c

Selamat

Rabu, 22 Mei 2024

NASIONAL

26 September 2022

21:00 WIB

Menuntun Pulang Anak-anak Punk

Rata-rata anak punk berlatar belakang sama menyaksikan konflik rumah tangga dengan unsur kekerasan yang dominan

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Nofanolo Zagoto

Menuntun Pulang Anak-anak Punk
Menuntun Pulang Anak-anak Punk
Aktivitas anak punk di Tasawuf Underground. dok. Tasawuf Underground

JAKARTA – Lagi, lagi, lagi, dan lagi. Tanpa henti keributan terjadi di dalam rumah. Adegan kekerasan yang dilakukan ayah kepada ibu setelah pulang kerja selalu dilihat Muhammad Rizki nyaris saban hari. 

Kejadian mencekam berulang itulah yang mendorong Rizki- yang kerap disapa Bintang- terus keluar rumah. Bintang bahkan lebih sering tidur di depan masjid, saung atau pos ronda. Hidup Bintang yang semi nomaden ini sudah terjadi sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD). 

Bintang akhirnya terbiasa mencari ketenangan di dunia luar. Kemudian dia tertarik dengan balapan motor liar. Jadi, bergaullah Bintang dengan para pembalap liar. Lambat laun, pergaulan di luar rumah juga membawanya mengenal teman-teman baru; anak punk jalanan. 

Dia merasa nyaman dengan teman-teman di jalanan. Sampai-sampai dia rela menenggelamkan dirinya dalam pergaulan bebas. Sedari kelas tiga SD, Bintang sudah akrab dengan minuman keras. Begitu juga dengan obat-obatan terlarang, sudah biasa dikonsumsinya.

Bintang beberapa kali kedapatan pulang ke rumah dalam keadaan mabuk oleh sang ayah. Begitu dimarahi, Bintang malah berusaha melawan ayahnya. Pernah dia mencoba menyerang ayahnya dengan kopel. Akan tetapi, serangan Bintang tidak kena. Justru kopel itu dipakai ayahnya untuk memukulnya.

Sekolah Bintang berantakan. Tiga kali ia tidak naik kelas selama SD. Dia juga kerap dikeluarkan dari sekolah. Saat masih di sekolah dasar pula, kedua orang tuanya memutuskan bercerai. Walhasil. hidup Bintang semakin awut-awutan.

Ayahnya mengajaknya tinggal bersama, tetapi kemudian dia mencuri uang ayahnya buat modal keluar rumah. Ini dilakukannya saat duduk di kelas lima SD. 

Di luar rumah, Bintang merasakan kebebasan. Dian memutuskan ikut kelompok punk jalanan. Mengamen menjadi pilihannya untuk mendapatkan uang. Meski uang terbatas, dia tak lekang dari kebiasaan menenggak obat-obatan. Menurutnya, obat itu membuatnya berenergi sekaligus tidak merasakan lapar.  

Selama menjadi anak punk, ibunya berusaha mencari Bintang ke berbagai ke kota. Pencarian ini berakhir di Karawang, Jawa Barat. Salah satu temannya menghubungi, memberitahukan ibunya ingin bertemu. 

Dari sini, hubungan anak-ibu kembali terajut. Namun, kondisi itu tak lama. Sang ibu malah merasakan susah karena anak yang disayangi justru membebani, meminta uang untuk mabuk-mabukan.  

Belakangan, kehidupan Bintang berubah. Kehidupan pria yang tubuhnya dipenuhi tato ini berubah tiga tahun lalu setelah mengenal Tasawuf Underground. 

Pengajian Anak Punk
Informasi soal Tasawuf Underground didapat Bintang saat usianya 18 tahun. Waktu itu, dia dibangunkan seorang teman bernama Pongki, saat sedang tidur di Gondangdia, Jakarta. Pongki mengajaknya ke suatu acara yang tak disebutkannya. 

“Bangun-bangun sudah pagi nih. Dateng ke acara tuh di Tebet,” kata Bintang menirukan ucapan temannya itu saat berbincang dengan Validnews, Kamis (22/9).

Begitu sampai di lokasi, Bintang kaget. Ternyata acaranya berupa pengajian anak punk yang digelar di kolong jembatan. Karena sudah kadung datang, Bintang ikut saja. Beberapa kegiatan kelompok ini diikutinya. 

Dia bahkan mengaku pernah ia berzikir dalam keadaan mabuk. Akan tetapi, saat mabuk itu, dia merasakan lantunan zikir masuk ke sanubarinya. 

“Pas waktu lagi diam, istigfar, eh keinget masa lalu. Ada rasa pengen banget berubah,” ujarnya.

Kehidupan ‘agak baik’ ini tak berlangsung sama. Di Palembang, Bintang hampir kehilangan nyawa. Dia dituduh menghilangkan uang kolektif kelompok punk. Bintang dikeroyok 10 orang. Dia hampir tertusuk taring babi yang digunakan untuk menyerangnya.

Tubuh Bintang bonyok. Pongki, orang pertama yang diteleponnya langsung datang menjemput dan membawanya ke kantor Tasawuf Underground. Dari situ, Bintang dibawa ke rumah sakit. Singkat kemudian, dia akhirnya memutuskan bergabung di Tasawuf Underground. Di sana, dia mengobati ketergantungan terhadap obat-obatan.

Tasawuf Underground kental sekali dengan nuansa keislaman. Bintang belajar mengaji di sini hingga akhirnya bisa membaca Al-Quran. Video-videonya ketika membaca Al-Quran dibagikan di Facebook. Ibunya melihat video ini dan meneleponnya, menanyakan apakah itu benar dirinya.

Tak lama, hubungan Bintang kembali dekat dengan sang ibu yang kini tinggal di Ciamis, Jawa Barat. Setiap hari, ibunya selalu menanyakan kabar Bintang lewat HP. Bintang juga jadi sering mengunjungi ibunya. Kehidupannya berjalan normal, kini. 

Erlangga Febriansyah atau Rangga (26) punya cerita senada. Nasibnya berubah setelah ikut kelompok pengajian jalanan. Adalah Bintang yang mengajaknya untuk bergabung pada 2019 lalu. 

Semasa di jalan, obat-obatan menjadi hal yang tak terpisahkan. Saat mengonsumsi, Rangga merasa bersemangat mengamen. Namun obat itu, membuatnya gampang emosi dan tersinggung. Tak jarang, emosi ini berujung dengan perkelahian.

Rangga sama dengan Bintang, berasal dari keluarga broken home. Dia ikut budenya sedari kecil. Suatu ketika jiwanya berontak. Sekolah ditinggalkannya sejak bangku sekolah menengah pertama (SMP). Sejak itu, dia memutuskan keluar dari rumah. 

“Diusir mah gak. Tapi karena rasa ingin tahu berlebihan. Pengen di jalan mencari jati diri,” ungkap Rangga.

Dia baru berubah sejak masuk Tasawuf Underground. Selain sudah bisa mengaji, hubungan dengan orang tuanya juga semakin harmonis. 

Rangga kerap berkomunikasi dengan ibunya yang bekerja di Bangkok, Thailand. Begitupun dengan ayah yang juga berkomunikasi lewat telepon dan disambungkan oleh sipir lembaga pemasyarakatan. Ya, ayahnya sedang menjalani masa tahanan.

Yang lebih berbeda adalah Pongki yang kini berusia 34 tahun. Bekas anak punk jalanan paling senior yang bergabung dengan Tasawuf Underground ini kini berkuliah. Dia memilih program studi hukum di sebuah universitas swasta di Jakarta. Pria bernama asli Triana Nugra Permana ini juga berasal dari keluarga broken home

Semua yang kini ada di Tasawuf Underground punya cerita dan latar belakang hampir sama; sebelas-dua belas. Halim Ambiya, pendiri Tasawuf Underground mengutarakan, dirinya memang bertujuan membina anak punk jalanan. Dia memulai langkah pada 2012, hanya aktif di media sosial. Baru pada 2017 Tasawuf Underground menargetkan anak punk di jalanan. 

Semula, mereka dibinanya di kolong jembatan dan bisa tinggal di kantornya. Sampai akhirnya, tiga tahun terakhir, Tasawuf Underground punya pondok di Ciputat, Tangerang Selatan.

Satu hal yang pantang dilakukannya adalah tidak berusaha menasihati anak-anak punk yang dirangkulnya. Dalam benaknya tertera pemikiran, “orang tuanya saja tidak didengar, apalagi dia”.

Halim terbiasa memosisikan dirinya sebagai orang tua, guru dan sahabat bagi mereka. Kalau ada anak punk tersandung masalah hukum, dia akan membelanya. Begitu pun ketika ada yang sakit, Hakim akan merawatnya. Untuk situasi ini, dia akan bertindak layaknya orang tua.

Ketika awal berdiri, tim Tasawuf Underground terus-menerus mendatangi para anak punk, tak peduli mereka dalam kondisi sadar ataupun tidak. Bersama tim, ia menyewa mobil untuk membawa mereka. 

Namun, tak semua usaha yang dilakukan berjalan mulus. Ada saja anak punk yang kembali ke jalan. 

Faktor Keluarga
Dia mengamati mereka yang digamitnya. Penyebab utama mereka menjadi anak jalanan adalah keluarga yang berantakan. Setahunya, masalah utama dari anak punk adalah narkoba dan psikotropika. Namun kebanyakan mereka tidak terpapar narkoba berat karena anak punk tidak punya uang untuk membeli.

Untuk mengatasi kecanduan, mulanya Halim memberi mereka makan. Setelah itu adalah hidroterapi, terapi dengan air. Mereka diminta untuk mandi rutin untuk menjernihkan pikiran. Kebanyakan anak punk memang jarang sekali mandi. Bisa seminggu sekali sudah lebih dari ‘normal’.

Barulah setelah mereka bersih, Halim mengajak salat dan zikir bersama. Metode Halim ini sangat terkenal di kalangan anak-anak jalanan, yang menyebutkan “Ustaz Halim bisa bawa nge-fly tanpa gele”.

Sejauh ini, anak punk yang dibina Tasawuf Underground sudah mencapai 123 orang. Sekarang ada 45 orang yang aktif dibina, 26 di antaranya menetap di Pondok Tasawuf Underground.  Belakangan, kelompok yang awalnya relawan dari media sosial saja, sekarang sudah menjadi pondok pesantren khusus anak punk di bawah yayasan Bahjatun-Nufus. 

Ada sejumlah usaha yang dijalankan dari cucian kiloan, sablon, kafe, dan saat ini sedang membangun cucian mobil, warung kopi, dan bengkel. Semua pekerjanya adalah anak punk binaan Tasawuf Underground.


Salah satu anak asuh Tasawuf Underground sedang bekerja di salah satu kafe. ValidNewsID/Aldiansyah Nurrahman  


Rasa Aman
Terhadap upaya-upaya merangkul anak jalanan. Psikolog Anak dan Remaja, Gisella Tani Pratiwi mengamini, bahwa keluarga adalah pihak pertama berinteraksi dengan anak. Keluarga merupakan tempat anak mendapatkan kebutuhan dasar, baik secara psikologis maupun fisik.

Maka bila keluarga memiliki kondisi dan karakteristik pengasuhan yang tidak menciptakan rasa aman secara emosional, si anak akan mencari ruang atau relasi lain yang dirasa lebih mengisi kebutuhannya. Pada fenomena anak jalanan secara umum, ditemukan bahwa faktor konflik keluarga tanpa resolusi yang tepat, dengan kekerasan atau pengabaian, menjadi salah satu faktor yang mendorong mereka terjun ke jalanan. 

Konflik dalam keluarga sebetulnya tidak dapat dielakkan. Namun, yang perlu direfleksikan orang tua adalah apakah konflik keluarga disertai resolusi masalah yang tepat dan sehat.  Sebaliknya, dalam resolusi yang sehat justru akan menambah kemampuan anak dalam kehidupannya kelak.

“Hindari kata-kata yang menyiratkan pengabaian akan keberadaan anak. Misalnya hindari kata kata, ‘Anak siapa sih kamu bisa bandel begini?’ atau ‘Sudah sana, minggat saja, jadi anak tidak berguna’,” jelasnya, Sabtu (24/9).

Hal semacam ini meski tampak sederhana, sebenarnya diserap anak sebagai penolakan dari orangtua.

Apa yang dilakukan kelompok Tasawuf Underground dinilainya sebagai cara mengganti kehilangan anak akan orang tua. Karenanya, mengasuh tetap menjadi penting tegas dan jelas dengan menerapkan aturan kepada anggotanya. Apa yang dicari di rumah dan tak didapatkan anak-anak punk, ditemukan lewat kelompok tersebut.

Baik Halim maupun Gisella berpandangan sama. Orang tua harus membangun komunikasi yang terbuka dan merangkul anak. Jadi, mereka tahu, meski ada masalah besar dalam keluarga, rasa aman dan kasih sayang masih diberikan oleh orang tua. Jika tidak, jalanan bisa menjadi muara pelarian tanpa ujung anak-anak tersebut.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar