03 Oktober 2025
20:30 WIB
Merancang Bekal Untuk Napi Selepas Bebas
Stigma terhadap para eks napi di masyarakat diharapkan terkikis, agar perbaikan diri yang selama ini yang dilakukan para napi di lapas tidak menjadi sia-sia.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Rikando Somba
Sejumlah napi perempuan mengikuti pelatihan Garis Hitam Project di Lapas Perempuan Mamuju, Sulawesi Barat. dok. Garis Hitam Project
JAKARTA - Sejumlah perempuan dalam sebuah video pendek terekam sedang asyik memperhatikan kerja penata rias memoles wajah seseorang. Kadang, si penata rias akan berhenti sejenak, guna menerangkan cara pakai alat tata rias yang sedang dipegangnya.
Para perempuan tersebut memang tengah mengikuti pelatihan tata rias. Mereka siang itu diajarkan memahami alat dan produk tata rias, teknik mengaplikasikan alas bedak, teknik membentuk alis yang presisi, lalu teknik perona mata dan perona pipi yang harmonis. Semuanya tampak antusias mengikuti.
Nuansa santai namun serius sangat terlihat. Hanya saja, mereka berlatih sambil diawasi. Sebab, tempat itu bukanlah tempat kursus biasa. Pelatihan tata rias ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas III Mamuju, Sulawesi Barat. Seluruh peserta pelatihan berstatus warga binaan.
Pelatihan tata rias ini kerap diadakan Garis Hitam Project bersama pihak lapas dan sejumlah penata rias profesional di Sulawesi Barat.
Pendiri Garis Hitam Project, Achmad Nur menjelaskan, pelatihan ini mereka adakan untuk membantu napi perempuan membuka peluang di masa depan. Para perempuan itu berhak memiliki kesempatan kedua untuk berkarya dan mandiri. Mereka harus punya bekal di masa mendatang, selepai menjalani hukuman.
“Kami menyadari peran perempuan ini sangat vital dalam keluarga, tapi di sisi lain perempuan ini adalah kaum rentan,” jelas Achmad Nur kepada Validnews, Minggu (28/9).
Mantan napi perempuan menurutnya akan lebih sulit untuk berintegrasi kembali dalam masyarakat dan dunia kerja ketimbang laki-laki. Makanya, Garis Hitam Project merasa perlu untuk bermanfaat buat mereka.
Bukan hanya pelatihan tata rias yang mereka berikan untuk napi perempuan. Ada juga pelatihan nail art, menganyam, membuat roti, hingga menjahit. Untuk beberapa pelatihan, Garis Hitam Project akan melibatkan pihak lain yang punya kegelisahan yang sama. Contohnya, pelatihan tata rias. Penata rias profesional ikut terlibat.
Terkait alat dan bahan untuk pelatihan, Garis Hitam Project dan pihak lapas sejauh ini memenuhinya secara bergantian.
Menghilang Selepas Bebas
Lapas Perempuan Mamuju sendiri dihuni 40-an warga binaan dengan bermacam kasus, mulai dari korupsi, narkoba hingga pembunuhan. Meski begitu, tidak semuanya mau ikut kegiatan Garis Hitam Project ini. Sedikit banyaknya jumlah peserta pelatihan sangat tergantung dengan tema pelatihan. Kalau menurut mereka temanya menarik, pelatihan akan ramai peserta.
Besarnya rasa khawatir juga turut mempengaruhi semangat warga binaan mengikuti pelatihan.
“Jadi, kadang-kadang kita juga membantu mengenai mentalitasnya, psikologisnya. Sebab ada juga yang sangat merasa terpukul dengan statusnya sebagai napi, karena ada kekhawatiran nanti kalau keluar itu bagaimana, stigma masyarakat itu bagaimana,” ucapnya.
Achmad juga menemukan napi perempuan di Lapas Mamuju tidak semuanya bisa berbahasa Indonesia. Karena itu, ia rela menerjemahkan materi yang diajarkan ke bahasa Indonesia, agar napi yang terkendala bahasa tertarik ikut pelatihan.
Kadangkala Achmad juga menyiapkan hadiah agar napi antusias. Biasanya, hadiah yang disiapkan berisi makanan dan perlengkapan mandi. Selain itu, bahan-bahan yang berkaitan dengan pelatihan kerap disiapkan agar napi bisa produktif dalam lapas. Produk yang mereka hasilnya biasanya akan dibawa ke acara pameran, atau akan dijual melalui Instagram Garis Hitam Project.
“Kami kasih bahan, mereka buat tudung saji khas daerah, lalu kita jual lagi,” ujarnya.
Uang dari produk yang terjual dipastikan Achmad akan dikirim ke tabungan masing-masing napi. Uang itu biasanya dipergunakan napi untuk membeli perlengkapan mandi atau cemilan.
Achmad senang mendapati ada perempuan eks napi yang kini berhasil memanfaatkan pelatihan ini untuk mendapat penghasilan saat bebas. Eks napi tersebut kini sering dilibatkan tiap kali komunitas mengikuti acara.
“Ada dua mantan napi berasal dari Mamuju. Dia punya usaha kue. Kalau kita ada kegiatan, kita ambil kue dari mereka,” tambahnya.
Sayangnya, tidak semua napi mau menampakkan diri selepas bebas dari lapas. Garis Hitam Project agak kesulitan mengetahui nasib mereka kini. Hanya beberapa yang mau menjaga komunikasi. Selebihnya, banyak yang memilih menyembunyikan identitasnya.
Mereka, setahu Achmad, masih khawatir dengan identitasnya sebagai eks napi. Khawatir statusnya berpengaruh terhadap penerimaan mereka di tengah masyarakat.
Kalau saja tidak ada kekhawatiran itu, Achmad yakin para eks napi itu mau menjalin kontak dengan komunitasnya sesudah bebas. Keyakinan Achmad didasari pada pengalamannya mondar-mandir ke lapas yang sama sejak tahun 2019.
“Rata-rata napi itu ibu-ibu. Makanya, kalau kita ke dalam itu diperlakukan kaya anak sendiri. Jadi suasana kekeluargaan itu sangat kental sekali,” akunya.
Menerima Banyak Cerita
Achmad memang terbilang akrab dengan para napi. Ia sering menghabiskan waktu sampai sore hari di lapas tiap ada agenda pelatihan. Padahal, pelatihan kelar jam 12 siang, Achmad tidak langsung beranjak pulang. Dia pasti akan menyempatkan diri untuk mengobrol dan bercanda dengan para napi. Terkadang, ia juga akan ikut nonton bareng film bersama mereka.
Ada napi yang jadi terbiasa curhat tentang keluarga padanya. Termasuk salah satu napi kasus korupsi yang ternyata ibu dari teman sekolahnya.
Achmad dulu kerap bermain dengan anak ibu ini, bahkan sering menginap di rumahnya. Karena itu, Achmad sedih mengetahui Ibu itu ditahan.
“Dia pakai masker, mungkin agak malu. Pas bicara itu kelihatan banget kacamata berembun, sambil nangis ngobrol. Dia cerita sulit menghubungi anaknya, karena di lapas menelepon dibatasi. Dia juga titip pesan agar informasi dirinya di lapas tak diketahui orang lain,” cerita Achmad.
Ia juga mengatakan, ada napi yang bercerita terpaksa mengaku melakukan kejahatan, agar suaminya yang sebetulnya bersalah bebas. Hal itu dilakukan supaya suaminya bisa mencari nafkah untuk anaknya. Ironisnya, selang beberapa lama napi ini ditahan, suaminya justru menikah lagi.
Achmad juga mendapat cerita dari seorang perempuan yang membunuh suaminya karena kerap mendapat kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan ini sebetulnya ingin memakai jasa pengacara agar setidaknya bisa mengurangi hukumannya, namun tidak bisa dilakukan karena tak punya uang.
“Ada juga napi yang cerita, karena sudah diketahui warga dia masuk penjara, usaha jual-beli motor bekasnya langsung tutup. Kaya diblokir warga usahanya. Tidak ada yang mau datang lagi ke showroom-nya,” katanya.
Kenyataannya, anggapan pelaku kejahatan dianggap aib lingkungan itu masih kentara di banyak daerah. Maka tak mengherankan, ada rumah pelaku pembunuhan atau pelecehan seksual dihancurkan warga.
Kedekatan Achmad dengan para napi membuatnya kerap dicari-cari jika lama tak datang ke lapas. Ketika hendak pulang dari lapas pun, Achmad kerap dititip pesan untuk membawa kue di pertemuan selanjutnya.
Para napi, aku Achmad, juga ada yang ingin meminjam uang kepadanya. Khusus permintaan ini Achmad akan menolaknya. Sambil bercanda ia akan berkata, jika meminjamkan uang, maka pelatihan selanjutnya tidak akan bisa dilaksanakan.
Dalam beberapa kesempatan, ASN ini memang menggunakan uang pribadi untuk aktivitas Garis Hitam Project. Hal yang juga dilakukan oleh lima pengurus Garis Hitam Project lainnya.
Garis Hitam Project dipastikan Achmad bukan tempat untuk mencari uang. Oleh karena itu, tiap kali pelatihan, yang diusahakan diadakan sebulan sekali itu, pasti ada beberapa pengurus yang tidak dapat hadir karena sedang bekerja.

Menampung Eks Napi
Kegiatan tak jauh berbeda dilakukan Raya Riki Firmansyah di Tangerang. Riki yang merupakan eks residivis, juga rela menyempatkan waktu untuk memotivasi para napi di lapas.
Setidaknya, dua kali dalam setahun Ketua Yayasan Anugerah Insan Residivist (YAIR) cabang Tangerang ini memberi motivasi di lapas di Tangerang, Serang, dan Cilegon. Riki sadar dirinya sebagai mantan napi bisa menjadi contoh bahwa napi bisa berubah.
Riki bercerita, jumlah napi dalam satu lapas yang mengikuti motivasinya berbeda-beda. Lapas perempuan berisi 15-20 napi, sementara lapas lak-laki bisa sampai 100 orang.
Ketika memberikan motivasi, Riki selalu mengingatkan para napi untuk berubah untuk keluarga di rumah yang menantinya.
“Saya bilang, saya sudah keluar masuk penjara. Tidak enak dipenjara. Jadi saat kalian keluar, manfaatkan kesempatan itu. Perubahan memang sakit, tapi akan lebih sakit jika tidak berubah. Setelah pulang niatkan di hati berubah lebih baik’,” ujarnya saat ditemui Validnews di Rumah Singgah YAIR cabang Tangerang, di Tangerang, Rabu (24/9).
Pelatihan setahu Riki selalu didapat napi di lapas, tapi masalah utamanya sebetulnya adalah masa-masa ketika napi itu bebas. Eks napi kerap bingung mencari pekerjaan. Di sisi lain, ada penolakan dari masyarakat, bahkan ada yang keluarganya menolak kehadirannya. Untuk itu, Riki biasanya kerap berpesan untuk napi bahwa mereka bisa datang ke YAIR saat bebas kelak.
Yayasan yang berdiri pada 2018 ini memang dibuat sebagai wadah pembinaan dan pelatihan bagi para eks napi. YAIR juga menjadi wadah para eks napi untuk memperbaiki diri dan memperbaiki stigma di masyarakat.
Yayasan yang dulu bernama komunitas Ex Residivist ini juga menyediakan rumah singgah bagi eks napi yang tidak mendapat tempat di masyarakat dan ingin belajar. Ada rumah singgah di Tangerang yang bisa ditempati eks napi. Salah satunya kediaman keluarga Riki yang biasanya ditempati 10 eks napi.
Memang, saat Validnews mendatangi rumah singgah YAIR di Tangerang, usaha pecel ayam dan es kelapa tampak ada di dekatnya. Selain usaha pecel ayam, ada juga eks napi yang memproduksi pot dan sandal untuk dijual. Semua usaha itu ternyata dikelola oleh eks napi yang tergabung dengan YAIR. Mereka semua berupaya memperbaiki hidup.
Riki mengatakan modal dari seseorang agar dapat digunakan eks napi membuka usaha. Dana itu dipakai untuk membangun usaha pecel ayam dan es kelapa. Setiap hari, para eks napi yang berdagang itu hanya tinggal menyisihkan Rp20-30 ribu dari penghasilannya ke YAIR untuk uang kas.
Uang kas itu akan dikumpulkan untuk membuka usaha untuk eks napi lainnya. Riki berharap sekitar area dagang itu akan diisi beragam deretan usaha eks napi lainnya.
Riki juga mengaku belakangan ini kerap mendapat uang transportasi ketika memotivasi napi di lapas. Pada masa awal YAIR cabang Tangerang terbentuk, Riki tidak mendapatkan uang itu.
Uang transportasi itu akan digunakan Riki untuk menghidupi eks napi yang tergabung dalam YAIR. Eks napi yang bergabung di YAIR sebanyak 200-an orang, tapi yang aktif tidak sampai 50 orang.
Saran Pindah Setelah Bebas
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, salah satu faktor eks napi melakukan kejahatan berulang adalah untuk bertahan hidup. Kemudian, faktor pergaulan yang salah, dan faktor stigma terhadap orang-orang yang sudah pernah berurusan dengan hukum.
“Faktor ini berkombinasi membuat orang melakukan hal yang sama terus, kesalahan yang sama terus. Dia ditolak di masyarakat, dia akhirnya bergabung ke kelompoknya,” jelasnya, Selasa (30/10).
Oleh karena itu, pelbagai pelatihan yang diadakan untuk napi di lapas menurutnya hal yang positif untuk bekal ketika bebas nanti. Hanya saja, agar si napi tidak mengulangi perbuatannya, Rissalwan menyarankan agar si napi pindah dari daerahnya begitu bebas. Jadi, ia tidak berinteraksi lagi dengan orang-orang salah yang sama sebelum dia masuk penjara.
“Nah, ini mungkin bagus juga nih kalau menteri transmigrasi itu melihat potensi bahwa untuk mengurangi perilaku kriminal bagi para residivis, ya mereka dipindahkan,” ujarnya.
Selain itu, ia juga berharap stigma terhadap para eks napi dapat dikikis di masyarakat, agar perbaikan diri selama ini yang dilakukan para napi di lapas tidak menjadi sia-sia.
“Jadi lapas harusnya juga menyiapkan, bukan hanya orang yang di dalam lapasnya, tapi masyarakat di mana orang warga pembinaan itu nanti akan kembali,” ucapnya.
Karena kini sudah ada kementerian yang mengurus lapas, Rissalwan berharap pembinaan dapat dikuatkan ke depannya.
“Pembinaannya diperbaiki, artinya dipersiapkan orang yang mau keluar. Harus disiapkan juga masyarakat untuk menerima warga-warga binaan yang sudah baik, supaya mereka tidak balik lagi melakukan kejahatan,” pungkasnya.
Berdasarkan data laman Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, per 2 Oktober 2025 total penghuni tahanan dan napi di Indonesia mencapai 277.597 orang. Jumlah ini melebihi kapasitas yang semestinya hanya memuat 147.477 orang.
Angka ratusan ribu warga binaan itu rinciannya 6.820 orang di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP), 2.360 orang di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), 75.687 orang di rutan, dan 192.730 orang di lapas.
Sejauh ini, hanya LPKA yang tidak kelebihan kapasitas. Pasalnya, kapasitas LPKA menampung 4.098 orang. Sedangkan yang lain melebihi kapasitas, karena kapasitas LPP hanya 5.086 orang, rutan 37.913 orang, dan lapas 100.380 orang.
Secara gender, jumlah penghuni didominasi laki-laki. Tercatat penghuni laki-laki mencapai 263.677 orang, sedangkan perempuan sebanyak 13.920 orang.
Jumlah penghuni terbanyak berada di Sumatra Utara dengan 32.067 orang. Disusul Jawa Timur dan Jawa Barat dengan 27.330 orang dan 26.233 orang. Terbanyak keempat dan kelima ditempati Riau dengan 16.014 dan Jawa Tengah dengan 15.886 orang.