c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

10 Juni 2024

21:00 WIB

Mewadahi Bantuan Korban Perselingkuhan

Perselingkuhan menghadirkan emosi dan pikiran yang kompleks tentang sakit hati, kecewa, marah, malu, bingung, kekhawatiran, stigma dan penghinaan kepada korban

Penulis: Gisesya Ranggawari

Editor: Nofanolo Zagoto

<p id="isPasted">Mewadahi Bantuan Korban Perselingkuhan</p>
<p id="isPasted">Mewadahi Bantuan Korban Perselingkuhan</p>

Ilustrasi pasangan berselingkuh. Dok Shutterstock/Prostock-studio

JAKARTA – Rumah tangga Ade Novatresna yang sudah terajut 20 tahun hancur pada 2020 lalu, gegara suaminya terpergok selingkuh. Usai memutuskan cerai, mental Ade sempat terganggu. Dirinya kerap dilanda stres dan merasa sendirian.

Bali akhirnya menjadi tempat 'pelarian’ Ade sementara waktu. Di sana, Ade kebetulan bertemu teman-teman senasib. Mereka berbagi pengalaman, hingga perlahan menghidupkan semangat Ade kembali.

Pertemuan dengan teman senasib ini juga menyadarkan Ade untuk berbuat hal yang sama dengan orang lain. Singkat kata, terbentuklah Komunitas Anti Pelakor (perebut laki orang) yang tujuannya memberikan dukungan kepada para korban perselingkuhan yang hilang arah, merasa sendiri dan ‘kena mental’.

"Kami sering ngobrol, sering sharing, lalu kami terpikir membentuk Komunitas Anti Pelakor untuk setidaknya menjadi teman curhat dan jembatan para korban selingkuh," ujar Ade kepada Validnews, Sabtu (8/6) di Jakarta.

Ade dan teman-temannya sadar, korban perselingkuhan sangat membutuhkan dukungan. Sebab, mereka berpotensi mengalami Post-Infidelity Stress Disorder (PISD). PSID ini dapat mengakibatkan kerusakan, baik secara fisik maupun emosional. Dari sisi psikologis, PSID bisa menyebabkan kondisi emosional atau stres tinggi setelah mengalami perselingkuhan dari pasangan.

Psikolog asal Amerika Serikat Dennis Ortman dalam jurnalnya menyatakan, sindrom patah hati dari perselingkuhan, dapat menimbulkan gejala seperti nyeri dada mendadak sesak yang dapat menyerupai perasaan serangan jantung.

Karena alasan-alasan inilah,Komunitas Anti Pelakor (AP) dikatakan Ade rutin mengadakan diskusi terkait rumah tangga, via grup WhatsApp. Grup ini awalnya hanya berisikan teman-teman yang dikenal Ade saja.

Namun, beberapa bulan kemudian, grup Komunitas AP ini akhirnya menerima lebih banyak orang yang bernasib serupa. Sebab ada banyak orang yang coba menghubungi Ade melalui Instagram. Rata-rata ingin ikutan curhat di Komunitas AP.

"Lalu saya dan teman-teman berpikir menjadikan Komunitas AP ini terbuka untuk umum. Siapapun bisa bercerita di situ," beber Ade.

Akhirnya pada 2021, Komunitas AP resmi berbadan hukum, sebagai penanda seriusnya mereka menyiapkan wadah bagi korban perselingkuhan, agar mental mereka kembali pulih. Ade sendiri tidak pernah mengeluh mesti harus mengajak ngobrol puluhan korban selingkuhan yang menghubunginya di Instagram. Sebab, berdasarkan pengalamannya, para korban perselingkuhan hanya ingin didengarkan dan diberikan support.

Ade mengaku selalu membalas direct message sebisanya, lalu memberikan edukasi sejauh pengetahuannya. Kalau masalahnya dianggap sudah harus melibatkan profesional, Ade akan merujuknya ke psikolog atau bantuan hukum yang memiliki kerja sama dengan Komunitas AP.

Dibutakan Patah Hati
Setahu Ade, para korban perselingkuhan kebanyakan belum sadar dan paham apa yang mesti dilakukan, karena masih dibutakan oleh patah hati. Bersama Komunitas AP, korban perselingkuhan ini akhirnya banyak yang mulai tenang, perlahan bisa meneruskan hidup barunya.

Namun jika korban perselingkuhan berpatokan pada budaya dan kebiasaan yang dianutnya, korban diamatinya terus berada pada fase denial atau tidak menerima kenyataan.

"Ada suatu budaya tidak boleh cerai, kami sudah edukasi dan beri pemahaman segala macam tapi tetap tidak bisa berpisah, padahal hubungannya sudah mengarah ke toxic relationship," kata Ade.

Selain menemani lewat online, Ade dan tim Komunitas AP mengaku juga sering menemani para korban perselingkuhan yang tergabung menjadi anggota Komunitas AP bertemu secara offline. 

Biasanya, sejumlah kegiatan akan Komunitas AP siapkan. Contohnya, sharing session dan menonton film bareng. Semua cara ini dijalankan Ade dan teman-teman agar para korban tidak lagi merasa sendirian.

"Banyak yang menganggap perceraian karena selingkuh itu aib, jadi banyak korban yang tidak mau melakukan kegiatan seperti biasa, nah, kami temenin," ungkapnya.

Karena alasan itu, Komunitas AP kadangkala juga membuat kegiatan sosial seperti pemberian air bersih dan bagi-bagi makanan Jumat berkah, ke anak yatim dan kaum duafa. Beberapa kali, Komunitas AP bersama desainer lokal juga menggelar fashion show dengan melibatkan janda korban perselingkuhan sebagai model. Mereka akan disiapkan agar dapat berpose di atas catwalk.

Komunitas AP berharap kegiatan-kegiatan itu membuat korban perselingkuhan tidak lagi mengingat kejadian buruk yang menimpa kehidupannya. Siapa tahu kegiatan-kegiatan tersebut dapat mengembalikan kepercayaan diri yang hilang. Setahu Ade, korban-korban perselingkuhan kerap mengalami insecure yang tinggi.

"Ada fashion show, ibu-ibu yang berjalan di catwalk. Karena banyaknya ibu korban perselingkuhan itu mentalnya down, insecure, tidak percaya diri. Kami upayakan untuk kembalikan itu, demi bisa menata hidup," urainya.

Upaya-upaya Komunitas AP mengembalikan kepercayaan diri korban perselingkuhan ini sejalan dengan penilaian Relationship Coach asal Amerika Serikat, Nina Rubin. Dalam jurnalnya, Nina menuliskan, kasus perselingkuhan bisa membuat korbannya hilang kepercayaan diri. Sebab perselingkuhan membawa emosi dan pikiran yang kompleks tentang sakit hati, kecewa, marah, malu, bingung, kekhawatiran, stigma dan penghinaan.

Taubat Berkat Podcast
Gerak Komunitas AP dipastikan Ade tidak hanya berkutat pada pendampingan. Komunitas AP juga sering memberikan edukasi lewat media sosial, baik berupa grafis maupun podcast, dengan mengundang para pakar ataupun selebritas yang terkenal dengan rumah tangga harmonis.

"Niatnya untuk mencegah ya, agar tahu sebenarnya selingkuh itu bisa dicegah, kok, dengan menghangatkan rumah tangganya. Nah, di podcast kita jelasin," ujar Ade.

Menariknya, materi podcast yang dibicarakan tidak melulu dari sudut pandang korban. Kadang dari sudut pandang pelakor ataupun pelaku perselingkuhan, agar perspektif yang disampaikan utuh dari berbagai sisi.

Edukasi semacam ini rupanya berdampak luas dan berujung positif. Ada beberapa pelakor dan pelaku perselingkuhan yang akhirnya mengaku taubat setelah menonton podcast Komunitas AP.

"Kami senang, sih, dengarnya ada suami yang sering jajan taubat. Ada pelakor yang tadinya tidak sadar, sekarang sadar harga dirinya jauh lebih penting," imbuhnya.

Ade berharap, kegiatan dari gerakan Komunitas AP ini bisa terus dilakukan dan semakin meluas. Saat ini, kegiatan Komunitas AP baru terfokus di daerah Jakarta-Bali.

Di sisi lain, Ade berharap pemerintah atau pemangku kebijakan terkait tidak lagi melihat kasus perselingkuhan sebagai kasus yang remeh temeh. Namun, sebagai fenomena nasional yang bisa merusak generasi masa depan.

"Inti dari suatu negara itu, kan, warganya. Kalau warganya happy, negara akan bisa berjalan dengan baik. Menurut saya, perselingkuhan ini bisa berdampak pada berbagai aspek besar, khususnya soal pertumbuhan anak bangsa," papar Ade.

Soal perselingkuhan, memang seringkali berujung perceraian. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ada 408.347 kasus perceraian yang terjadi sepanjang 2023.

Penyebab terjadinya perceraian, di antaranya perselisihan dan pertengkaran dengan jumlah 251.828 kasus atau 61,67% dari total kasus perceraian dalam negeri. Selanjutnya, salah satu pihak yang meninggalkan pasangannya (34.322 kasus), kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT (5.174 kasus), zina (780 kasus) dan poligami (738 kasus).

Hapus Stigma Janda
Serupa tapi tak sama, Komunitas Perempuan Tanpa Stigma (PenTaS) yang digagas salah satunya oleh Poppy Dihardjo ini, concern pada pendampingan korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dan kekerasan berbasis gender.

Tujuan awalnya untuk melakukan dukungan dan pendampingan pada perempuan-perempuan yang menjadi korban stigma di masyarakat. Misalnya status janda, perempuan korban KDRT sampai korban perselingkuhan.

"Awalnya dibentuk oleh saya dan dua sahabat saya yang berstatus janda dan sering mendapatkan stigma. Lalu berpikir apakah stigma ini hanya untuk kami? Ternyata tidak, semua perempuan pasti pernah mendapat stigma (negatif) dari luar," ucap Poppy kepada Validnews, Sabtu (8/6) di Jakarta.

Poppy menjelaskan, PenTaS yang digagas pada awal tahun 2020 ini merupakan support group berbasis komunitas. Harapan sederhana, agar perempuan bisa mengekspresikan diri dan berbagi cerita tanpa takut terkena stigma.

Sejak digagas di bulan Februari 2020, PenTaS telah berinteraksi dengan lebih dari 100 orang perempuan baik di dalam support group maupun di luar support group (via Instagram direct message).

PenTaS ingin, para perempuan potensi dan definisi dirinya dan menjadi pribadi yang berdaya, sehingga bisa kemudian bergerak bersama perempuan berdaya lainnya melawan stigma.

"Kami percaya, definisi perempuan tentang dirinya sendiri adalah langkah awal perempuan menjadi berdaya dan melawan stigma," tegas Poppy.

PenTaS umumnya akan membatasi jumlah anggota grup WhatsApp hanya 84 orang. Mereka biasanya akan membahas topik women empowerment. Di luar itu, ada grup lain di Instagram yang menyebarkan edukasi dan topik yang lebih general untuk 3.000 member lebih.

Beri Bantuan Hukum
Poppy menjabarkan, kebanyakan para korban mendapat informasi atau rujukan untuk melapor ke PenTaS dari kenalan. Lalu, PenTaS biasanya memberikan kesempatan agar korban menuliskan kronologi permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya, dirumuskan kebutuhannya, apakah memerlukan bantuan hukum, bantuan psikolog atau hanya sharing dan ingin didengarkan ceritanya.

Khusus untuk bantuan hukum, PenTaS memiliki jejaring profesional. Urusan hukum akan ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik seluruh Indonesia serta Advokat Kesetaraan Gender (AKG).

"Jadi, jenis pendampingannya berbeda-beda tergantung kebutuhan. Tapi, yang jelas kita akan dampingi sampai kebutuhannya itu terpenuhi, sampai mereka dapat bantuan," imbuh Poppy.

Sayangnya, tidak semua korban KDRT mau dan mampu melaporkan pelaku yang notabene adalah suaminya. Seringnya, semangat itu mentah saat keluarga tidak mengizinkan mereka cerai, atau berkaitan dengan anak yang nantinya bisa kehilangan sosok ayah.

Imbasnya, para tim dan anggota pendamping dari PenTaS kerap mendapati klien tiba-tiba menghilang tanpa kabar, sehingga kasusnya tidak selesai. Dari sekitar 500 laporan sepanjang 2020-2024 di PenTaS dan sebanyak 2.000 curhatan secara langsung lewat Poppy, hampir tidak ada kasus yang berakhir di kepolisian.

"Yang diadukan banyak, tapi yang dilaporkan ke polisi hampir enggak ada. Ini salah satu yang bikin patah hati, masih banyak perempuan korban KDRT, tapi belum mau dan belum mampu melakukan sesuatu," ungkapnya.

Maka dari itu, PenTaS mengadakan Kelas Pentas yang membahas isu-isu KDRT dan pemberdayaan perempuan. Selain itu, edukasi pun diberikan lewat materi seputar life-skills, dengan harapan para korban KDRT tetap bisa produktif bangkit setelah kejadian yang dialaminya.

Poppy pun berharap, ke depannya ada kepastian hukum dan pendampingan dari pemerintah kepada para korban KDRT. Pasalnya, banyak korban KDRT yang pada akhirnya mengalami depresi, sampai kehilangan nyawa karena tidak mendapatkan penanganan yang benar.

Beberapa kasus KDRT, bahkan memaksa korban tetap tinggal satu atap dengan pelaku. Padahal, menurut Poppy semestinya korban KDRT direlokasi ke Rumah Aman milik pemerintah.

"Rumah Aman pemerintah dan rumah singgah untuk korban KDRT yang harus direlokasi mestinya diperbanyak, sekarang rumah aman tidak banyak, jadi sulit memindahkan korban ke tempat aman," tutur Poppy.

Sementara itu, Psikolog Klinis, Ine Indriani mengingatkan, perselingkuhan bisa berdampak pada beberapa hal, di antaranya shocking, stres dan traumatic. Tergantung daya tahan resiliensi korban perselingkuhan.

Dampak jangka panjangnya, bisa berpengaruh pada anak dan kehidupan sehari-hari, termasuk pada pekerjaannya. Imbasnya, anak menjadi tidak percaya diri, merasa tidak berharga dan hilang kepercayaan pada orang lain.

"Ini yang paling bahaya itu jadi tidak percaya diri ya, dampaknya tidak bisa berperan sepenuhnya untuk membantu anaknya dalam kehidupan sehari-hari," ujar Ine kepada Validnews, Senin (10/6) di Jakarta.

Maka dari itu, menurutnya, yang diperlukan korban perselingkuhan adalah lingkungan yang mendukung. Sebab, korban perselingkuhan, termasuk kasus yang berujung KDRT, awalnya hanya ingin ceritanya didengarkan.

Selain keluarga, Ine menilai komunitas atau wadah profesional lain yang terpercaya bisa jadi salah satu opsi untuk berkeluh kesah terkait persoalan yang ada.

"Tapi bukan nasehat ya, terkesan sok tahu nanti merasa tidak dipahami. Jadi intinya hadir secara penuh untuk mendengarkan, sehingga memang perlu tempat bercerita," ucap Ine.

Dia menambahkan, pendampingan memang diperlukan untuk korban perselingkuhan bangkit dari keterpurukannya. Dengan begitu, bisa dipilih metode berikutnya, seperti konseling pernikahan dan sebagainya.

Harapannya korban bisa mengevaluasi diri serta meningkatkan kemampuan diri. Supaya kejadian serupa akibat kesalahan minor bisa dihindari agar tak terulang kembali.

"Dan agar bisa menemukan langkah ke depannya harus seperti apa untuk melanjutkan hidup. Tapi sebelum ke situ memang sangat diperlukan orang yang mau mendengarkan keluh kesahnya, tanpa terlalu banyak memberikan nasehat," tandas Ine.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar