30 Juni 2025
19:30 WIB
Merintis Sekolah Swasta Gratis Di Desa
Pemerintah seharusnya mampu menjalankan sekolah gratis, utamanya di desa. Kajian JPPI menghitung, program sekolah swasta gratis memerlukan Rp100 triliun untuk seluruh Indonesia.
Penulis: Gisesya Ranggawari
Editor: Rikando Somba, Novelia,
Foto SDIT dan SMP Sirojut Taqwa, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Validnews.ID/Gisesya Ranggawari
BEKASI - Pendidikan dasar gratis bukanlah hal mustahil diterapkan di sekolah swasta. SDIT dan SMP Sirojut Taqwa adalah dua yang mampu melaksanakannya sejak 2018. Seluruh siswanya bahkan tak hanya dibebaskan dari SPP. Mereka juga diberi gratis seragam dan alat tulis.
Sirojut Taqwa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, hanyalah sekolah di daerah pedesaan. Gedungnya dikelilingi sawah dan kebun. Untuk mencapainya, setiap orang harus melalui jalan-jalan berukuran kecil.
Agus Surhayadi memang mengutamakan warga sekitar sejak awal mendirikan Sirojut Taqwa di Desa Sukatenang, Kabupaten Bekasi. Ini gara-gara ia resah melihat banyak anak lebih diarahkan untuk bekerja oleh orang tuanya ketimbang bersekolah. Untuk anak perempuan, tidak jarang justru diarahkan untuk menikah di usia dini.
Dulu, Agus juga sempat hampir mengalaminya saat mau masuk SMK. Orang tua Agus kebetulan buta aksara dan bukan juragan.
"Banyak yang berpikir bahwa pendidikan atau sekolah itu hanya bagi orang-orang kaya. Mindset di desa kami dulu seperti itu, kalau miskin kerja saja," ujar Agus saat ditemui Validnews di SDIT Sirojut Taqwa, Sukatenang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (27/6).
Selanjutnya, karena memahami orang tuanya tidak bisa membiayai kuliah, Agus sempat bekerja serabutan. Ia pernah menjadi petani, bahkan jadi petugas parkir. Apapun Agus lakukan agar bisa kuliah dan mengubah mindset warga di desanya terhadap pendidikan.
Upayanya mengubah pola pikir warga desa sudah mulai direalisasikan sejak tahun 2015 dengan mendirikan sekolah gratis, sejenis dengan sekolah terbuka. Sayang, upaya pertamanya ini cepat gagal.
Setelah beberapa saat terpaksa kerja sana-sini mengumpulkan modal, Agus akhirnya bisa mendirikan Sekolah Nol Rupiah. Sirojut Taqwa mulanya dioperasikan di musala depan rumah. Jumlah siswanya hanya 7 orang, termasuk anak Agus sendiri.
"Itu warga sekitar, kami cari-cari yang sekiranya orang tuanya tidak peduli dengan pendidikan, kami kasih arahan, karena gratis biasanya mereka akhirnya tidak apa-apa anaknya sekolah," papar Agus.

Masalah Pola Pikir
Tiga tahun pertama Sirojut Taqwa sangat berat. Banyak warga sekitar yang mencibir sekolahnya. Dianggap tidak jelas, penipuan, sampai sekolah abal-abal karena kegiatannya di musola. Beberapa warga bahkan sampai tega menghasut masyarakat agar tidak menyekolahkan anaknya di Sirojut Taqwa.
Cibiran itu sempat mengganggu psikologis Agus dan istri yang juga seorang guru. Namun, Agus tidak menyerah. Dia berupaya mencari dana, demi membuktikan pada warga sekitar bahwa Sirojut Taqwa kualitasnya sama dengan sekolah lainnya.
"Tiga tahun awal proses administrasi sekolah belum selesai, otomatis belum dapat dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Ditambah warga sekitar banyak yang mencibir. Tapi nggak apa-apa. Saya ingin buktikan," beber dia.
Seiring waktu, jumlah siswa bertambah. Oleh karena itu, Agus mau tidak mau membagi ruangan musala menjadi tiga bagian. Untuk kelas 1 di pojok kiri musala, kelas 2 di pojok kanan, dan kelas 3 di depan kelas. Agus juga membuka kelas TK yang dilaksanakan di rumahnya.
Setelah tiga tahun penuh perjuangan, akhirnya proses administrasi sekolah selesai dan Sirojut Taqwa mendapat dana BOS dari pemerintah. Agus juga berhasil menjalin kerja sama dengan perusahaan dan NGO untuk membangun ruang kelas TK dan SD.
Setelah ruang kelas terbangun, cibiran warga mulai mereda. Informasi mengenai sekolahnya pun mulai menyebar. Pada akhirnya, Sirojut Taqwa tidak hanya menampung warga Desa Sukatenang, tapi juga warga desa lain.
Kini, selain TK dan SD, Sirojut Taqwa juga menjalankan belajar mengajar SMP dan SMK. Total siswanya sudah 450 siswa untuk semua jenjang.
"Warga mulai mendukung dan beberapa yang dulu mencibir atau menghina, sekarang anaknya sekolah di kami," ungkap Agus.
Sirojut Taqwa diakui Agus berjalan dengan tiga sumber dana. Pertama, dana BOS pemerintah, kedua hasil pertanian dan perkebunan. Kemudian, yang ketiga muhsinin atau donatur, entah itu dari CSR atau dari kantong pribadi Agus sendiri.
Agus sampai bekerja di tiga tempat sekaligus untuk menjadi penyokong dana. Dirinya juga mengandalkan pertanian dan perkebunan agar dapur rumahnya tetap ngebul.
"Jadi wakaf pertanian itu untuk kami di yayasan, maksudnya selama ada nasi aman, kalau panen bisa 2 ton untuk per tahun. Uang kerja kami di luar itu untuk operasional sekolah, kami makan dari hasil pertanian dan perkebunan kami sendiri," urai dia.
Agus sendiri berharap putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan pendidikan dasar gratis bisa memunculkan dana subsidi untuk sekolah swasta kecil, termasuk untuk Sirojut Taqwa.
"Sepertinya enggak mungkin kalau pemerintah lepas tangan, harapan saya ada subsidi bagi sekolah swasta, terutama sekolah swasta menengah ke bawah," imbuh Agus.
Melek Pendidikan
Di luar urusan pembiayaan, Agus juga memikirkan cara ampuh untuk mengubah pola pikir warga Desa Sukatenang agar menjadi lebih melek pendidikan. Saat itu terwujud Agus yakin anak tidak melulu dituntut bekerja atau menikah setelah lulus dari SD.
Oleh karena itu, Agus rajin memberikan penyuluhan dan edukasi terhadap orang tua murid. Bahkan, beberapa kali Agus sengaja menyalakan toa musala untuk memotivasi orang tua murid. Agus berharap warga sekitar menyimak dan mulai berpikir.
Agus menyadari keinginannya ini susah untuk terwujud dalam waktu singkat atau hanya dalam waktu 5-10 tahun ke depan. Sebab, pola pikir seperti ini sudah kadung mengakar dari generasi ke generasi.
"Pola pikir ini yang ingin saya ubah, tujuan besarnya itu. Tapi kami kemas lewat sekolah gratis. Siapa tahu para buruh tani itu mendengar dan pikirannya berubah," jelas Agus.
Sepupu Agus, Malik, juga berucap hal yang sama. Malik menilai tantangan mengubah mindset masih bakal dihadapi beberapa tahun ke depan. Pasalnya, kebanyakan anak juga masih memiliki pola pikir yang sama seperti orang tuanya.
Ia juga terus mendorong terlahirnya sinergi antara pendidikan di sekolah dan pendidikan di rumah. Antara anak dengan orang tua, dan murid dengan guru.
"Dalam pembelajaran juga saya sering ingatkan ke anak-anak agar mengubah pola pikirnya untuk mengutamakan pendidikan," ucap pria mengajar di SDIT Sirojut Taqwa tersebut.
Malik, yang sebelumnya sudah bekerja di sekolah swasta lain sebagai marketing, memutuskan pindah sebagai guru di SDIT Sirojut Taqwa.
Gaji bulanan yang didapat Malik turun drastis, dari Rp8 jutaan menjadi Rp2-3 juta. Meski begitu, ia tidak mempersoalkannya. Malik sadar harus melakukan pengorbanan agar Desa Sukatenang tidak lagi terbelakang dari sisi pendidikan.
"Jadi saya lakukan pengorbanan, untuk amal jariyah saya, ilmu yang mengalir. Walaupun sebetulnya sebelumnya sudah enak. Tapi enggak apa-apa. Jadi dekat dengan istri juga yang mengajar di sini," ucap Malik kepada Validnews, Jumat (27/6).
Benar saja, setelah tiga tahunan mengajar di Sirojut Taqwa, Malik tidak banyak merasakan masalah finansial. Malik justru bersyukur bisa lebih dekat dengan keluarga.
"Saya enggak menyesal sama sekali, tapi memang harus sabar menghadapi anak-anak di sini karena kampung kami memang terbelakang. Untuk gajinya juga harus sabar-sabar," beber dia.
Sebagai informasi, gaji guru TK di Sirojut Taqwa kisaran Rp350-Rp500 ribu per bulan. Guru SD dari Rp500 ribu sampai Rp900 ribu. Untuk SMP dari Rp1 juta. Sementara itu, untuk guru SMK dihitung per jam, yaitu Rp15 ribu ditambah uang transport Rp15 ribu per hari.
Proses belajar mengajar di Sirojut Taqwa juga tidak jauh berbeda dengan sekolah lain. Untuk SD, masuk setiap pukul 07.00 WIB dan pulang pukul 12.00 WIB. Untuk SMP, masuk pukul 13.00 dan pulang pukul 18.00 WIB.
Tahun ini, Sirojut Taqwa sudah meluluskan siswa dari SMP dan SD untuk pertama kalinya. Sebagian mereka ada yang melanjutkan di Sirojut Taqwa, dan ada pula yang diterima ke sekolah negeri.
Kemampuan Pemerintah
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengapresiasi apa yang dilakukan Sekolah Nol Rupiah. Menurutnya, memang ada beberapa inisiatif dari masyarakat atau yayasan yang menjalankan sekolah swasta tanpa dipungut biaya.
"Dan mestinya ini bisa menginspirasi aktor-aktor lain. Termasuk yang lebih penting dalam konteks layanan atas pendidikan ini kan pemerintah," ujar Ubaid kepada Validnews, Senin (30/6) di Jakarta.
Ia senang sekolah swasta dengan segala keterbatasannya masih mampu memberikan pendidikan gratis. Ini menandakan pemerintah, dengan segala sumber dayanya, seharusnya mampu menjalankan sekolah gratis, apalagi menurut kajian JPPI program sekolah swasta gratis ini hanya memerlukan Rp100 triliun untuk seluruh Indonesia.
"Masyarakat itu kan punya hak ya. Apalagi sebagai pembayar pajak dan seterusnya. Itu sudah sebuah keniscayaan mestinya. Sekolah dasar wajib gratis," tegasnya.
Menurut dia, pemerintah perlu mulai mengkaji dan menghitung ulang pelaksanaan sekolah swasta gratis. Toh, ada dari kalangan masyarakat yang sudah menjalankan itu walaupun berskala kecil.
Realisasi sekolah gratis menurutnya penting. Sebab, pendidikan menurut Ubaid bukan hanya persoalan mengasah otak semata, tapi juga berhubungan dengan peningkatan sumber daya manusia secara keseluruhan untuk peradaban ke depan.
"Kalau daerah tersebut tidak tersentuh pendidikan, baik formal maupun informal ya, pasti kualitas sumber daya manusianya ikut buruk," ucapnya.
Selain itu, pendidikan bisa mempengaruhi beberapa faktor lain, misalnya pola pikir dan kemiskinan di suatu daerah. Meskipun bukan satu-satunya faktor, Ubaid menyebut data kemiskinan selalu berbanding lurus dengan tingkat pendidikan.
"Temuan di lapangan yang menunjukkan itu bahwa kantong-kantong kemiskinan itu banyak sekali, tidak ada sekolahan di situ, akses pendidikan masih susah gitu," katanya.