c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

08 Agustus 2024

21:00 WIB

Mirisnya Penjaja Cinta Berusia Belia

Prostitusi anak tak lagi terbilang jumlahnya. Memanfaatkan teknologi untuk melancarkan usahanya menjaja cinta.

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p id="isPasted">Mirisnya Penjaja Cinta Berusia Belia</p>
<p id="isPasted">Mirisnya Penjaja Cinta Berusia Belia</p>

Anak-anak korban kasus prostitusi atau eksploitasi seksual anak di bawah umur di lingkungan apartemen saat jumpa pers di Mapolres Jakarta Utara, Senin (10/2/2020). Antara Foto/Fauzi Lamboka

JAKARTA - Usia Menik, bukan nama sebenarnya, 17 tahun pada 2024. Di usia ini, Menik berencana, dua tahun lagi untuk berhenti bekerja menjajakan tubuhnya. Profesi itu sudah dia lakoni sejak usia 15 tahun.

Menik menjalani profesi itu di Jakarta. Dia mengaku tak punya pilihan lain setelah angkat kaki dari rumahnya di satu daerah di Jawa Barat. Itu dilakukan karena tak tahan jadi sarang pukulan sang ayah yang doyan mabuk. Dia perempuan kedua yang kabur dari rumahnya, setelah ibunya.

Tanpa ijazah dan keterampilan, awalnya dia mencoba melamar kerja. Menjadi penjaga toko, pelayan restoran, pelayan mini market dia jajal. Namun, syarat usia dan keterampilan memupuskan upaya Menik.

Lalu, datang saran dari teman. Satu pekerjaan tanpa syarat itu semua, selain bersolek. Yakni, melayani pria hidung belang. Menik sulit menolak.

Hal pertama yang dilakukannya adalah membuat akun Twitter palsu dan mengunggah foto seksi untuk menarik para pria. “Saya gak kerja sendiri dibantu oleh teman saya. Dia yang memposting di Twitter dan mempromosikan, dia yang mengurus slot dan booking hotel. Dia juga yang mengantar saya ke hotel dan ke tempat klien,” beber  Menik pada Validnews dalam satu perbincangan, Sabtu (3/8) di sebuah hotel di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, beberapa jam sebelum tamunya datang.

Kali pertama, per jam dia memasang tarif Rp500 ribu setiap jam. Harga itu bergerak naik, sesuai dengan pengalaman dan jumlah klien yang sudah dilayani. Kini, per jam, Menik meminta bayaran Rp1,5 juta.

Sesama pekerja seks, Anjani (20) begitu wanita berusia 20 tahun ini ingin disapa, menuturkan kenapa dia tercebur di profesi ini.

Kisahnya, bermula saat sang ayah tutup usia akibat covid-19 pada 2020. Sedangkan, ibunya tak bisa bekerja untuk kebutuhan keluarga.

“Saya lalu memutuskan berhenti sekolah dan mencari kerja melalui media sosial,” urai Anjani pada Validnews di sebuah tempat kos di Jakarta, Selasa (6/8).

Dari sebuah grup di Facebook, ada tawaran bekerja menjadi pelayan di restoran di Jakarta. Anjani tertarik karena gaji dan tambahan diberikan tempat tinggal.

Dia pun berangkat ke Jakarta dari Indramayu, Jawa Barat. Niatnya bulat sudah, meski ibunya keberatan. Karena, ini adalah satu-satunya jalan untuk mengubah nasib.

Akan tetapi, ternyata Anjani ditipu si pemberi kerja. Setibanya tiba di Jakarta, dia ditempatkan di tempat kos murah dan kumuh di daerah Jakarta Utara. Lalu, dia diminta untuk berganti pakaian dan bertemu dengan sang pemiliki restoran. 

“Ternyata saya dibawa ke salah satu hotel, awalnya saya masih bingung kok saya malah ke sini? Akhirnya saya sadar kalau sedang dijual,” urai Anjani pilu. 

Upaya dia berontak tak membuahkan hasil. Setahun dia dipaksa menjual tubuhnya. Satu kesempatan dia melarikan diri ke Bogor. Tapi, uang yang dia miliki makin menipis tanpa satu lamaran kerja pun dia dapat. 

Akhirnya, dia memutuskan menawarkan jasa seks melalui aplikasi Twitter dan juga Michat. Asalkan adik-adiknya bisa terus sekolah. “Biar jadi orang,” kata Anjani. 

Sekali transaksi, tarif yang dia pasang mulai dari Rp800 ribu/jam. Sementara untuk konten foto nudies atau telanjang sekitar Rp250 ribu perkonten. Dan, untuk VCS (video call sex) sekitar Rp100 ribu/jam.

Anjani punya keinginan berhenti. Karena khawatir terjangkit HIV/AIDS. Namun, modal untuk masa depannya belum cukup. Dia hanya bersabar hingga waktunya itu tiba.

Perjalanan Menik dan Anjani boleh jadi karena kemiskinan yang memicu anak-anak terjebak prostitusi. Meski tak semua seperti itu.

Di antaranya adalah yang dibongkar Polsek Denpasar Barat, Bali terhadap prostitusi online yang melibatkan dua pelajar berinisial DNA (16), dan NII (17). Keduanya ternyata bukan berawal dari keluarga yang bermasalah dan masih dalam kategori mampu secara ekonomi.

Banyak Pelaku
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar memaparkan data di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simponi PPA), kasus eksploitasi ekonomi dan seksual terhadap terus mengalami kenaikan. 

Pada 2019 ada 106 kasus, kemudian naik pada 2021 menjadi 276 kasus, di 2022 ada 216 kasus, di 2023 ada 260 kasus, dan hingga juni 2024 ada 106 kasus. 

Sementara itu, untuk kasus perdagangan anak yang terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) juga mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pada 2019 ada 111 kasus, kemudian pada 2020 ada 213 kasus, pada 2021 ada 406 kasus, pada 2022 ada 2019 kasus, pada 2023 ada 206 kasus, dan hingga Juni 2024 ada 65 kasus. 

Bahkan terbaru, laporan dari PPATK, menemukan ada 24.000 anak berusia 10-18 tahun, yang terlibat dalam prostitusi anak. Di mana, frekuensi transaksi yang terkait dengan tindak pidana tersebut mencapai 130.000 kali, dengan nilai perputaran uang mencapai Rp127 miliar.

“Prostitusi anak menjadi bagian dari kekerasan seksual, dan perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual,” kata Nahar, Selasa (6/8).

Dia mencatat, kenaikan kasus tiap tahun karena makin banyak yang berani melapor. 

Nahar mengurai beberapa pemicu prostitusi online. Mulai dari faktor ekonomi, kemajuan teknologi, literasi digital yang masih rendah, tidak adanya pendidikan seksual, hilangnya pengasuhan, dan faktor ikut-ikutan teman. 

Akan tetapi, dua hal utama yang paling memengaruhi adalah faktor ekonomi dan masalah dalam pengasuhan. Keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi, anak-anak akan terdorong untuk mencari cara untuk mendapatkan uang secara instan guna memenuhi kebutuhannya.  

Sementara itu, hilangnya peran pengasuhan orang tua juga memengaruhi keterlibatan anak dalam prostitusi online. 

Anak-anak yang tidak mendapatkan pengawasan dan merasa diabaikan oleh orang tua, lebih rentan terhadap eksploitasi. 

Tak hanya itu saja, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang dipenuhi konflik dan kekerasan seringkali mencari pelarian atau tempat yang menerima mereka. Akibatnya, anak-anak lebih mendengar orang-orang yang dirasa lebih memahami mereka, meskipun tidak tahu yang yang dilakukan benar atau salah.

“Salah satu upaya untuk mencegah anak terlibat prostitusi online ini adalah dengan memastikan pengasuhan dan kebutuhan anak bisa terpenuhi, serta memperkuat literasi digital anak, memberikan pendidikan seksual,” kata Nahar. 

Kementerian PPPA sendiri telah menyiapkan upaya-upaya perlindungan khusus bagi anak-anak korban yang menjadi korban maupun terlibat sebagai pelaku dalam tindak pidana prostitusi online. Pelindungan khusus itu dilakukan dengan mengedepankan empat langkah untuk anak.

Pertama melakukan penanganan cepat. Mulai dari mendampingi proses hukum, memastikan anak mendapat haknya, hingga pemulihan trauma anak korban. 

Kedua, pendampingan psikososial dan pemeriksaan kesehatan. Ketiga, memberikan dukungan terhadap upaya pemulihan melalui pemberian bantuan sosial dan dukungan yang dibutuhkan anak. Dan di langkah keempat, dilakukan pendampingan dengan mengutamakan hak anak.

Investasi Teknologi
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solehah menilai ada sejumlah tantangan bagi pemerintah mengungkap prostitusi yang melibatkan anak. Karena, kemajuan teknologi membuat modus-modus dan transaksi juga semakin canggih.

Berdasarkan aduan yang diterima KPAI, saat ini anak-anak tidak hanya bertransaksi melalui akun media sosial, seperti Twitter dan MiChat. Mereka juga mulai menggunakan e-wallet, game online, hingga belanja di e-commerce untuk melakukan transaksi.

“Berbagai cara dan modus baru ini dilakukan untuk mengelabuhi aparat penegak hukum, dan karena pihak yang terlibat adalah anak di bawah umur yang pastinya hukumannya jika terungkap akan sangat besar,” kata AI, Senin (5/8).

Ai mencontohkan, dalam satu kasus yang ditangani KPAI ditemukan, anak pelaku prostitusi ini tidak punya uang tunai. Namun, dia berhasil berbelanja secara online hingga puluhan juta. 

Karena itu, KPAI meminta penegak hukum tak hanya menyelidiki rekening milik anak pelaku. Tapi, periksa pula penyelenggara transaksi digital, baik e-commerce, e-wallet, maupun aplikasi cryptocurrency

“Kemajuan teknologi semakin cepat, pemerintah harus bisa selangkah lebih maju. Bekerja sama dengan platform sosial media, penyelenggara transaksi elektronik,” kata Ai.

KPAI menyarankan, pemerintah lebih serius menangani prostitusi online. Mulai memperkuat dari sisi peraturan perundang-undangan.

Kemudian meningkatkan kapasitas penegak hukum agar bisa memahami, menyelidiki dan menangani kasus prostitusi anak serta memberi mereka akan pemahaman teknologi.

Komisi ini juga menilai, pemerintah selayaknya berinvestasi teknologi yang dapat mempercepat deteksi jika menemukan akun-akun maupun konten terkait dengan prostitusi online. Misalnya dengan menggunakan Artificial Intellegence untuk memantau aktivitas online, serta algoritma yang dapat mengidentifikasi dan memblokir konten eksploitasi seksual anak.

Pemerintah juga harus bisa menekan platform media sosial dan layanan internet untuk menerapkan kebijakan yang ketat terhadap konten eksploitasi seksual dan prostitusi anak. Penyedia platform harus memastikan mereka memiliki sistem pelaporan dan respons yang efektif.

Bagi korban, KPAI menyarankan pemerintah fokus pada proses pemulihan anak korban maupun pelaku prostitusi online. Anak-anak yang terlibat sebaiknya tidak hanya diberikan pemulihan secara psikologis dan psikososial saja. 

Mereka juga harus diberikan rehabilitasi dan pelatihan kompetensi yang bisa menjadi bekal mereka untuk mandiri di masyarakat.

Pengasuhan Anak
Di sisi mental, Psikolog Anak dari Universitas Indonesia Anna Surti mengatakan, faktor utama yang menyebabkan anak terlibat prostitusi online adalah hilangnya pengasuhan orang tua. Khususnya terkait dengan kebutuhan emosional, sosial dan finansial anak-anak.

Anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang tua, akan merasa tidak dicintai. Akibatnya mereka mencari validasi dan perhatian dari orang lain, termasuk kegiatan-kegiatan yang membuat mereka merasa dicintai. 

“Saat berhubungan dengan orang lain yang melakukan eksploitasi terhadap mereka, anak mungkin tidak menyadarinya, yang mereka pahami mereka mendapatkan perhatian dan kasih sayang,” kata Anna, Rabu (7/8).

Tidak hanya itu saja, faktor ketidakstabilan ekonomi dan kebutuhan finansial yang cukup besar juga mempengaruhi anak. Tekanan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau membantu keluarga yang kesulitan membuat mereka merasa harus mencari uang dengan cara yang yang instan dan berisiko.

Belum lagi, hilangnya pengasuhan juga membuat anak-anak kehilangan akses ke sumber daya yang penting, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan. 

“Ini yang harus menjadi perhatian orang tua, bukan hanya karena hedonisme saja, tetapi ketidakstabilan ekonomi di rumah sulitnya mencari pekerjaan juga mempengaruhi anak-anak ini untuk berbuat nekat terlibat dalam prostitusi online,” kata Anna. 

Anna menambahkan, anak-anak yang terlibat dalam prostitusi online sering mengalami tingkat kecemasan dan depresi yang tinggi. Mereka mungkin merasa tertekan oleh pengalaman yang dialami dan kesulitan untuk mengatasi perasaan negatif yang muncul dari eksploitasi tersebut.

Tidak hanya itu saja, anak-anak yang terlibat dalam prostitusi online sering kali mengalami penurunan harga diri.

“Anak yang terlibat dalam prostitusi online baik sebagai korban atau pelaku pasti akan memiliki trauma dan sangat mungkin mengalami masalah kesehatan mental, baik stres, depresi, gangguan kecemasan, hingga gangguan tidur,” kata Anna. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar