c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

19 Maret 2024

21:00 WIB

Menunggu Pijar Listrik Di Pelosok Negeri

Buat beberapa daerah, akses listrik masih jadi mimpi. Pilihan teknologi pembangkit mesti ditimbang hati-hati.

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy, Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Leo Wisnu Susapto

Menunggu Pijar Listrik Di Pelosok Negeri
Menunggu Pijar Listrik Di Pelosok Negeri
Foto udara panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Desa Teluk Sumbang, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Senin (23/10/2023). Antara Foto/Fakhri Hermansyah

JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2020 lalu menargetkan rasio elektrifikasi nasional atau keterjangkauan listrik bisa mencapai 99,99% di akhir tahun yang sama. Dicanangkan, pada akhir tahun itu, sudah hampir semua wilayah di pelosok negeri bisa menikmati pijar listrik. Kenyataannya, hingga hari ini target tersebut belum bisa tercapai. 

Empat tahun berselang, persoalan ini mencuat kembali. Adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mempersoalkan rasio elektrifikasi ini. Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto dalam agenda bersama dengan Kementerian ESDM dan PLN menyuarakan protesnya. 

DPR menilai pemerintah tidak sungguh-sungguh menjalankan program tersebut, karena canangkan target 100% ditetapkan akan dicapai pada 2020.

Mulyanto menyebutkan janji pemenuhan elektrifikasi nasional pada 2020 hanya angin surga belaka. Sampai hari ini sudah lewat hampir 4 tahun janji itu belum terwujud, dan rasio elektrifikasi hanya bertambah sedikit. 

“Slogan listrik yang berkeadilan yang digaungkan pemerintah itu cuma omong kosong belaka. Sejak Indonesia merdeka sampai hari ini masih banyak rumah tangga Indonesia yang tidak dapat menikmati terangnya listrik. Sehari-hari hidup dalam gelap gulita di malam hari,” cetus Mulyanto usai FGD terkait peningkatan rasio elektrifikasi dengan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM dan Dirut PLN, Kamis lalu (14/3).

Ya, persoalan ini memang unik, karena pada saat sama, pemerintah sangat menggebu menyerukan penggunaan kendaraan listrik sampai ke daerah.

Anggota Fraksi PKS ini menyebutkan, dua hal yang menjadi hal bertentangan atau paradoksal. Pada 2024 ini, tidak ada PMN (penyertaan modal negara) buat PLN yang didedikasikan untuk peningkatan rasio elektrifikasi nasional.

Selain itu, program bantuan pasang baru listrik (BPPL) tahun 2024 juga hanya sebesar 80.000 rumah tangga dari yang direncanakan sebesar 200.000 rumah tangga. Padahal data rasio elektrifikasi PLN mutakhir adalah sebesar 98.33% atau sebanyak 1.4 juta rumah tangga Indonesia masih belum dapat menikmati listrik.

Apa yang dilihat anggota DPR di atas, beda dengan apa yang dicermati Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Sebagai pengamat, Fabby meyakini, data rasio elektrifikasi Indonesia sudah mencapai lebih dari 99%. 

Akan tetapi, dia mengamini masih banyak rumah tangga yang belum menikmati energi listrik. Seperti di daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Contohnya, penduduk di daerah Indonesia bagian Timur seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di banyak pelosok lain, rasio elektrifikasi disebutnya bisa di bawah 80%.

Namun, Fabby mengamini, menuntaskan rasio elektrifikasi hingga 100% bukan lah hal mudah. Ada kendala menjangkau daerah-daerah tertentu.

"Seperti Papua, ada beberapa kendala,” ujar Fabby yang kerap menyuarakan pentingnya mengoptimalkan energi terbarukan  (EBT) itu, Minggu (17/3).

Minimnya sarana prasarana, biaya konstruksi yang tinggi, kepadatan penduduk yang rendah, dan keragaman budaya yang ekstrem, menjadi kendala elektrifikasi. Selain itu, beberapa provinsi di Papua kondisinya tidak terlalu aman sehingga menyulitkan pembangunan infrastruktur di sana.

"NTT juga sama. Penduduknya tersebar, sehingga penyediaan listrik menjadi satu tantangan tersendiri," tambahnya.

Dia juga menyoroti kualitas ketenagalistrikan. Sebab, meski rasio elektrifikasi tinggi, tapi kualitas ketenagalistrikan di setiap sistem berbeda.

Dia menjelaskan bahwa Bank Dunia telah mengembangkan model pengukuran multi-tier framework (MTF). Yaitu, untuk mengukur akses listrik rumah dengan fokus durasi ketersediaan listrik, kecukupan listrik, dan kegunaan listrik. Model pengukurannya dibagi lima tingkatan dimana semakin tinggi tingkatan semakin baik pula kualitas akses.

Di Jawa, misalnya, masyarakat bisa menikmati listrik 24 jam sehari tujuh hari seminggu. Di luar Jawa, meski sudah jauh membaik dalam sepuluh tahun terakhir, masyarakat belum selalu bisa mendapat listrik selama 24/7.

Di sisi lain, masyarakat luar Jawa mungkin hanya menerima listrik kurang dari 18 jam sehari atau kurang dari tujuh hari dalam sepekan. Karena infrastruktur dan kapasitas listrik yang terbatas, sehingga, ketika ada pembangkit yang harus dirawat atau mengalami gangguan, pemadaman listrik terjadi. 

Contohnya, di sistem Sulawesi, dengan adanya El Nino menyebabkan debit air pada PLTA berkurang. Alhasil, di Sulawesi kerap terjadi pemadaman.

Dia mengamini, sejatinya listrik amatlah krusial, utamanya di Indonesia timur. Diyakini, adanya listrik akan mengoptimalkan pertanian dan perkebunan di sana.

Karena ketiadaan listrik, masyarakat di Papua dan NTT yang biasa menanam kopi atau kemiri tak bisa mengolah hasil panen dengan mesin listrik. Kopi hanya dijual mentah dengan harga tidak terlalu tinggi. Akibatnya, potensi ekonomi daerah tidak berkembang.

Selain itu, kurangnya listrik juga berdampak pada kualitas pendidikan di daerah. Terlebih, pembelajaran banyak dilakukan dengan mengadopsi teknologi digital dan berbasis internet. Tanpa listrik, sekolah tidak bisa mengoperasikan komputer, proyektor, dan lainnya.

Kendala Elektrifikasi
Beragamnya kendala terhadap pemenuhan 100% wilayah teraliri listrik diungkapkan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P Hutajulu. Dia membeberkan, meski secara data, pada 2023, rasio elektrifikasi (RE) mencapai 99,78%, dan rasio desa berlistrik (RD) saat ini telah mencapai 99,83%, masih ada wilayah yang tak teraliri listrik.

“Ada beragam kendala memenuhi rasio elektrifikasi dan Rasio Desa Berlistrik hingga 100%,” papar Jisman, dalam jawaban tertulis yang diterima, Sabtu (16/3).

Salah satunya, lanjut Jisman, aksesibilitas di remote area atau daerah terpencil. Kondisi semacam ini banyak terdapat di Indonesia bagian Timur.

“Karena itu, pemerintah fokus untuk meningkatkan elektrifikasi di wilayah tersebut,” imbuh dia.

Lalu, bagaimana pemenuhan target itu dilakukan?

Dia memaparkan, targetnya, lanjut dia, tahun 2025 masalah akses listrik di seluruh Indonesia, termasuk daerah 3T. Anggaran yang dibutuhkan untuk program 2024-2025 itu mencapai Rp22,08 triliun. Jumlah itu dipilah, 55,59% untuk memperluas jaringan transmisi PLN ke wilayah-wilayah yang saat ini belum teraliri listrik.

Kemudian, 44,33% untuk membangun pembangunan pembangkit komunal. Pada umumnya, pembangunan pembangkit komunal akan menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) ditambah baterai, dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) sebesar 1,3 MW di 20 lokasi.

“Sisanya, untuk yang 0,08% akan digunakan untuk program APDAL (Alat Penyalur Daya Listrik) dan SPEL (Stasiun Pengisian Energi Listrik) yang diperuntukkan di daerah yang sulit dijangkau,” kata Jisman.

Selain masalah aksesibilitas, ada juga masalah lain, yakni ketidakmampuan masyarakat untuk biaya pasang baru listrik. 

Terhadap masalah ini, pemerintah mencoba program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL). Jadi, keluarga yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), berdomisili di daerah 3T dan atau memenuhi kriteria sebagai calon penerima BPBL, bebas biaya pemasangan listrik. Ditambah, mendapat biaya pemeriksaan instalasi dan penerbitan Sertifikat Laik Operasi (SLO).

Program ini diinisiasi pada 2022. Seperti dilakukan di 1.500 rumah tangga tidak mampu Papua Barat Daya. Total, hingga 2023, program ini berhasil membantu lebih dari 200 ribu rumah tangga di seluruh Indonesia mendapatkan aliran listrik, termasuk di daerah 3T. Rinciannya, 131.600 rumah pada 2023 dan 80.183 pada 2022.

Pemerintah juga memperluas jaringan (grid extension) di desa yang dekat dengan jaringan distribusi eksisting. Program ini menjadi pilihan utama pemerintah. Hal ini dilakukan untuk mengganti lampu-lampu LTSHE sebelumnya dan melistriki desa berlistrik non-PLN. Juga, membangun mini grid dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan. Ini dilakukan untuk daerah yang sulit dijangkau melalui perluasan jaringan listrik PLN dan masyarakatnya bermukim secara komunal.

“Program ini khusus untuk melistriki desa yang belum berlistrik yang masyarakatnya bermukim tersebar atau scattered, sehingga tidak dimungkinkan dibangun jaringan listrik maupun mini grid,” kata Jisman. 

Terakhir, pemerintah juga mendorong peningkatan porsi pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. 

Tinggi di Pulau Besar
Sebagai pelaksana, perusahaan plat merah yang memegang mandat untuk mengusahakan kelistrikan, PLN tetap optimistis, menargetkan rasio elektrifitas Indonesia bisa mencapai 100% pada tahun 2025 mendatang.

Executive Vice President Komunikasi Korporat & TJSL PLN, Gregorius Adi Trianto mengatakan, pihaknya terus berupaya menyediakan akses listrik secara merata ke seluruh wilayah Indonesia. 

“Upaya pemerataan listrik di seluruh daerah sudah dilakukan secara masif sejak tahun 2019 lalu. Hal itu terlihat dari yang semula jumlah pelanggan rumah tangga hanya 69,62 juta, tumbuh menjadi 80,56 juta pada triwulan III tahun 2023 atau meningkat sebesar 15,72 persen,” kata Greg dalam jawaban tertulis pada Senin (18/3).

Gregorius mengatakan, untuk saat ini seluruh kepulauan besar dan pusat pemerintah daerah sudah dialiri listrik yang andal. Namun, diakui memang untuk daerah-daerah terpencil dan daerah yang masuk ke dalam kawasan 3T, masih ada yang belum teraliri listrik. 

Selain akses pembangunan infrastruktur listrik yang sulit di daerah tersebut, masyarakat tinggal secara menyebar juga menjadi penyebab mahalnya biaya yang cukup besar untuk membangun infrastruktur listrik.

Seperti diungkapkan Jisman, Untuk mempermudah akses masyarakat terhadap listrik, pihaknya pun memfokuskan sumber energi lokal yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Mulai dari pemanfaatan air untuk dijadikan pembangkit hidro, pemanfaatan energi matahari yang dijadikan pembangkit tenaga surya, termasuk mengombinasikan pembangkit hidro dengan tenaga surya.

Jika memang tidak ada sumber energi yang bisa dimanfaatkan, PLN akan menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sebagai upaya terakhir.

Gregorius menyebutkan, saat ini 83.763 desa dan kelurahan di Indonesia sudah teraliri listrik. Dari jumlah ini, 76.679 desa sudah berhasil dilistriki oleh PLN. Sedang 4.057 desa sudah berlistrik non PLN, dan 2.887 desa menggunakan lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE).

Sepanjang 2023, PLN, katanya, telah berhasil melistriki sebanyak 76.900 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia, khususnya di daerah 3T. Desa dan kelurahan tersebut berhasil dialiri listrik melalui program listrik desa (lisdes).

Pemenuhan target elektrifikasi dibesut lewat Program Listrik Desa. Biayanya memanfaatkan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang memang dikhususkan untuk membangun infrastruktur listrik di daerah. 

Untuk tahun 2024 ini saja, PLN mendapat alokasi PMN tunai sebesar Rp. 5,86 Triliun. Alokasi PMN ini akan digunakan untuk melistriki 2097 desa di seluruh Indonesia, dengan pembangunan jaringan tegangan rendah sepanjang 4.363 kilometer sirkuit (kms), jaringan menengah lebih dari 7.500 kms, dan peningkatan rasio desa berlistrik menjadi 96,19%.

Anggaran tersebut akan dibagi untuk membangun jaringan listrik di sejumlah daerah. Rinciannya, sebesar Rp0,98 triliun untuk pembangunan jaringan distribusi di Sumatra, sebesar Rp2,31 triliun untuk pembangunan jaringan distribusi di Kalimantan, sebesar Rp0,89 triliun untuk pembangunan jaringan distribusi di Sulawesi. Sisanya, Rp1,55 triliun untuk pembangunan jaringan distribusi di wilayah Maluku, Papua, Nusa Tenggara (MPNT), dan pembangunan jaringan distribusi sebesar 0,13 triliun untuk Jawa.

“Dari PMN ini, sebanyak 192.466 pelanggan dari 2.097 di desa bisa menikmati listrik secara penuh seperti di daerah perkotaan,” kata Gregorius. 

Sedang lewat program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL), sepanjang 2023, PLN mencatat ada 131.600 rumah tangga yang dibantu. Jumlahnya melebihi target 125 ribu rumah tangga.

Salah satu desa yang berhasil mendapatkan listrik melalui program ini adalah masyarakat di Desa Atamali di Kabupaten Jayapura, Papua. Sebelumnya, masyarakat di daerah tersebut hanya genset dan aki untuk penerangan sehingga hadirnya program ini sangat membantu aktivitas sehari-hari masyarakat di daerah tersebut. 

“Di tahun 2024 ini karena ada pengalihan tambahan anggaran untuk program ini, dari yang tadinya hanya 80.000 rumah tangga yang ditargetkan, sekarang dinaikkan menjadi 114.704 rumah tangga yang bisa menikmati program ini,” kata Gregorius. 

Meski demikian, data PLN juga mencatat masih ada 140 desa lagi belum terjamah listrik. 

Dari jumlah tersebut, 12 desa di Provinsi Papua Barat Daya, sembilan desa di Papua, 56 desa di Papua Pegunungan, 47 desa di Papua Tengah, dan 16 desa di Papua Selatan. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar