c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

03 Juli 2025

14:21 WIB

MK Hapus Larangan Pemantau Pemilu Lakukan Kegiatan Lain 

Ketentuan larangan bagi pemantau pemilu dalam UU Pilkada bersifat multitafsir dan rawan kriminalisasi.

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>MK Hapus Larangan Pemantau Pemilu Lakukan Kegiatan Lain&nbsp;</p>
<p>MK Hapus Larangan Pemantau Pemilu Lakukan Kegiatan Lain&nbsp;</p>
Sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (24/6/2025). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan dari pihak DPR dan Presiden. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nz.


JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus larangan pemantau pemilu melakukan kegiatan lain selain yang berkaitan dengan pemantauan pemilihan. Larangan itu tercantum dalam Pasal 128 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

MK menyatakan pasal tersebut mengandung norma yang multitafsir yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. 

"Menyatakan Pasal 128 huruf k UU 1 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (3/7).

Pemohon dalam perkara Nomor 91/PUU-XXIII/2025 ini adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) Kalimantan Selatan Syarifah Hayana. Ia mempersoalkan konstitusionalitas frasa "kegiatan lain" dalam Pasal 128 huruf k UU Pilkada.

Pasal tersebut tertulis, "Lembaga pemantau pemilihan dilarang: melakukan kegiatan lain selain yang berkaitan dengan pemantauan pemilihan."

Menurut MK, frasa "kegiatan lain" dalam norma pasal diuji merupakan bentuk frasa terbuka (open-ended clause) yang tidak mendefinisikan secara tegas apa saja yang termasuk ataupun dikecualikan.

Akibatnya, frasa tersebut memberikan keleluasaan bagi aparat penegak hukum untuk menafsirkan segala bentuk kegiatan lembaga pemantau sebagai "kegiatan lain" yang dilarang, tanpa adanya rambu-rambu hukum sebagai pembatas.

"Rumusan norma yang bersifat terbuka dan menimbulkan multitafsir semacam itu cenderung merupakan pasal 'keranjang sampah', 'mulur mungkret', atau 'pasal karet' yang memiliki dimensi hukum yang berbeda," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan hukum.

Dalam hukum pidana dan hukum administrasi yang berkonsekuensi terhadap sanksi, rumusan norma larangan seperti pada Pasal 128 huruf k UU Pilkada itu, mesti dibatasi oleh prinsip-prinsip kepastian hukum yang adil.

MK pun menilai Pasal 128 huruf k UU Pemilu berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak adanya penjelasan terhadap norma pasal dimaksud. Pada bagian penjelasan, pasal tersebut hanya dibubuhi keterangan "cukup jelas".

MK menilai, formulasi semacam itu menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin konstitusi. Padahal, keberadaan penjelasan sejatinya merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh.

"Dengan formulasi demikian, pembentuk undang-undang secara tidak langsung menyerahkan sepenuhnya tafsir atas batasan norma kepada aparat penegak hukum. Kondisi demikian tidak hanya menciptakan ruang bagi penyalahgunaan kewenangan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis," kata Arief.

MK menegaskan, lembaga pemantau dapat menjadi motor penggerak demokrasi yang sehat dalam proses pemilihan, terutama dalam hal pemilihan dengan satu pasangan calon.

Lembaga pemantau, tutur Arief, didirikan untuk melakukan pengawasan dengan mengedepankan sifat jujur dan adil. Jika hasil pemantauan mendapati adanya kekeliruan ataupun kecurangan yang memengaruhi hasil pemilihan, lembaga pemantau bisa berperan sebagai wali dari kotak kosong untuk mengajukan gugatan ke MK.

Syarifah Hayana mengajukan permohonan ini karena menilai Pasal 128 huruf k UU Pilkada menyebabkan dirinya mengalami kerugian konstitusional yang aktual. Dalam berkas permohonan disebutkan bahwa akreditasi LPRI Kalsel pada pemungutan suara ulang Pilkada Kota Banjarbaru 2024 dicabut oleh KPU Provinsi Kalsel setelah adanya publikasi berita hasil hitung cepat PSU Banjarbaru yang dilakukan internal DPD LPRI Kalsel.

Hasil penghitungan PSU Pilkada Kota Banjarbaru versi DPD LPRI Kalsel dimenangkan oleh kotak kosong dengan 54% suara. DPD LPRI Kalsel menyebut penghitungan itu untuk kepentingan internal dan salah satu bagian dari pelaksanaan tugas pemantauan.

Bawaslu Kalsel meneruskan permasalahan tersebut ke Polres Banjarbaru yang kemudian menetapkan Syarifah Hayana selaku Ketua DPD LPRI Kalsel sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana pemilu.

DPD LPRI Kalsel dinilai melanggar Pasal 128 huruf k karena "melakukan kegiatan lain selain yang berkaitan dengan pemantauan pemilihan" juncto Pasal 187D UU Pilkada.

Pada 17 Juni 2025 lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Banjarbaru memutuskan Syarifah Hayana bersalah dan divonis pidana penjara setahun dan pidana denda Rp36 juta subsider sebulan pidana kurungan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar