01 November 2024
14:37 WIB
MK Perintahkan UU Ketenagakerjaan Terpisah Dari UU Cipta Kerja
UU Ketenagakerjaan terpisah dari UU Cipta Kerja karena sulit dipahami awam.
Hakim Konstitusi. AntaraFoto/Dhemas Reviyanto.
JAKARTA - Mahkamah Kosntitusi (MK) meminta pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru. Juga memisahkan atau mengeluarkan pengaturan tentang tenaga kerja dari UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Demikian pertimbangan hukum MK yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat sidang putusan uji materi UU 6 Tahun 2023 di Jakarta, Kamis (31/10).
“Karena MK menilai adanya kemungkinan perhimpitan norma antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja,” terang Enny dikutip dari laman MK.
Terutama, lanjut dia, terkait norma di UU Ketenagakerjaan yang diubah, sulit dipahami secara awam. Termasuk, sulit dipahami oleh pekerja/buruh.
Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan/diakhiri, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok. Lalu, terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.
“Dengan undang-undang baru tersebut, masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi/substansi UU Ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan,” sambung Eny.
Selain itu, sejumlah materi/substansi peraturan perundang-undangan yang secara hierarki di bawah undang-undang, termasuk dalam sejumlah peraturan pemerintah, dimasukkan sebagai materi dalam undang-undang ketenagakerjaan,” ucap Enny.
Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
Dalam perkara ini, MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian dari permohonan para pemohon.
Dalam putusan tersebut, MK membagi pertimbangan hukum ke dalam enam klaster dalil permohonan, yakni, dalil penggunaan tenaga kerja asing; dalil perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Kemudian, dalil mengenai pekerja alih daya (outsourcing); dalil mengenai upah. Lalu, dalil mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK); serta dalil mengenai uang pesangon (UP), uang penggantian hak (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK).