c

Selamat

Rabu, 24 April 2024

NASIONAL

22 April 2021

21:00 WIB

Merawat Potensi Anak Negeri

Indonesia memiliki banyak tunas-tunas muda yang berbakat dan diakui dunia di bidang sains dan teknologi. Merawatnya, sama dengan menjaga aset bangsa

Editor: Leo Wisnu Susapto

Merawat Potensi Anak Negeri
Merawat Potensi Anak Negeri
Ilustrasi artificial intelligence. Shutterstock/dok

JAKARTA – Abdurrahman Ayyas bergeming, ketika seorang guru di sekolahnya meminta dirinya bergabung ke tim robotik sekolah. Ayyas yang kala itu duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 5 Kota Bekasi jurusan elektro, kebingungan.

Ia tidak percaya diri. Ia buta dan awam tentang ilmu robotik. Sayangnya, ia tak bisa menolak permintaan sang guru.

Mau tidak mau, ia terpaksa mulai mempelajari ilmu robotik dan perlahan menemukan kesenangan. Sedikit demi sedikit, Ayyas tahu teknologi dan komponen dalam pembuatan robot sederhana.

Mula-mula, Ayyas dan teman-teman membuat robot adu banteng. Seperti namanya, robot tersebut tugasnya mengadu kekuatan. Layaknya olahraga sumo, robot yang berhasil menggiring musuhnya hingga melewati lingkaran arena adalah pemenangnya. 

Percaya diri dengan karyanya, Ayyas dan kawan-kawan mengikutsertakan robot adu banteng ke kejuaraan robotik tingkat regional Kota Bekasi. Tak disangka, karya pertamanya itu meraih gelar juara dua.

Ayyas dan kawan-kawan girang bukan main. Ia tak mengira, dari semula sama sekali tidak mengerti ilmu robotik, dalam waktu yang tak terlalu lama, ia bisa meraih prestasi di karya pertama.

"Dari situ saya tertarik banget (dunia robotika)," cerita Ayyas kepada Validnews, Senin (19/4). 

Minat Ayyas terhadap dunia robotik terus berlanjut hingga ke bangku kuliah. Sembari menjalankan studi elektro di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), Ayyas bergabung dengan tim robotik PNJ. Di titik ini, Ayyas sudah bertekad mengenal robot lebih jauh lagi, ketimbang yang sudah dipelajari di SMK.

Robot adu banteng yang dibuatnya di SMK, dikembangkannya menjadi robotic line follower. Robot ini bertugas bergerak mengikuti garis yang sudah ditetapkan. Robot dianggap tidak berhasil bila bergerak tidak sesuai jalurnya.

Karya ini kemudian mengadu nasib di kejuaraan tingkat nasional. Lagi-lagi, karya Ayyas meraih juara nasional.

Terlihat mulus, tapi prosesnya ternyata diakuinya tak semudah itu. Ada perjalanan panjang untuk bisa menghasilkan robot ciamik. Ayyas biasanya memulai proses dengan riset panjang, kemudian memilih teknologi yang akan digunakan.

“Butuh waktu minimal enam bulan untuk merakit sebuah robot,” kata Ayyas.

Untuk menciptakan suatu karakter robot, ia harus terlebih dahulu melakukan riset. Setelah itu, Ayyas memulai perakitan atau pekerjaan mekanik. Ini tahap paling sulit dan paling membutuhkan banyak waktu dalam proses pembuatan robot. Pasalnya, seluruh komponen robot harus dirakit dengan benar agar bisa berjalan sesuai rencana.

"Perhitungan mekanik itu penting banget, detail mekanik awal, setelah itu masuk ke program. Pengerjaan paling lama itu di mekaniknya," ujarnya. 

Senada, Ketua Soedirman Robotic Team Abu Bakar Shidik mengatakan, pekerjaan mekanik adalah fase paling krusial dalam pembuatan robot. Mereka harus fokus pada struktural robot, mulai dari bentuk dan penyesuaian keadaan sekitar, seperti rintangan yang harus dilalui.

Mahasiswa Fakultas Teknik Elektro Universitas Jendral Soedirman tersebut menjelaskan, setelah tahap mekanikal, barulah masuk ke tahap elektronik di mana robot akan dilengkapi sensor agar bisa bergerak. Fase terakhir adalah pemrograman.

Animo Tinggi
Seiring berjalannya waktu, ilmu robotik kian diminati masyarakat luas, khususnya anak muda. Antusiasme itu, menurut Shidik, tidak lepas dari perkembangan teknologi pesat di tengah revolusi industri 4.0 yang mengarah ke dunia digital. Bukan tidak mungkin semua pekerjaan konvensional akan dikerjakan secara otomatis oleh robot di kemudian hari. 

"Mau nggak mau manusia atau masyarakat saat ini harus mulai adaptasi dengan hal tersebut. Kita dipaksa mengikuti percepatan teknologi saat ini. Jadi sudah pasti ke depannya lebih ramai lagi yang meminati teknologi, khususnya robotika," ujarnya. 

Meningkatnya animo anak muda terhadap dunia robotik juga tidak lepas dari banyaknya kejuaraan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Kebanyakan dari mereka mulai tertarik setelah melihat langsung perlombaan yang diadakan pihak kampus. 

Shidik bilang, lomba robotik antaruniversitas di Indonesia, misalnya, terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2020, Soedirman Robotic Team meraih gelar juara tingkat nasional wilayah 2 kategori strategi terbaik, Kontes Robot ABU Indonesia (KRAI). Kala itu, Shidik dan kawan-kawan memboyong robot pemadam kebakaran untuk beraksi. Robot bertugas mencari titik api dalam sebuah ruangan.

Sayangnya, anak-anak muda kadung menganggap dunia riset dan teknologi sebagai sesuatu yang njelimet dan rumit. Belum lagi kesan eksklusivitas. Hanya fakultas dan bidang ilmu tertentu saja yang dianggap bisa membuat robot.

Padahal bagi Shidik, pembuatan robot tidak hanya bisa dikerjakan anak-anak Fakultas Elektro. Dalam sebuah tim, ada bagian mekanik yang bisa dikerjakan mahasiswa teknik mesin. Pada proses pemrograman, mahasiswa Teknik Informatika juga bisa turut andil. 

"Anggapannya yang bisa buat robot hanya anak teknik saja ternyata nggak. Jadi kami sosialisasikan, kami cari celahnya di mana, agar mereka bisa bergabung juga," urainya.

Berdasarkan pemantauannya, saat ini mulai banyak mahasiswa fakultas lain yang tergabung dalam tim robotik. Hal ini menandakan minat mahasiswa terhadap dunia teknologi semakin meningkat. Tinggal, bagaimana pemerintah dan pihak kampus bisa mendorong animo ini ke arah yang lebih baik. 

Di sisi lain, ilmu robotik saat ini masih belum secara detail masuk dalam kurikulum pembelajaran. Padahal di era 4.0 ini, menurut Shidik, mahasiswa harus dipaksa belajar  tentang teknologi di masa depan. 

"Menurut saya bagaimana ilmu robotika ini diterapkan di pendidikan dimasukan secara paksa ke kurikulum yang ada saat ini," ujarnya. 

Keinginan Shidik di atas bukan tanpa sebab. Pasalnya dunia robotik Indonesia sudah mulai diakui dunia internasional. Pada April 2019, tim robotik Indonesia yang diwakili mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) berhasil menang dalam "Trinity College Fire Fighting Home Robot Contest di Trinity College Hartford", di Amerika Serikat (AS).

Kala itu, UMM memenangkan dua kategori lomba yakni juara I dan II kategori robot berkaki dan juara II kategori robot beroda. Kemenangan ini menandakan, anak-anak Indonesia mampu berprestasi di dunia internasional dalam bidang teknologi.  

Kunci dari setiap kemenangan adalah riset yang matang dan pengembangan teknologi mutakhir. Dengan bekal itu, Indonesia bahkan bisa bersaing dengan China, kompetitor paling sulit di bidang robotik. 

Tidak Hanya Robotik
Prestasi anak-anak muda Indonesia di bidang teknologi tidak hanya dalam dunia robotik. Indonesia juga sempat dibuat kagum oleh Yusmar Purwoko. Pada tahun 2007, Yusmar yang baru berusia 14 tahun terpilih sebagai duta bangsa Indonesia dalam “International Exhibition for Young Inventor III” di India.

Yusmar yang masih duduk di kelas 3 SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta itu terpilih karena prestasinya di bidang sains dan teknologi. Yusmar berhasil menemukan alat detektor tsunami! Ya, sebuah penemuan yang menakjubkan berselang tiga tahun dari peristiwa tsunami Aceh tahun 2004.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kemudian menguji alat detektor tsunami milik Yusmar. Hasilnya, panitia seleksi tingkat nasional menyematkan gelar peringkat pertama untuk temuan Yusmar.

Sebelumnya, Yusmar juga telah menyabet juara III Lomba Teknologi Tepat Guna Tingkat Nasional Siswa SMP Tahun 2006 yang diselenggarakan LIPI.

Semua bermula dari kegemaran Yusmar membongkar mainan saat masih duduk di kelas 4 SD. Kala itu, Yusmar sering membongkar mainan mobil balap Tamiya-nya. Mesin Tamiya yang masih bisa bekerja baik dicopotnya, kemudian ia memodifikasinya menjadi sebuah kipas angin kecil. Baling-baling kipas diambil dari mainan yang lain. Sejak saat itu, Yusmar mulai menyukai hal-hal yang berbau mesin, listrik, dan elektronik.

Yusmar juga senang "main-main" dengan elektronik saat mencoba memperbaiki stik Playstation yang rusak. Yusmar membongkar stik PlayStation yang macet, kemudian mencoba memperbaikinya seorang diri. Alhasil, stiknya kembali berfungsi seperti sedia kala.

Hobi utak-atik tersebut kini beralih ke sepeda motor. Kini Yusmar memiliki hobi memodifikasi dan membongkar mesin kendaraan.

Hal ini tidak terlepas dari kecintaannya dengan pelajaran fisika saat si bangku SMP. Namun, ia lebih tertarik melakukan praktik-praktik fisika di laboratorium, ketimbang belajar teori di kelas.

"Di laboratorium saya bisa mulai mencoba-coba berbagai hal, bisa bereksplorasi. Praktik fisika sebenarnya sama dengan bermain sehingga tidak membosankan. Untungnya guru selalu mendukung kami mencoba hal-hal baru, " ujarnya sebagaimana dikutip dari laman LIPI.

Sebelum mengikuti kompetisi, Yusmar selalu mulai dengan pertanyaan: Apa yang paling dibutuhkan bangsa ini? Dengan begitu, teknologi sederhana yang ia ciptakan bisa bermanfaat bagi orang banyak. Hal itu yang ia terapkan saat pihak sekolah menyodorkan kepadanya brosur Lomba Teknologi Tepat Guna Tingkat Nasional yang diselenggarakan LIPI.

Kala itu kengerian tsunami Aceh masih membekas di benak masyarakat Indonesia pada 2007. Yusmar berpikir, seandainya ada alat pendeteksi tsunami, peristiwa tsunami di Aceh mungkin tidak akan memakan korban begitu banyak. Pendeknya, ia bertekad untuk menciptakan suatu alat, agar kejadian yang sama di daerah lain bisa sedikit mungkin menimbulkan korban jiwa dan materiil.

Yusmar lantas mencoba mewujudkan idenya itu melalui alat detektor tsunami sederhana. Dengan bimbingan guru sains sekolah, Muhammad Dukha, ia mulai membuat alat deteksi dini tsunami.

Teknologinya mungkin tidak terpikirkan para pakar gempa atau pakar lain, sederhana, tetapi "canggih". Yusmar hanya memasang dua magnet silinder yang disambungkan dengan elektrode. 

Kedua magnet itu digantung di atas permukaan laut. Saat ombak tsunami datang, magnet diterjang ombak hingga akan terdorong menyentuh elektrode. Dalam sekejap saklar sirene yang dihubungkan ke daratan akan meraung-raung dan lampu peringatan ikut menyala, memberi peringatan dini kepada masyarakat segera menjauhi pantai.

Kini teknologi yang digunakannya itu sudah mengalami penyempurnaan di beberapa bagian.

Yusmar berharap agar kian banyak siswa berani berkreasi membuat temuan-temuan baru. "Dengan begitu, bangsa kita tidak akan tertinggal dari bangsa-bangsa lain," imbuhnya.

dw

Kecemasan
Melihat fakta di atas, Indonesia seharusnya bangga memiliki anak-anak muda yang inovatif. Tinggal bagaimana kemauan pemerintah mengarahkan bibit-bibit potensial ini untuk bisa terus berkarya.

Sayangnya, kini muncul kekhawatiran, dengan keputusan pemerintah menggabungkan Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sejumlah pihak khawatir penggabungan ini akan mengerdilkan ilmu riset dan teknologi.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza memandang, penggabungan Kemenristek Dikti dengan Kemendikbud akan mengurangi efektivitas pengelolaan aspek riset dan teknologi di masa depan, mengingat usia badan yang masih seumur jagung.

Terlebih, cakupan Kemendikbud di indonesia sudah sangat luas, mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan vokasi, pendidikan dasar, kebudayaan, dan lainnya. Penggabungan hanya akan mengaburkan focus kementerian yang punya organisasi gemuk.  

"Apabila digabung dengan ristek dikhawatirkan akan mempersulit Kemdikbud-Ristek menjalankan tugasnya, karena cakupan kerja yang luas dan adanya kebutuhan koordinasi yang baik," jelas Nadia kepada Validnews, Selasa (20/4). 

Nadia menambahkan, riset dan teknologi tidak hanya berkaitan dengan isu pendidikan, tapi juga harus bersinergi dengan kementerian-kementerian dan lembaga lainnya. Dikhawatirkan kementerian dan lembaga akan sulit berkoordinasi sehingga menghambat kinerja ristek yang telah bergabung dengan Kemendikbud.

Menurut Nadia, kini semakin banyak anak muda yang menggeluti bidang-bidang teknologi dan riset, terutama di perguruan tinggi. Jika dua kementerian di atas digabung, ia hanya bisa berharap ada dampak positif terhadap peningkatan pemanfaatan riset dan teknologi.

"Akan tetapi, perlu diingat bahwa kebijakan ini bisa menjadi pisau bermata dua. Terutama apabila Kemendikbud-Ristek secara institusi terbebani dengan tanggung jawab yang semakin banyak," urainya.

Kini, semua kembali ke tangan pemerintah. Ayyas, Shidik, Yusmar dan banyak anak-anak muda cerdas lainnya hanya contoh kecil bahwa anak Indonesia punya potensi dan kemampuan yang cemerlang dalam bidang riset dan teknologi.

Apapun kebijakan dan strategi pemerintah, sudah selayaknya bisa menciptakan atmosfer dan ekosistem yang baik untuk mengakomodasi segenap potensi dari pemuda-pemuda agar merasa aman berkreasi.

Bukan tidak mungkin ilmuwan-ilmuwan cilik yang sekarang masih duduk di bangku sekolah bakal menjadi ilmuwan bangsa di masa depan. Jangan sampai, talenta-talenta muda yang ada, justru tercerabut dari akarnya atau dimanfaatkan oleh negara lain dan kita sebagai bangsa, lagi-lagi hanya jadi penonton sekaligus konsumen dari teknologi yang terus berkembang. (Dwi Herlambang)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar