c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

07 November 2025

20:30 WIB

Mewadahi Perjuangan Santri Melawan Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual di pesantren sulit terungkap. Sejumlah santri menempuh jalan panjang mencari keadilan.

Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>Mewadahi Perjuangan Santri Melawan Kekerasan Seksual</p>
<p>Mewadahi Perjuangan Santri Melawan Kekerasan Seksual</p>

Ilustrasi santri belajar di kelas. Antara Foto/Dedhez Anggara

JAKARTA - “Hati-hati, banyak hewan buas di hutan. Jangan dekati harimau karena berbahaya.”

Begitulah kira-kira status WhatsApp yang ditulis Masayu beberapa waktu lalu untuk memperingatkan orang-orang di sekitarnya tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh putra pendiri pesantren tempatnya menempuh pendidikan. Status WhatsApp itu bukan sindiran tak beralasan. 

Sebagai santri pesantren tersebut, Masayu mengetahui dari dekat pengalaman teman-temannya sesama santri menjadi korban kekerasan seksual. Beberapa temannya mengaku dipaksa berhubungan badan di sebuah lokasi terpencil bak tengah hutan.

Kasus itu membuat Masayu tergerak memperjuangkan keadilan bagi teman-temannya. Jalannya tak pernah mudah. Dia dianiaya, diculik, dan dituduh ingin menghancurkan pesantren. 

Bahkan, percobaannya melapor ke pihak pesantren juga tak berbuah. Beberapa waktu setelahnya, ia bersama sejumlah santri justru dikeluarkan dari pesantren.

Mental Masayu, yang saat itu baru berusia sekitar 17 tahun, hancur karena tekanan sosial yang begitu kuat. Namun, ia tak ingin kalah memperjuangkan hal yang benar. Ia dan beberapa teman pun memutuskan menginisiasi gerakan Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (For Mujeres) pada 2018. Tujuannya satu, menggalang dukungan yang lebih besar untuk kasus yang ia perjuangkan.

Gayung bersambut. Lambat-laun perjuangan For Mujeres mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Hal ini membantu mereka menuju titik terang.

Salah satu tonggaknya adalah apa yang menimpa Masayu. Setelah proses hukum yang panjang, si pelaku divonis tujuh tahun penjara. Bukti bahwa perjuangan Masayu dan kawan-kawannya tak sia-sia.

Pengalaman ini memantik semangat Masayu dan anggota For Mujeres lainnya untuk mendampingi kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren lain. Salah satunya kasus di sebuah pesantren di Malang, Jawa Timur, yang baru terbongkar sekitar tahun 2020. Kasus ini menjerat seorang pengasuh pesantren yang melakukan tindak kekerasan seksual kepada sejumlah santriwatinya.

Mayoritas santri di sini berasal dari keluarga miskin dan yatim-piatu. Sebagian besar biaya pendidikan digratiskan. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, orang tua santri dapat membayarnya dengan beberapa kilogram beras.

Saban pekan pesantren mengadakan kegiatan pengajian. Santri perempuan dan laki-laki duduk secara terpisah. Pada kegiatan inilah si pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah santri.

Dari sekitar puluhan korban, salah satunya berada dalam kondisi yang sangat rentan. Sebut saja namanya Kina. Tak cukup menjadi korban, orang tua Kina ingin menikahkannya dengan pelaku.

"Orang tuanya ini merasa bahwa anaknya memang menjadi korban, tapi anaknya ini juga sudah ditolong sama kiai yang pelaku itu. Jadi, berpikirnya kurang jernih," tutur Masayu.

Karena menolak dinikahkan, Kina merasa harus keluar dari Malang. Seseorang yang mendampingi kasus itu lantas menghubungkan Kina dengan Masayu. 

Akhirnya, sekitar tahun 2022-2023, Kina pindah ke Jakarta Timur untuk tinggal bersama Masayu dan seorang temannya sementara waktu. Kebutuhan Kina dicukupi oleh Masayu dan temannya.

Di Jakarta, Kina tak banyak bercerita tentang pengalamannya selama di pesantren. Ia mudah murung dan kerap merindukan keluarganya. Kina sebenarnya ingin pulang, tapi juga tak habis pikir orang tuanya berniat menikahkan dia dengan pelaku.

Untuk membantu kondisinya, Kina mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) selama di Jakarta. Masayu juga melibatkan Kina dalam berbagai aktivitas untuk membantu meringankan pikirannya.

Kina beberapa kali pergi jalan-jalan layaknya anak 18 tahun lainnya. Mengunjungi Ancol atau menonton penampilan artis Korea adalah diantaranya. Ia turut membantu operasional kafe yang dikelola teman Masayu. Berbagai aktivitas itu membuat Kina lebih tenang.

Tapi, lama-kelamaan rindu yang dirasakan Kina terhadap keluarganya tak terbendung. Orang tua Kina juga terus-menerus memintanya pulang. Setelah sekitar enam bulan di Jakarta mau tak mau Kina pulang.

Pada 2024, Masayu kembali mendengar kabar dari Kina. Ia memilih untuk menikah.

"Kami berharap dia kuliah dulu, tapi dia memutuskan menikah dan menikmati hidupnya sekarang," kenang Masayu.

Dampingi Santri
Bukan hanya Masayu dan For Majenes yang bergerak melawan kekerasan seksual di pesantren. Di Lombok, Haidar (bukan nama sebenarnya) juga melakukan hal serupa. 

Haidar tergerak sejak 2023, saat seorang santri bercerita padanya mendapat kekerasan seksual dari kiai sekaligus pendiri pesantren tempatnya belajar. Hatinya goyah, tidak yakin masih harus bersikap sami'na wa atho'na kepada kiai tersebut.

Ungkapan berbahasa Arab itu berarti ‘kami mendengar dan kami menaati’. Dalam Islam, sami'na wa atho'na diartikan sebagai ketundukan terhadap ajaran agama yang berlandaskan iman. Di dunia pesantren, ungkapan ini terwujud dalam hubungan santri yang mendengar dan menaati ajaran kiai.

Haidar terusik mendengar cerita santri tersebut. Sebagai alumni pesantren yang sama, ia tergerak mendampingi dan mengusut kasus kekerasan seksual tersebut. 

Penelusurannya mengantarkan pada sekitar lima korban yang berani bersuara. Rata-rata korban dimanipulasi dengan anggapan bahwa apapun perintah kiai adalah berkah, bahwa santri harus bersikap sami'na wa atho'na kepada kiai.

"Kondisi orangnya yang waktu itu SMA kan juga belum bisa berpikir sekritis itu, apalagi dengan kondisi pondok yang membungkam santri berpikir kritis," tutur Haidar kepada Validnews, Kamis (6/11).

Salah satu santri menjadi korban sejak kelas 2 SMP hingga kelas 3 SMA. Pelaku merayu, menyentuh tangan korban tanpa persetujuan, hingga mengajak korban menikah.

Suatu kali, pelaku meminta korban datang ke rumahnya di malam hari. Letaknya masih satu komplek dengan asrama santriwati. Korban takut, tapi ia juga khawatir kualat bila tidak menuruti perintah kiai.

Benar saja, malam itu pelaku diduga hendak memaksa korban berhubungan badan. Korban melawan dan lari sekencangnya ke kamar mandi, lalu menangis histeris.  

Tangisan tersebut tidak membuat pelaku berhenti. Ia justru mengejar korban. Beberapa orang menyaksikan kejadian itu, dan mengaku melihat bekas merah di leher korban.

Kasus kekerasan seksual di pesantren ini memang diketahui banyak warga pesantren. Namun, tak ada pihak yang benar-benar mendukung korban. Mereka takut karena pelaku merupakan tokoh besar di sana.

"Bahkan kami dibungkam dengan alasan untuk menjaga nama baik yayasan," tambah Haidar.

Pembungkaman yang Haidar alami semakin berat. Pelaku menyogoknya dengan beasiswa ke luar negeri agar mau menghapus bukti-bukti. 

Orang tua Haidar diintimidasi hingga kesehatannya menurun dan psikologisnya terganggu. Dua orang korban juga dipaksa menandatangani surat pernyataan bahwa mereka bukan korban. 

Tekanan yang terlalu berat ini akhirnya membuat Haidar menghentikan advokasi kasus ini. Namun, dalam perjalanannya, Haidar mengenal Masayu. 

Pengalaman Masayu bersama For Mujeres membantunya menentukan langkah pergerakan ke depan. 

Pada 2025, dibantu dengan berbagai pihak lainnya, Haidar kembali mengurus kasus ini baik dari jalur litigasi maupun non-litigasi. Kini kasus itu sedang tahap pelaporan ke pihak kepolisian, masih dengan pendampingan For Mujeres.

Haidar tahu pemerintah memiliki regulasi tentang kekerasan seksual di pesantren. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama (Kemenag).

PMA itu sebenarnya telah secara gamblang menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan seksual, cara pencegahan, penanganan, penindakan, hingga pemulihan korban. Namun, Haidar merasa aturan ini belum diterapkan oleh pesantren.

"Besar harapan regulasi ini dikuatkan ... terus ada wadahnya untuk pendampingan kalau ada kejadian seperti ini, jadi korban setidaknya di awal tidak bingung mencari siapa temannya," harap Haidar.

Relasi Kuasa
Kekerasan seksual di pesantren turut disoroti oleh Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sukendar. Ia menilai kekerasan seksual di pesantren disebabkan oleh relasi kuasa yang tidak seimbang.

Biasanya, di lembaga pendidikan keagamaan guru memiliki otoritas tinggi dan dihormati mutlak oleh murid. Hal ini membuat murid sulit menolak atau melapor ketika terjadi pelecehan.

"Tafsir agama yang menormalisasi kepatuhan mutlak siswa kepada guru dapat dimanfaatkan untuk menutupi kekerasan," ujar Daden kepada Validnews, Jumat (7/11).

Dia melanjutkan, kekerasan seksual di pesantren juga merupakan fenomena gunung es. Kondisi ini disebabkan oleh minimnya sistem pengawasan dan mekanisme pengaduan di lembaga pendidikan keagamaan. Akibatnya, korban sering tidak tahu ke mana harus melapor.

Di samping itu, masih ada stigma buruk dan budaya diam yang menghantui korban. Sering sekali korban disalahkan karena dituduh membuka aib atau merusak nama baik lembaga. Dampaknya, kasus ditutupi atau diselesaikan secara internal tanpa pemulihan korban.

Tak hanya itu, kurangnya pendidikan seksual dan kesadaran gender juga bisa menjadi penyebab. Pasalnya, siswa di lembaga pendidikan keagamaan biasanya tidak mendapatkan pengetahuan cukup tentang batas tubuh, hak atas tubuh, atau bentuk kekerasan seksual. Akibatnya, banyak korban tidak menyadari mereka mengalami kekerasan.

"Yang tidak kalah penting, yang membuat kasus ini sering terjadi, tidak ada penegakan hukum yang tegas. Kasus yang terungkap sering tidak dilanjutkan ke proses hukum karena tekanan sosial, kekuasaan tokoh agama, atau negosiasi damai. Hal ini menciptakan impunitas bagi pelaku," tegas Daden.

Dia berpendapat, kekerasan seksual di pesantren harus menjadi perhatian serius seluruh pihak, terutama Kemenag. Kementerian itu perlu mengoptimalkan penerapan PMA Nomor 73 Tahun 2022. Lalu, meningkatkan kapasitas pesantren dalam mencegah, menangani, dan membantu pemulihan korban.

Caranya, kata dia, bisa dengan menggelar pelatihan dasar tentang kekerasan seksual dan relasi kuasa di pesantren. Materinya dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan PMA Nomor 73 Tahun 2022. Tak lupa, adakan edukasi soal dampak kekerasan terhadap korban.

Selain itu, adakan pelatihan perspektif gender dan kesetaraan di ruang keagamaan. Materi yang disarankan mencakup konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam tafsir agama, peran laki-laki dan perempuan yang adil dalam Islam, dekonstruksi tafsir agama yang sering dijadikan pembenaran untuk kekerasan, hingga kajian kitab yang mendukung prinsip perlindungan terhadap yang lemah.

"Hal ini bertujuan untuk membentuk kesadaran bahwa ajaran agama mendukung penghormatan terhadap martabat manusia," tutup Daden.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar