06 Oktober 2022
18:50 WIB
Editor: Rikando Somba
JAKARTA - Meski kebanyakan remaja putri sudah menerima tablet penambah darah dari pemerintah, persentase mereka yang mengonsumsinya masih sangat rendah.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kamis (6/10) mengungkapkan, kepatuhan remaja putri di Indonesia untuk meminum tablet tambah darah (TTD) hanya 0,9%. Padahal, ketepatan mengonsumsinya adalah salah satu cara mengurangi stunting di tanah air.
“Kita harus mengambil waktu tiga bulan karena banyak sekali remaja putri yang anemia. Angka anemia kita masih tinggi 37%,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam acara Halaqoh Nasional secara daring di Jakarta, Kamis .
Hasto menyebutkan persentase remaja putri yang telah memperoleh tablet tambah darah dari pemerintah di seluruh sekolah Indonesia sebenarnya sudah mencapai 76,2%. Namun, masih ada 23,8% remaja putri belum mendapatkan tablet tersebut.
BKKBN mencatat bahwa dari 76,2% remaja putri yang memperoleh tablet tambah darah lebih dari 52 butir, ada sebanyak 60,96%. Sayangnya, jumlah remaja putri yang mendapatkan dan mengkonsumsi secara rutin tablet tambah darah lebih dari 52 butir hanya ada 0,9%..
Rendahnya angka kepatuhan tersebut mendasari BKKBN untuk melakukan pemeriksaan kesehatan kepada calon pengantin tiga bulan sebelum menikah.
Sementara hal lain yang memicu pemeriksaan tersebut adalah adanya 36% ibu di Indonesia menderita kekurangan energi kronis.
BKKBN menekankan, untuk pencegahan stunting, mereka yang akan menikah harus dipastikan tidak mengalami anemia.
“Maka akan diatasi dulu sebelum sampai ke pernikahan. Insya Allah anemia bisa diatasi terlebih dahulu, sehingga pada saat bulan madu akan menghasilkan kondisi yang sehat,” kata Hasto.

Hanya Dimasukkan Kulkas
Anemia sendiri adalah kondisi tubuh kekurangan gizi, asupan asam folat, dan vitamin D. Kondisi ini membahayakan perempuan yang hamil. Anemia membuat plasenta bayi pada masa kehamilan cenderung tipis. Ujungnya, gizi bayi dalam kandungan mengalami kekurangan hingga individu yang lahir, akan berpotensi stunting atau kerdil.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Maria Endang menyebutkan dari 106.406 remaja putri yang diskrining anemia, 15.040 di antaranya telah terkena anemia. Dari ini jelas tergambar, situasi gizi anak bangsa masih belum bisa dikatakan bagus.
Maria, dikutip dari Antara, mengatakan bahwa salah satu upaya yang dilakukan pihaknya adalah memberikan tablet tambah darah. Dia mengungkapkan senada dengan BKKBN. Para siswa hanya membawanya pulang dan meletakkannya di kulkas.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan mengubah pendekatan dengan strategi bernama “Aksi Bergizi” yang saat ini sudah berjalan di SMP, SMA, pesantren dan sederajatnya yang tersebar di 12 provinsi prioritas percepatan penurunan angka prevalensi stunting.
“Aksi Bergizi ini satu minggu sekali pada saat senam ada yang hari Senin kalau di Aceh dan Jumat di Banten. Dilanjutkan dengan sarapan bersama dan edukasi gizi, terakhir minum TTD bersama,” kata Maria.
Pada kesempatan berbeda, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengingatkan pencegahan kekerdilan atau stunting utamanya harus dilakukan di keluarga.
"Keluarga berperan strategis dalam upaya pencegahan stunting sehingga perlu membangun kekuatan keluarga dalam pemenuhan gizi ibu hamil dan balita," kata Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto, Senin.
Karenanya, Kemenko PMK mengajak seluruh keluarga untuk terus meningkatkan literasi atau pengetahuan mengenai upaya mencegah stunting. Agus juga mengajak orang tua untuk memperbanyak konsumsi makanan bergizi yang kaya protein hewani di dalam menu keseharian keluarga.
"Perbanyak protein hewani seperti telur, ikan, ayam yang sangat baik untuk mendukung tumbuh kembang balita dan juga baik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ibu hamil," katanya.