan, hal tersebut haram. Jadi, produk pakan ternak yang dicampur dengan darah babi hukumnya juga najis dan haram untuk diperjualbelikan.
Sebagai informasi, perkembangan ilmu dan teknologi di bidang pakan ternak membuat beberapa kalangan memanfaatkan bahan dari babi untuk pakan ternak. Salah satunya guna memacu pertumbuhan dan perkembangan ternak yang dikelola.
Contohnya, terdapat pemanfaatan darah babi menjadi tepung darah, atau tulang babi sebagai tepung tulang yang kemudian dicampur dengan pakan ternak, guna memperkaya kandungan gizi pakan ternak untuk sapi, kambing, atau ayam.
Acara Ijtima Ulama diikuti oleh 654 peserta dari unsur pimpinan lembaga fatwa Ormas Islam Tingkat Pusat, pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, pimpinan pesantren tinggi ilmu-ilmu fikih dan pimpinan fakultas syariah perguruan tinggi keislaman. Termasuk perwakilan lembaga fatwa negara ASEAN dan Timur Tengah, seperti Malaysia dan Qatar, individu cendekiawan muslim dan ahli Hukum Islam, serta para peneliti sebagai peninjau.
Penerapan Toleransi
Dalam kesempatan yang sama, MUI juga mendorong kebiasaan toleransi beragama untuk dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia, selama tidak berkaitan dengan hal yang bersifat akidah.
"Toleransi umat beragama harus dilakukan selama tidak masuk ke dalam ranah akidah, ibadah ritual, dan upacara-upacara keagamaan," kata Asrorun Niam Sholeh.
Niam menjelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan akidah. Di antaranya seperti mengucapkan selamat hari raya agama lain, menggunakan atribut hari raya agama lain, memaksakan untuk mengucapkan, melakukan perayaan agama lain, serta tindakan yang tidak bisa diterima oleh umat beragama secara umum.
Beberapa tindakan tersebut, menurut dia, merupakan tindakan yang bersifat sinkretisme atau mencampuradukkan ajaran agama. Meski demikian, dia menyatakan setiap umat Islam harus menjalankan toleransi dengan memberikan kesempatan kepada umat agama lain yang sedang merayakan ritual ibadah dan perayaan hari besar mereka, baik secara akidah maupun muamalah.
"Dalam hal akidah, memberikan kebebasan kepada umat agama lain untuk melaksanakan ibadah hari raya sesuai keyakinannya dan tidak menghalangi pelaksanaannya," ujarnya.
Adapun secara muamalah, kata Niam, umat Islam harus bekerja sama secara harmonis serta bekerja sama dalam hal urusan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara terhadap umat agama lainnya.
Menurut dia, Islam menghormati pemeluk agama lain dan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya dengan prinsip toleransi, dan tuntunan Al-Qur'an pada ayat lakum dinukum wa liyadin (untukmu agamamu dan untukku agamaku), tanpa menerapkan sinkretisme.
"Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara harmonis, rukun, dan damai," tuturnya
Peserta Ijtima Ulama dari organisasi Rabithah Alawiyyah Jakarta, Fahmi Assegaf, mengatakan, Ijtima Ulama Komisi Fatwa VIII Tahun 2024 yang dihadiri 654 peserta dari berbagai daerah di Indonesia, adalah bukti keberhasilan sinergi dan integrasi antara MUI dengan pemerintah daerah setempat serta masyarakat.
"Ini menjadi satu poin atau hikmah pelajaran kami yang ada di Rabithah Alawiyyah, walaupun memang dalam perjalanan sidang komisi ada beberapa catatan, namun tidak mengurangi dari nilai kesempurnaan kegiatan Ijtima Ulama," jelas dia.
Catatan dalam sidang Ijtima salah satunya kata dia, bagaimana cara menanggapi masyarakat yang tidak harus dijawab saat itu juga, jika memang permasalahan masyarakat tersebut perlu pembahasan lebih dalam.
"Terkait dengan fatwa, dalam menjawab segala persoalan masyarakat memerlukan kajian mendalam, jangan sampai kita gegabah memberikan solusi kepada masyarakat. Karena perlu diketahui, fatwa yang dikeluarkan MUI akan menjadi pedoman atau panduan masyarakat," ujar Fahmi Assegaf.
Dikenalkan Ke Dunia Internasional
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI)Pusat, DR H Amirsyah Tambunan mengatakan, fatwa MUI hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VIII Tahun 2024, perlu dikenalkan ke dunia internasional. Ungkapan itu disampaikan saat menutup kegiatan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VIII Tahun 2024 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Islamic Center Sungailiat Bangka, sejak 28-30 Mei 2024.
"Kita harus mengenalkan atau mensosialisasikan fatwa hasil Ijtima ke dunia internasional seperti, Maroko, Spanyol, Doha dan Qatar," ajaknya.
Negara-negara itu kata dia, sangat menginginkan fatwa-fatwa MUI yang Wasathiyah atau sikap yang adil. Dia mengatakan, mulai saat ini fatwa MUI hasil Ijtima Ulama ke VIII yang mencapai lebih dari 100 fatwa, harus mulai go international sebab selama ini kurang dikenalkan negara di dunia termasuk negara-negara di Timur Tengah.
"Fatwa mengenai ekonomi dan keuangan syariah juga perlu dikenalkan di negara-negara itu," jelasnya.